Padang - Kuala Lumpur,
Sabtu Malam, 1 April 2006
Murni terpaku di bibir
jendela. Dari kamar 707 di sebelah barat menara kembar, Ia menatap warna perak
terpancar dari menara kembar tertinggi di dunia, trade mark Kualalumpur.
Kilauan cahaya itu mestinya mententramkan hati. Sedamai dunia anak-anak yang
berlarian di lantai marmar yang mengkilat.
Tapi kedamaian itu terganggu
kelap-kelip dua lampu di puncak dua manara dan enam cahaya di setiap menara.
Murni terganggung lampu yang berkalap-kelip. Ketika sinarnya mati, Murni
tersenyum. Tak ada lagi persoalan yang dicemaskannya. Ketika bersinar, Murni
pun tersentak. Ada pancaran kecemasan dari wajah bersihnya. Ketika lampu itu
mati, ia kembali tersenyum. Ketika kembali bersinar, Ia kembali cemas. Begitu
terus. Berulang dan berulang.
Kelap-kelip cahaya itu
dibayangkannya seperti orang-orang yang mentertawai dirinya. Semakin sering
kelap-kelip itu, semakin banyak orang kampung yang menertawainya. Murni panik. Ditutupnya
krai. Murni beranjak dari jendela. Baru tiga langkah, Murni berbalik. Kembali
ke arah jendela. Dibukanya lagi krai yang barusan ditutup. Hatinya tetap ke menara kembar.
Ditatapnya menara kembar itu
terus-menerus. Tanpa henti. Perasaannya makin tak karuan. Kali ini, tak hanya
kelap-kelip tujuh cahaya di setiap menara itu yang mengganggunya. Murni melihat menara kembar itu bergerak.
Beringsut saling mendekat. Semakin dekat. Semakin dekat, lalu kedua menara itu
bertemu, beradu. Meledak dan hancur berkeping-keping. Kepingannya jatuh di
kepala Murni.
*
Jakarta, 8 Desember 2003
Aku tak mau tahu apa pun
namanya. Kata orang-orang, aku menikah di bawah tangan. Bagiku, apapun namanya, tak masalah. Yang pasti,
prosesi pernikahan ini sudah selesai. Aku bahagia sekali, Mas Badri menepati
janjinya. Janji yang pernah diucapkannya ketika aku menyerahkan tubuhku seutuhnya
kepadanya, dua tahun silam.
Ketika itu, aku pasrah saja. Sejak
aku mengenal kehidupan malam, setahun sebelumnya, baru ketika itu aku
menyerahkan tubuhku kepada lelaki yang mengencaniku. Aku tak tahu, magis apa
yang membuat Mas Badri seolah-olah memiliki segala apa yang aku dambakan dari
seorang lelaki. Padahal, pertemuanku dengannya tanpa pernah dipersiapkan.
Ketika itu, aku diminta ke
kamar Anyelir. Sudah ada tamu
menunggu di sana. Panggilan itu aku sahuti dengan perasaan senang, sesenang
hatiku menjalani hari-hari sepanjang malam, sembari menikmati ombak Pantai Losari.
Ombak yang yang lebih pantas disebut riak.
Kutemani lelaki itu sembari
bersenandung. Sesekali menyuguhkan bir untuknya, atau mengganti rokoknya yang
sudah terpuntung. Kusenandungkan lagu-lagu cinta sambil sesekali mengecup
pipinya. Kecupan itu dibalas kecupan balik di keningku. Aku terlena. Sekali ini
dalam kehidupan malamku ada yang mengecup keningku. Angganku melayang. Aku
membayangkan, betapa damainya jika selalu berada di samping lelaki ini.
Ketika lelaki itu hendak
pergi, entah kenapa aku menolak tips yang diberikannya. “Besok saya akan
kembali,” katanya berbisik di telingaku, setelah itu kembali keningku
dikecupnya.
Sesuai janjinya, lelaki itu
kembali. Di mataku, Ia lelaki yang sangat sopan. Meski di kamar karaoke kami
hanya berduaan, Ia tak pernah macam-macam. Berbeda dengan lelaki lain yang selama
ini aku layani. Umumnya, semua meminta untuk mengakhir petualangan malam di
ranjang. Biasanya saya selalu menolak ajakan itu, walau akhirnya harus menerima
tips yang sangat kecil. Malahan tak jarang aku tak diberi.
Sejak pertemuan kedua, aku
sangat merindukan kedatangannya. Lama sekali Ia tak datang padaku. Ada
kerinduan kehadirannya, tapi aku tak tahu harus menunggu sampai kapan.
*
Makassar, 12 November 2004
“Kamu lebih kurusan dibanding
dulu,” sambut seorang lelaki ketika aku masuk kamar Melati. Aku hanya menjawab
dengan sembunyi sembari mengulurkan tangan. Aku bingung, siapa lelaki yang
membokingku malam ini. Setiap malam bergantian lelaki yang harus aku terima
dari satu kamar ke kamar lain.
“Kamu pasti lupa,” sambungnya
sembari menyambut salamku. Belum sempat aku menjawab, tanganku ditarik, lalu
aku merasakan kecupan di kening. Anganku terbang, melayang ke dalam buian tak
bertepi. Kecupan itu mengingatkan pada
seorang lelaki yang kutemani setahun lalu.
“Mas Badri. Aku kangen,”
jawabku menghilangkan kekakuan. Mencoba bermanja kepadanya. Aku yakin, lelaki
ini pasti Mas Badri. Tak pernah aku mendapatkan kecupan di kening dari setiap
lelaki yang aku temani.
“Aku-pun begitu, makanya aku
kemari lagi,” jawabnya.
Sejak itu pula aku tahu kalau
Mas Badri suka padaku. Pada caraku melayaninya setahun silam. Suka pada sikapku
yang tak mau bermain ranjang dengan setiap lelaki yang kutemani di kamar
karaoke.
Sejak pertemuan itu, aku tak
mau lepas lagi dari Mas Badri. Rayuanku meluluhkannya. Sejak saat itu kami selalu berkomunikasi. Aku di
Makasar, sedangkan pengakuan Mas Badri, Ia di Jambi. Sekali dua bulan Ia
menemuiku menikmati desahan malamku dan desahan angin di Pantai Losari setelah
menikmati sup kondro.
Jika Ia tak sempat ke Makasar,
justru aku yang diundangnya ke Jakarta. Mas Badri sangat sering mengundangku ke
Jakarta. Selaku anggota dewan rakyat,
ada-ada saja tugas yang dijalaninya. Hampir setiap saat ia reses. Disela-sela
reses itu ia mengundangkan untuk menemuinya di Jakarta.
*
Padang - Kuala Lumpur, 1
April 2006
Tak ada pilihan, aku harus
meninggalkan Padang, secepatnya. Aku tak mau cibiran orang-orang kampung makin
menghinaku. Aku tak kuat dengan hinaan, sekali pun selama ini aku telah
terjerumus di lembah kehinaan.
Kuseret langkah menuju
Garbarata Uda, di Bandara Internasional Minangkabau. Kupilih seat paling
pinggir, sehingga aku bisa menoleh bebas menoleh ke luar. Menatap negeriku dari
ketinggian. Kutinggalkan semuanya di negeri moyangku, negeri yang hanya bagaikan
sebuah bayangan kelam di balik matahari nan bersinar garang.
Aku tak menduga, perkawinan
dengan Mas Badri adalah malapetaka. Kebahagian yang kurasakan selama ini
bersamanya, hanya kebahagiaan sesaat. Selama menjadi isteri Mas Badri, tak ada
masalah walau kehadirannya hanya sekali dua bulan di sisiku, itu pun hanya
paling lama tak lebih sepekan. Aku tak pernah mempersoalkan, sebab, aku tahu
diri. Sebagai istri kedua, istri simpanan, aku tak banyak menuntut.
Sekali pun selama ini aku
bergelimang dalam kehidupan malam, kemudian berpindah dari satu lelaki ke
lelaki lain, semata-mata bukan karena uang. Ketika aku temukan lelaki yang aku
suka, tak jarang aku menolak pemberiannya, hingga Ia ketagihan.
Mas Badri pun demikian. Ketika
pertama jumpa, sebenarnya aku sangat suka. Tapi aku tak bisa menolak
pemberiannya. Apalagi ketika Mas Badri menikahiku, aku seperti di awang-awang. Bagiku,
keputusan Mas Badri sudah lebih dari segala-galanya. Mas Badri telah
membuktikan janjinya, katanya Ia mencintaiku sepenuh hati. Tapi ia meminta
pengertianku untuk tidak menceraikan istrinya. Kalau itu dilakukan, katanya,
harga dirinya selaku anggota dewan rakyat akan hilang.
Mas Badri pun pernah bercerita
tentang istrinya. Katanya, ia bercerita jujur tentang istri yang telah
melahirkan tiga orang anaknya. Ia tak memungkiri kelebihan dan kekurangan
istrinya. Kelebihan itu harus aku dapatkan, kekurangannya akan kututupi.
Aku tak pernah membayangkan
kalau kepulanganku ke Padang akan menguak aibku dengan Mas Badri. Kehadiranku
ke Padang tanpa pernah memberitahunya. Aku berpikir, untuk apa memberitahu Mas
Badri. Jambi dan Padang cukup jauh, sehingga tak akan mungkin kami berjumpa.
Lagi pula, Mas Badri pernah mewanti-wanti agar sekali-kali aku jangan ke
Sumatra. Ia tak ingin istrinya tahu hubungan kami.
Dua hari lalu aku sudah berada
di Padang. Ini kali pertama
aku pulang ke kampung halaman meski usia hampir berkepala tiga. Selama ini aku
hidup dan menetap di Semarang. Orangtuaku sudah lama menetap di sini. Kata Mama,
sejak ia menikah, Papaku membawanya ke Semarang. Sejak itu beliau menetap dan
berjuang menjalani kehidupan di kampung Papa.
Pada masa itu, kehidupan
mereka pas-pasan, sehingga jangankan pulang ke Padang, berkirim kabar pun tak
pernah. Sejak itu pula aku tumbuh dan besar di lingkungan adat dan budaya Jawa.
Kehidupan yang menempaku menjadi gadis Jawa yang bertutur lemah lembut, harus
santun terhadap semua orang.
Ketika kuliah di Bandung, sesekali
aku menjalani kehidupan malam di Jakarta bersama teman-teman kuliah, hingga
akhirnya aku mengenal kehidupan yang tak pernah aku bayangankan sebelumnya.
Ketika persaingan makin berat di Jakarta, aku pindah ke Makasar karena kota ini
lebih menjanjikan bagiku.
Aku ke Padang bersama Papa dan
Mama. Dalam kondisi keuangan yang sudah mulai membaik, Papa dan Mama sudah lama
pula ingin ke Padang. Keduanya berkeinginan agar di usianya yang sudah mulai
senja, mereka ingin membawaku pulang, sehingga, ketika keduanya sudah tak ada,
aku masih dapat menemukan sanak saudaraku.
Hari pertama kehadiran di
Padang, aku merasa seperti sangat tersanjung. Keluarga Mama menyambut kehadiran
kami dengan penuh suka cita. Dalam suka cita itu, aku melihat mata Mama
bengkak. Tangis bahagia dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu. Bahagia
karena sudah bertemu sanak saudaranya, sedih karena ternyata sudah banyak
keluarga Mama yang meninggal dunia.
Malamnya, Etek Dewi datang
bersama anaknya. Meski baru mengenalnya, aku sangat suka. Kami seakan sudah
berteman sejak lama. Etek yang katanya hanya tamat SMA, ternyata memiliki pengetahuan
yang cukup luas. Kami selalu menyambung dalam banyak pembicaraan.
Dalam kehangatan suasana
menjelang malam itu, tiba-tiba deru suara mobil berhenti tepat di depan rumah.
Etek[1]
Dewi sangat mengenal suaranya. “Itu pasti Pak Etek[2]mu,”
jelasnya padaku. Aku menyambut gembira. Aku mengikuti langkah Etek Dewi dari
belakang.
Seseorang turun dari mobil.
Etek Dewi menyambut mesra. Mengambil tentangan dari tangan lelaki itu, kemudian
diangkatnya sembari menatap ke arahku. Aku membalas dengan senyum. Tapi,
tiba-tiba senyumku tertahan ketika menatap sosok yang berjalan di samping Etek
Dewi. Sosok itu sangat aku kenal.
*
Kuala Lumpur, Minggu pagi,
2 April 2006
Aku tersentak. Ada suara keras di depan pintu kamar.
Belum sempat aku membukanya, pintu sudah sudah terkuat. Sejumlah orang
menerobos kamarku. Dua orang aku kenali berseragam hotel, seragam yang
mengantarkanku ke kamar 707, kemarin. Tiga orang lainnya berseragam Polisi Diraja
Malaysia.
“Kenapa kalian menerobos ke
kamarku tanpa izin?” tanyaku emosi. Baru kali ini aku mendapatkan petugas hotel
dan polisi yang tak bersahabat.
Tanyaku tak dijawab. Dua orang
berseragam hotel terpaku di pintu masuk. Tiga orang berseragam polisi bergerak lincah, memperiksa setiap ruangan di kamarku.
Kuulangi pertanyaan tadi, tak seorangpun yang menjawab.
Dua orang berseragam polisi
menuju jendela. Keduanya seperti mencari sesuatu. Aku tak tahu apa yang
dilakukannya. Kutanya sekali lagi, tetapi tetap tak dijawab.
Aku tersinggung. Sudahlah
mereka masuk tanpa izin, tanyaku pun tak dijawabnya. Aku marah, kutarik bahu
salah seorang petugas berseragam polisi dari belakang, “tolong jawab tanyaku,
kenapa kalian di sini?” teriakku.
Kemarahanku pun memuncak,
sebab tanyaku masih tak dijawab. Kumaki mereka sejadi-jadinya. Mereka tetap tak
bereaksi. Tak lama kemudian, ketiga polisi itu mengemasi travel bag yang
aku letakkan di lemari sebelah kiri pintu masuk, atau persis di depan pintu ke
kamar mandi. Travel bag yang berisi perlengkapanku selama diperjalanan
itu dibawanya keluar. Emosiku semakin memuncak. Kukejar mereka keluar kamar.
Sekali lagi, aku tetap tak dihiraukan.
Di lorong hotel, langkahku
tertahan. Mas Badri melangkah ke arahku. Tangannya seperti memegang sesuatu di
selangkangannya. Kuperhatikan dengan seksama. Wajahnya meringis, seperti
menahan sakit. Semakin dekat, semakin jelas roman wajahnya. Mas Badri
kesakitan. Celana putih yang dipakainya bercampur darah. Bajunya pun demikian. Aku tuntun langkahnya ke
kamar.
“Kenapa, Mas?” tanyaku.
“Burungku dipotong istriku,”
jawabnya. Aku terkejut. Tega benar! Keherananku semakin memuncak, kenapa Mas
Badri sampai ke sini? Dimana Etek Dewi? Kemudian aku berpikir, itu bukan hal
utama. Ketika aku bermaksud meminta bantuan petugas hotel untuk mencari dokter,
Mas Badri menolak.
“Tak usah. Sudah terlambat,”
katanya lalu bergerak ke arah jendela yang terbuka. “Lihatlah di sana, ke
bawah,” pintanya padaku. Aku ikuti permintaanya sembari bergerak ke arah
jendela. Aku menoleh ke luar.
Di bawah, orang ramai
berkerumun. Ada sesosok tubuh tergeletak di lantai dasar. Dari atas, terlihat
jelas darah membasahi lantai. Orang-orang makin ramai berkerumun. Tubuh itu
belum diangkat. Aku perhatikan
dari kejauhan suasana keramaian dan kesibukan di bawah.
Mas Badri menuntun langkahku
mendekati sosok yang tergeletak. Aku terkejut ketika memperhatikan wajah sosok mayat itu adalah sosok Murni.
Diriku!***
Makasar, 8-12-2005,
Padang-Kuala Lumpur-Padang, 31 Maret – 2
April 2006
No comments:
Post a Comment