Oleh: Firdaus Abie
Kejadian sepekan
terakhir benar-benar menyentak. Menghujam diri. Menampar wajah. Siapa pun pasti
terbelalak. Inilah kejadian yang benar-benar tak bisa dibenarkan, walau dari
sudut pandang apa pun. Semua pasti mengutuk.
Kutukan, makian dan cacian itu tak berlebihan.
Disaat negeri ini terus berperang melawan penyakit masyarakat, tetapi penyakit yang lebih hebat justru datang
secara mengejutkan. Apa yang salah?
Beredarnya video mesum yang diperankan siswa SMA
negeri di Padang, sudah sangat menyentak. Membuat bulu tengkuk berdiri. Belum
cukupkah pendidikan agama, pendidikan di TPA/TPSA atau asmaul husna membentengi
dirinya dari perbuatan maksiat?
Wow.. sudah sedemikian parahkah negeri ini?
Inilah yang menjadi gunjingan. Inilah pula yang
harus dipergunjingkan. Jika tidak, ia akan menjadi bom waktu, yang setiap saat
bisa meledak, dan menghancurkan seluruh tatanan kehidupan di negeri yang selalu
mengkedepankan falsafah adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah.
Kini, seakan moncong senapan diarahkan kepada Pemko
Padang. Booming pendidikan bernuansa
religi yang diapungkan beberapa tahun lalu; busana muslim, asmaul husna,
ayat-ayat pendek, wajib TPA/TPSA, pesantren Ramadan hingga majelis taklim,
seakan tak bisa membentengi tindakan maksiat tersebut. Program Pemko Padang
gagal!
Ketika tuduhan itu sudah dilayangkan, maka
penilaian kegagalan itu akan dijadikan sebagai pijakan untuk manggunda sudut-sudut lain. Inilah
sebuah ironi di negeri yang katanya berbudaya, namun cenderung mengabaikan
etika, padahal sebuah etika adalah penguatan terhadap budaya.
Saya masih ingat, ketika program pendidikan
bernuansa religi itu diluncurkan, serangan datang bertubi-tubi. Seakan
mempersalahkan Pemko Padang yang terlalu mencampuri urusan agama. Bagi yang
menyerang, mereka berdalih bahwa urusan agama biarlah menjadi urusan pribadi
atau keluarga. Jangan terlalu diatur sedemikian rupa.
Ketika perbuatan mesum itu menampar semua orang,
serangan pun kembali datang; Pemko Padang dinilai gagal membentengi warganya!
Hm… inilah sudut pandang yang tidak realistis. Dari satu sisi, ketika regulasi
hendak diberikan pemerintah, maka langkah itu sudah dicap sebagai tindakan
menyalahi aturan. Mengekang HAM. Tapi ketika ada persoalan lain akibat belum
maksimalnya regulasi itu, maka tuduhannya pun menjadi lain; pemerintah lalai.
Kini semuanya telah terjadi. Kejadian itu tak akan
pernah bisa ditarik lagi. Langkah paling bijak adalah membangun benteng-benteng
yang lebih kokoh agar peristiwa itu tidak lagi terulang, dan memperbaiki
tatanan etika, moral dan akidah anak-anak negeri serta warga kota agar bisa lebih baik.
Upaya itu tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan
keberanian pemerintah untuk membongkar sekat-sekat yang selama ini menyekat,
dan diperlukan dukungan nyata dari seluruh komponen untuk mendukung tindakan
nyata pemerintah.
Pembangunan sikap mental, etika, moral dan akidah
tidaklah semudah membangun gedung-gedung pencakar langit mau pun bangunan fisik
lain. Bangunan fisik yang kerjakan hari ini, hasilnya bisa dilihat beberapa jam
kemudian, atau besok pagi. Pembangunan
sikap mental, etika, moral dan akidah membutuhkan waktu panjang.
Sudah dibatasi gerak prilaku maksiat dengan
berbagai aturan dan bekal akidah, masih saja terjadi kejadian yang tak
diingini. Apalah jadinya jika tidak ada aturan yang membatasi? Apalah jadinya
jika tak ada upaya nyata penguasa untuk
meningkatkan akidah warga kotanya? Antahlah…!*
CATATAN:
Naskah ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, edisi
Minggu 2 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment