Pien menatap sekeliling ruangan.
Matanya liar. Merasa berada di ruangan yang sangat asing. Sebuah ruangan tamu yang sangat besar. Ada tiga
set kursi tamu. Ada dua alat pendingin ruangan tergantung di kiri kanan
ruangan, sebuah akuarium besar di pojok kanan pintu masuk. Di samping pintu
yang menghubungkan dengan ruangan lain, sebuah lemari besar memajang beragam
koleksi kristal, piala dan buku.
Sepeninggal
Fathan, Pien tak bisa menghilangkan rasa groginya. Ruangan itu sangat mewah untuk ukurannya. Kursi
yang didudukinya pun terasa aneh. Ia tak bisa mengelak ketika Fathan
menuntunnya.
”Biasa
sajalah. Kenapa harus grogi?” ujar lelaki berpostur atletis itu sebelum
meninggalkan Pien di ruangan tamu. Pien hanya menjawab dengan memberikan
senyuman yang dipaksakan.
Sebenarnya
Pien tidak grogi. Pien justru terkejut ketika menghenyakkan pantatnya di kursi.
Seakan pantat dan tubuhnya disedot kursi itu. Seumur-umur, baru kali ini Pien
duduk di kursi yang sangat empuk.
Pien hanya
berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya
seorang penarik becak dayung. Becak itu pun milik Haji Mahmud. Haji
Mahmud memiliki 10 becak. Semuanya dibawa orang-orang kurang mampu di
lingkungannya.
Ayah Pien
tergolong paling senior diantara anak buah Haji Mahmud, sehingga tak
mengherankan kalau Haji Mahmud dan keluarganya sangat mengenal keluarga Pien.
Sudah 20 tahun ayah Pien bekerja pada Haji Mahmud. Ibu Pien pun sering membantu
keluarga Haji Mahmud. Mencuci, memasak, membersihkan rumah dan pekarangan,
dikerjakan Ibu Pien di rumah Haji Mahmud dengan senang hati.
Sepulang
dari rumah Haji Mahmud, ada saja yang dibawa pulang Ibu Pien. Kalau tak Haji
Mahmud yang memberi, pasti diberikan istrinya. Keluarga Haji Mahmud merasa
terbantu oleh Ibu Pien yang ringan tangan. Itu pula yang menyebabkan Haji Mahmud
tak segan-segan menjadi orang tua angkat untuk pendidikan Pien. Haji Mahmud
tahu, penghasilan ayah Pien yang tak seberapa, mana cukup untuk membiayai
sekolah setengah lusin anaknya.
Malahan,
ketika Pien masih kelas V SD, hampir saja diberhentikan karena hutangnya di
sekolah tak bisa dibayar. Sejak itu Haji Mahmud membiayai seluruh biaya sekolah
Pien. Biaya dari Haji Mahmud itu pula yang mengantarkan Pien kini menjadi
mahasiswi di Padang.
Meski sudah
kuliah di Padang, Pien masih tetap seperti anak kampung yang lugu, jujur dan
tak banyak tingkah. Ia termasuk mahasiswi sederhana, namun berotak encer.
Nilainya sangat bagus untuk ukuran anak kampung yang bersaing dengan anak kota.
Hubungannya
dengan Fathan sudah berlangsung lama. Sudah jalan empat semester, tepatnya
sejak awal Pien menjadi mahasiswa, sedangkan Fathan seniornya. Tiga angkatan di
atas Pien. Pun, Fathan sudah pernah ke
rumah orang tua Pien di kampung, awal semester lalu.
Kehadiran
Fathan di kampung Pien, sama sekali diluar dugaannya. Sejak keduanya sudah
saling akrab, Fathan sudah berulangkali meminta agar dirinya diperkenalkan pada
orang tua Pien. Setelah itu, Fathan berjanji akan memperkenalkan Pien pada
orang tuanya, dan kemudian akan datang melamar.
Pien sering
menolak. Ada perasaan galau di hatinya. Jika Fathan benar-benar sudah datang ke
rumahnya, Pien yakin lelaki itu akan menjauh begitu mengetahui kondisi Pien
yang sebenarnya.
Tapi dugaan
Pien meleset. Ketika Pien pulang kampung, akhir semester lalu, diam-diam Fathan
membuntuti. Belum lagi Pien cuci muka karena sudah melakukan perjalanan jauh,
naik bus antar kota non AC, Fathan sudah muncul di depan gubuknya, mengendarai mogenya.
Tak lama,
memang. Fathan baru pulang ke Padang setelah berjumpa ayah Pien yang datang
menjelang sore dengan becak dayungnya. Ayah Pien bingung. Siapa gerangan lelaki
gagah yang sudi datang ke gubuknya yang sudah miring.
Pien
mengiringi langkah Fathan kembali ke Padang dengan perasaan galau. Dalam benaknya
ia berpikir, barangkali ini pertemuan terakhirnya dengan Fathan. Pien berpikir,
jangan-jangan setelah tahu kondisinya, Fathan akan menjauh, meninggalkan
dirinya.
Pikirannya
itu kemudian menjadi kegalauan. Setelah Pien kembali ke Padang, lama tak terdengar
kabar Fathan. Lelaki itu tak pula main ke tempat kostnya. Kegalauan Pien
berubah menjadi perasaan lain, Fathan benar-benar sudah meninggalkan dirinya.
Tapi dugaan
Pien meleset. Dua pekan setelah Pien kembali ke Padang, Fathan menungguinya di
kampus. ”Kita ke rumah. Papa dan Mama menunggu kehadiranmu..”
Fathan
menghentikan langkah Pien. Gadis itu tertegun.
”Kapan?”
tanya Pien.
”Sekarang..
”
”Kenapa
harus sekarang? Aku belum siap” jawab Pien tertatih.
”Kalau tak
sekarang, kapan lagi?”sambung Fathan sembari mengarahkan langkah Pien ke
pelataran parkir, menuju motor gedenya. Pien tak bisa menolak. Begitu pun
ketika Ia minta mampir dulu ke tempat kost, ganti pakaian. Fathan menolak.
”Lebih baik
apa adanya, ” pinta Fathan membawa Pien ke rumahnya.
Tatapan
Pien tetap mengitari ruangan tamu. Kemudian pandangan itu berhenti pada sebuah
foto keluarga berukuran besar. Sepasang suami istri duduk di depan, sedangkan
di belakangnya ada tiga orang. Pien yakin, itu pasti foto Fathan bersama orang
tua dan saudaranya. Pien melihat jelas, Fathan ada di tengah.
Pien
beranjak dari kursinya. Mendekati foto keluarga itu. Langkahnya terus mendekati
foto itu. Satu persatu ditatapnya. Di kiri kanan Fathan, dua cewek mengapitnya.
Kedua manis dan cantik. Pien yakin, keduanya kakak dan adik Fathan, seperti
sering diceritakan lelaki itu.
Lalu,
tatapan Pien beralih ke dua orang tua Fathan. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada
rasa ragu dalam dirinya. Ada rasa sesak di dadanya. Keningnya berkerut. Sejenak
dipejamkan mata, lalu dibuka, dipejamkan lagi, dibuka lagi. Begitu
berulangkali.
Pien seakan
mengingat sesuatu. Tapi ia ragu. Antara benar dan tidak. Dicobanya untuk terus
mengingat. Pien merasa dadanya semakin bergemuruh. Wanita yang duduk disamping
suaminya di foto itu, terus mengusik Pien.
Sejenak,
dicobanya menghibur diri. Tapi tak juga bisa. Perasaan Pien berkecamuk. Dalam
kondisi berkecamuk itu, Fathan datang. ”Pien, tunggu sebentar ya. Pekerjaan
mama lagi tanggung tuh.. ”
”Ini foto
keluargamu, ya? ” tanya Pien menutupi perasaannya yang berkecamuk, ”Ini mama?”
tanya Pien sembari menunjuk wanita separoh baya. Fathan mengangguk. Suasana
hening.
”Fat, sini
sebentar, bantuin mama dikit, biar cepat selesai, ” sebuah suara memecah
keheningan itu. Pien terkejut. Dicobanya menutupi keterkejutan itu. Untung
Fathan tak melihat perubahan di wajah Pien. Lelaki itu minta izin ke ruang
dalam. Pien mengangguk.
Sepeninggal
Fathan, jantung Pien makin berdetak kencang. Kini Pien makin yakin. Foto wanita
dan suara yang baru saja didengarnya itu semakin mengingatkannya pada sesuatu
yang membuatnya mengalami perasaan tak menentu seperti sekarang. Ditatapnya
lagi foto itu dalam-dalam, lalu diingat-ingatnya vokal yang baru didengarnya,
Pien makin tak menentu. Pien makin yakin dengan perasaannya. Tak salah lagi,
katanya membatin.
”Oke,
sekarang mana calon menantu mama itu... ” suara itu terdengar nyaring. Pien
makin terkejut. Dadanya bergejolak makin tak menentu. Jantungnya berdebar
kencang. Suara itu, sama
dengan suara yang memanggil Fathan, lima belas menit lalu.
Perasaan
Pien makin tak menentu. Dari foto keluarga yang terpajang itu, Pien balik
kanan, setengah bergegas disambarnya dompetnya yang tadi diletakkan di meja,
lalu berlari kecil ke pintu utama. Pien kemudian mendengar suara Fathan dan suara yang nyaring tadi. Meski tak
menoleh ke belakang, Pien yakin pasti keduanya sudah dekat ke ruang tamu.
Bergegas Pien berlari di halaman rumah yang luas, kemudian membuka pagar.
Pien
menoleh ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Lalu beralih ke kanan. Di ujung gang,
Pien melihat pangkalan ojek. Ia bertepuk tangan memberi kode ke arah pangkalan
ojek. Berulang kali ia bertepuk tangan. Sesekali Pien menoleh ke belakang.
Tepukan tangan Pien disahuti beberapa tukang ojek di pangkalan itu. Seseorang
di antaranya terlihat bergerak mendekati sepeda motor.
Pien
kembali menoleh ke belakang. Gadis itu melihat jelas Fathan berlari-lari kecil
memanggilnya. Di belakangnya ada seorang wanita setengah baya. Ditatapnya
wanita itu sedemikian rupa. Lalu menoleh ke arah pangkalan ojek. Pengemudi ojek
masih hendak menghidupkan sepeda motornya. Lalu kembali menoleh ke halaman
rumah Fathan. Lelaki itu terus mengejar Pien sembari berteriak agar jangan
pergi.
Wanita di
belakang Fathan itu pun masih jelas terlihat rupanya oleh Pien. Pien semakin
yakin. Ia pernah berjumpa wanita itu secara tak sengaja. Ketika itu, tiga hari
lalu, Pien menemani Neni, sahabatnya ke toko buku. Secara tak sengaja, Pien dan wanita itu
bertabrakan badan. Tas kresek di tangan wanita itu putus. Ia marah sejadi-jadinya. Memaki Pien. Pien minta
maaf. Tapi tak dihiraukan.
Semula Pien
tak hendak melayani, tapi Pien terus diceramahi. Kata-kata kasar pun keluar.
Pien kembali minta maaf. Wanita itu terus manciracau[1].
Neni turut membantu menetralisir suasana. Neni juga minta maaf. Tapi wanita itu
tetap tak menghiraukan. Pien pun diam. Dicobanya untuk meninggalkan wanita itu,
tapi wanita itu terus menceramahi. Pien tetap diam.
Tapi,
terlalu lama diceramahi, kuping Pien merah juga, apalagi kerumunan orang makin
ramai. Tak tahan dengan perlakuan itu, Pien akhirnya mendekati wanita itu.
Dicobanya kembali untuk minta maaf. Tetap tak digubris. Pien masih terus
dimaki.
Merasa
harga dirinya sudah diinjak-injak, pertahanan Pien bobol juga. Sebuah semburan
dari mulutnya pun meluncur, tepat mengenai wajah wanita itu. Lalu Pien berjalan
santai meninggalkan wanita separoh baya yang tak menduga adanya serangan balik
itu. Pien berlalu disaat wanita itu menyeka cairan yang disemburkannya.
Langkah
Fathan terhenti di pagar, bersamaan ketika ojek yang dipanggil Pien datang.
Gadis berambut sebahu itu segera naik dan meninggalkan Fathan dan mamanya yang
masih terpaku di pintu pagar. *
* Padang, 5 Ramadhan 2006 (9 Oktober 2005)
No comments:
Post a Comment