Oleh: Firdaus
Seorang bijak, jika tidak mempunyai sikap yang sungguh-sungguh,
tidak akan dihormati orang, dan pelajarannya pun tidak akan teguh. Maka
peganglah kesetiaan dan kejujuran sebagai pokok utama dalam kehidupan. Jangan
bersahabat dengan orang-orang yang tidak sederajat. Jika mempunyai kekurangan,
janganlah takut untuk memperbaikinya……
(Confusius, filsuf asal China)
Suatu ketika, pada pekan pertama puasa kali ini, saya
membaca di laman jejaring sosial facebook, tepatnya di sebuah grup yang saya
menjadi anggotanya. Grup tersebut adalah komunitas sesama teman kecil, semasa
saya masih kanak-kanak dulu.
Sang teman menulis kerinduannya untuk pulang dan
bermain agak sejenak di tempat ia dulu menjalani hari-harinya semasa
kanak-kanak. Teman tersebut sekarang menetap di Jakarta, bekerja di sebuah production house, sekembalinya dari
Australia dan Jepang untuk menuntut ilmu berkaitan dengan pertelevisian.
Kerinduannya untuk “menjenguk” ranah yang
membesarkannya dulu, tidaklah berlebihan. Sejak bapaknya meninggal dunia,
ibunya kembali ke kampung halaman. Kakak-kakak dan adiknya juga sudah menjalani
kehidupan dengan keluarga masing-masing.
Salah satu yang menarik perhatian saya dan
mengembalikan kenangan ke masa silam, ketika ada yang menyebut, rindu main bulek-bulek lagi. Hm… permainan itu. Ya,
bulek-bulek begitu menggoda,
menantang dan mengasyikkan. Apalagi disaat puasa seperti sekarang.
Permainan itu, sebenarnya sangat sederhana. Awal
permainannya pun didapatkan tanpa sengaja. Ketika itu, disaat saya dan
kawan-kawan lain sedang bermain bola di lapangan pasir, dua orang kawan yang
tidak ikut main bola justru melakukan aktivitas lain. Awalnya salah seorang di
antaranya membuat bulatan dari pasir yang dibasahkan seukuran tinju, yang
kemudian lebih akrab kami sebut dengan bulek-bulek.
Kemudian kawan yang satu lagi juga membuat bulatan yang sama. Ketika bulatan
itu sudah selesai, eh.. keduanya sepakat untuk mengadunya.
Cara mengadunya pun unik. Setelah kedua balastit (suit), pemenangnya dibebaskan
memilih, apakah dia yang menjatuhkan bulek-buleknya dari ketinggian sejajar dengan
pusar atau meletakkan bulek-buleknya
di bawah, dan kemudian ditimpa bulek-bulek
lawan mainnya. Ia memilih menempatkan di bawah, kemudian kawan yang kalah balastit menjatuhkan bulek-bulek dari atas. Ketika kedua bulek-bulek itu bertemu dan beradu, ternyata
bulek-bulek yang dijatuhkan dari atas
justru hancur berkeping.
Pemilik bulek-bulek
yang masih utuh menantang
kawan-kawan lain untuk membuat hal yang sama, kemudian diadu dengan punyanya.
Sejak saat itu, berlahan dan pasti, permainan mengadu bulek-bulek menjadi keasyikan tersendiri. Akan ada kebanggaan
tersendiri jika berhasil menghancurkan bulek-bulek
lawan.
Sejak itu pula, seiring dengan menantangnya permainan
ini, berbagai cara ditempuh agar memiliki bulek-bulek
yang kuat. Entah siapa yang memulai, namun yang pasti, setiap orang berupaya
mencari cara agar bulek-buleknya
kuat. Ada yang menimbun dan menyimpannya pada tumpukan karbit bekas,
melumurinya dengan batu-bata yang dihaluskan, menyimpan ditumpukan sekam huller.
Ada yang mencoba curang, mengisi batu dalam bulek-bulek tersebut, namun sempat
ketahuan karena berat bulek-buleknya
sudah dicurigai sejak awal. Juga ada yang curang, melumuri bulek-buleknya dengan semen putih, lalu kembali member pasir di
permukaan. Hanya saja, kawan tersebut kemudian diasingkan untuk beberapa waktu,
sebab akhirnya ketahuan kalau bulek-buleknya
dilumuri semen putih.
Permainan itu, sangat sederhana. Sederhana sekali,
namun, ternyata sebenarnya justru menyimpan nilai-nilai tersendiri. Sekali pun
sebelumnya tak pernah dibuat kesepakatan atau pun aturan mana yang boleh, mana
yang tidak, namun ternyata ketika ada yang melumuri dengan semen putih,
ternyata kawan tersebut justru langsung disepakati untuk “didiskualifikasi”
lantaran “bahan dasar” bulek-buleknya
dianggap tidak logis.
Mengingat permainan masa lalu itu, saya jadi geli
sendiri. Rasanya baru kemarin saya dan kawan-kawan masih memainkannya,
bergelimang pasir basah, bercampur bau karbit yang menyengat. Kini satu sama
lain sudah terpencar di berbagai daerah, menghela peruntungan masing-masing.
Ternyata, dari permainan itu, tanpa disadari justru
mengandung nilai-nilai moral dan sosial. Hanya dengan landasan tak tertulis,
satu sama lain saling menjaga hakikat sebuah permainan. Sekali pun hanya sebuah
permainan, namun semua harus tetap patuh pada aturan tak tertulis tersebut.
Lalu, ketika saya mencoba menghubungkan dengan
kondisi kekinian, ada kegamangan untuk menghubungkannya. Jangankan aturan tak
tertulis, aturan yang sudah memiliki landasan hukum yang kuat, ada
undang-undangnya, tak sedikit dilanggar orang. Malahan justru dilanggar oleh
orang-orang paham dengan hukum tersebut. Dilanggar oleh orang-orang “bijak”
yang ternyata tidak bijak. []
Catatan:
Tulisan ini dimuat pada kolom; Kopi Minggu, edisi Minggu
14 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment