“Tuntunlah agar kami bisa menulis, pak!” pinta
sejumlah guru Bahasa Indonesia yang
tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP
gugus 1 Kabupaten Sijunjung.
Permintaan itu dilontarkan sebelum aku memberikan
materi. Mendengar permintaan tersebut, aku langsung menjawab dengan senyuman.
Aku yakin, senyum yang kuberikan adalah senyuman yang tulus, sesuai niat awal
aku dan panitia.
Pagi itu, di SMP Negeri 2 Sijunjung, aku duduk
menghadap 30 orang guru. Aku diminta berbagi bekal menulis cerpen kepada guru
tersebut. Awalnya permintaan tersebut mengejutkan, sebab aku diminta memberikan
bekal bagaimana menulis cerpen kepada guru Bahasa Indonesia. Dalam pikiranku,
guru-guru tersebut pasti memiliki bekal lebih. Mereka pasti menguasai teori
yang sangat baik.
“Seperti tempo hari saja, pak” pinta Nova Yarnis Zhafran, Ketua MGMP Bahasa Indonesia gugus I
Kabupaten Sijunjung, meminta.
Empat bulan sebelumnya, aku memberikan materi
pelatihan menulis cerpen bagi 50 orang guru di Kabupaten Sijunjung. Ketika itu,
Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Sijunjung yang menggelar hajatan. Buk
Nova ada di antara peserta.
Materi yang saya berikan, sesungguhnya lebih
banyak berangkat dari pengalaman saja. Sejumlah naskah aku dapatkan. Ada di
antaranya yang kemudian dimuat di koran setelah saya mendiskusikan dengan pemilik
naskahnya.
Permintaan agar mereka bisa menulis, aku jawab
dengan memandu dan memberikan langkah-langkah praktis. Ketika aku sampaikan
durasi pelatihan serta hasil yang diharapkan dari pelatihan, ada di antaranya
yang menyelutuk.
“Tak mungkin bisa, pak! Mencari ide saja butuh
waktu agak dua bungkus rokok,” kata seorang guru lelaki yang duduk di barisan
depan.
“Sehari berapa bungkus, pak?”
“Satu bungkus, pak!”
“Wow, berarti dua hari dong,” jawabku.
Ia juga tertegun.
Proses demi proses pun dilakukan. Kiat-kiat
praktis diberikan. Aku menggunakan metode agar peserta lebih pro-aktif. Ketika
selesai proses pencarian tema, semua peserta tertegun.
“Mudah ya?” tanya mereka.
Alhamdulillah. Semua peserta telah “termakan”
panduan praktis. Berlahan aku mencoba menusuk lebih dalam lagi. Hopp, setelah
dua jam menulis cerpen, ada di antara peserta yang berani membacakan cerpennya.
“Kok bisa, ya?” tanya peserta saling bertatapan.
“Kuncinya,” kataku, “bapak dan ibuk semua mau
meluangkan waktu untuk menulis. Rumusnya, luang waktu untuk menulis, jangan
dicari waktu luang,” *
Sijunjung, September 2019
No comments:
Post a Comment