Elma mengembangkan bibir. Tersenyum ke cermin, menatap
raut wajah letihnya. Kelopak matanya menghitam dan cekung. Dalam kelelahan
dipaksakannya tersenyum. Ia berharap, senyum itu benar-benar akan jadi senyum
kebahagian.
Senyum itu mengembang sejak empat
hari lalu. Sejak Diki memberi kabar, hukumannya segera berakhir. Ia memperoleh
remisi tahunan. Jika tak ada aral melintang, hukuman itu berakhir dalam pekan
ini, tapi Ia tak tahu jadwal pastinya.
“Dalam pekan ini, saya akan
bebas,” kata Diki, ketika Elma menemuinya di penjara, dua hari lalu.
Kalimat itu sudah cukup
membahagiakannya. Jika bebas, berarti Ia tak akan repot lagi ke penjara menemani
hari-hari Diki, lelaki yang tak pernah
bisa dilupakannya.
Rasa yang ada di diri Elma
terhadap Diki sangat beragam. Diki sangat mencintainya. Elma juga menyukai Diki. Meski kemudian Elma
memilih Rudi, namun hatinya tetap untuk Diki. Sekalipun kemudian tunangannya
tewas di tangan Diki, Elma tetap
berharap sepotong hatinya akan bertaut dengan potongan hati Diki.
Elma baru tersadar ketika
keakraban dengan Diki, disaat kuliah, telah menjeratkan benang asmara dalam
dirinya. Ketika hendak keluar dari jerat itu, Ia nyaris tak kuasa. Jerat itu
benar-benar telah membelenggu hatinya.
Tak ingin terbelenggu lebih
erat, Elma menghindar. Bangku kuliahpun ditinggalkan, lalu memilih Rudi, anak
mamaknya karena keterpaksaan. Tapi Ia tetap tak bisa menghilangkan bayangan
Diki dalam setiap langkahnya.
*
Diki tak pernah menduga akan
bebas lebih cepat dari vonis yang diberikan. Remisi setahun pengurangan masa
tahanan pada tiga kali lebaran, sudah cukup baginya untuk menghirup udara bebas
kembali.
Ketika bulan menembus jeruji
besinya, Diki tersenyum. Cahaya kemenangan itu telah menghampirinya. Udara
kebebasan itu telah di ambang pintu. Diki tak henti-hentinya tersenyum.
Tersenyum menyambut cahaya kemenangan. Tertawa menanti udara kebebasan.
Di balik cahaya itu, Diki
menangkap bayangan Elma melangkah pasti. Langkah yang selalu menemani
hari-harinya. Diki merasa serba salah, Elma yang menemani hari-harinya kini,
tetaplah seperti Elma yang dikenalnya semasa kuliah. Elma pula satu-satunya
orang yang pernah menemaninya di penjara, sementara istrinya tak pernah.
Ia juga tak tahu dimana
istrinya sekarang. Sejak menjalani proses hukum hingga sekarang, tak pernah
istrinya datang. Malahan Elma pernah diminta menyampaikan kabar kepada
istrinya, tetapi istrinya tak di rumah lagi. Entah kemana, tak seorang
tetanggapun yang tahu kabarnya. Di kampung juga tak ada.
“Dari tadi kau
senyum-senyum saja. Senang akan bebas?” Rino, teman satu selnya menyapa. Diki membalas
dengan senyuman..
“Senang segera bebas,
ya?” ulangnya.
“Sudah pasti...” balas Diki.
“Bagaimana dengan
wanita itu?”
Diki terdiam. Ia
paham, wanita yang dimaksud Rino pastilah Elma, satu-satunya orang yang datang
membezuk Diki ke penjara.. Bersamaan dengan itu pula, pikiran Diki menerawang
ke masa lalu.
Di hadapannya
melintas bayangan Elma. Perempuan itu benar-benar menggoda. Ia tak terlalu
cantik, tetapi sangat menarik. Kesederhanaan, kelembutan dan ketenangannya
membuat Diki tergila-gila. Kemudian benar-benar hampir gila, ketika bulan itu justru
dipetik temannya sendiri, yang bermuara pada kehadirannya di balik jeruji besi.
“Tidak cukupkah kau
mengkhianatiku?” protes Diki, “sehingga kau fitnah aku kini?”
“Justru aku
sebenarnya yang kau khianati,” balas Rudi. “Buktinya, ia selalu mengenangmu
setiap saat,” sambung Rudi.
“Itu bukan urusanku.
Meski aku telah kalian khianati, aku tetap menghargai pilihannya. Kau lebih beruntung,”
“Tapi kau
mengguna-gunainya, sehingga namamu selalu dalam dirinya,”
Diki tersentak.
Mukanya merah bak kepiting rebus. Ia tak terima tuduhan memojokkan itu. “Saya
minta agar kau tak ulangi kalimat itu!” dadanya turun naik.
Rudi tetap pada
keyakinannya, istrinya telah diguna-gunai Diki. “Bagi saya, biarlah dapat
pelacur daripada mengguna-gunai istri orang, apalagi istri teman sendiri,”
balasnya tak kalah sengit.
“Tapi kau tetap suka
dia kan?”
“Kalau itu, sampai
kapanpun aku suka dia. Tapi tidak dengan mengguna-gunainya,” balas Diki. “Kau
sangat keterlaluan! Sudahlah aku kau fitnah, istrimu juga kau hina. Seharusnya
kau beruntung mendapatkan istri yang baik dan setia,”
“Puihs, jangan
belagu!” Rudi membalas dengan meludah, “jangan aku pula yang diceramahi,”
“Dulu aku memang sangat mencintainya.
Mencintai sekali. Tapi hanya bertepuk sebelah tangan. Ia jujur mengatakan kalau
kalian sudah berpacaran, walau ketika itu belum ada ikatan resmi. Aku
menghargai kejujurannya. Aku kecewa, tapi melepasnya dengan rela,”
“Banyak omong, kau!”
Rudi geram sembari melepaskan pukulan. Tepat mendarat di hidung Diki. Darah
segarpun keluar.
Belum sempat Diki
menyekanya, sebuah sikut menghujam hulu hatinya. Lalu disusul tendangan kaki
kiri tepat mengenai kelaminnya. Diki sempoyongan lalu terjerambab ke tanah.
Rudi mengejar.
Kesempatan itu tak disia-siakan. Secepat kilat Ia merunduk, lalu menarik krak
baju Diki. Satu dua bogem mendarat di wajah Diki. Dalam ketidakberdayaan,
tangannya menggapai-gapai. Batu sekepalan tinjupun terjangkau. Diki
mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, lalu menghantamkan batu itu tengkuk Rudi.
Bersamaan dengan itu,
Rudi mendongok mengangkat wajahnya. Batu itu pun akhirnya mendarat di
ubun-ubunnya. Darah pun muncrat. Dalam hitungan detik, keduanya bersimbah
darah. Rudi sempoyongan, lalu terjatuh. Kemudian tak bergerak lagi.
*
Elma menyeret langkah
pasti menuju ruang tamu penjara. Ia berharap segera bertemu Diki, lalu
memperoleh kabar kepastian kebebasannya. Ia sudah mempersiapkan diri akan kabar
itu, sekaligus sudah merencanakan kejutan pada hari kebebasan tersebut.
“Diki sudah keluar
dua hari lalu,” sipir piket menyambut kedatangan Elma, sekalipun wanita itu
belum bertanya.
Elma membalas dengan senyuman. Ia menduga, sipir itu hanya bercanda. Tak
kali ini saja para sipir bercanda dengannya. Elma baru tersentak ketika Ia
serius menanyakan perihal Diki. Lalu diperlihatkan copyan berita acara
pembebasan lelaki itu. Seketika itu juga pikirannya berkecamuk. Ia terpaku
bisu. Setelah itu diseret langkahnya meninggalkan penjara.
Bersamaan ketika angkutan
kota yang stopnya pergi, seorang sipir
berlari ke halaman mengejar Elma. Di tangannya tergenggam sebuah amplop surat.
Di depannya tertulis,
Untuk: Elma.
Tetapi, sipir itu tak
menemukan Elma lagi.*
*Jelang
Subuh, 17 Ramadhan 1427 H
No comments:
Post a Comment