Oleh: Firdaus Abie
Belum lama ini, saat
musim reunian yang biasa terjadi ketika lebaran datang, saya hadir di antara
ratusan orang yang terdiri dari kakak kelas, kawan seangkatan mau pun adik
kelas. Suasana sangat ramai.
Kalau pun panitia
sudah meminta semua yang hadir untuk masuk ke ruang pertemuan, namun masih
banyak yang tetap berada di luar. Satu sama lain saling bercanda. Ketawa lepas.
Berulang kali panitia mengharapkan agar ruangan pertemuan diisi, namun tak
sedikit yang tetap meneruskan ngolor-ngidul.
Seakan mereka tidak mendengar pemberitahuan itu.
Setengah kesal,
panitia pun memulai agenda acara. Ada beberapa rangkaian acara formal. Selama
acara berlangsung, mereka yang berada di dalam ruangan pun tetap bercengkrama
satu sama lain. Nyaris tak peduli dengan rangkaian acara.
Sesuai dengan
hakikatnya, reuni adalah pertemuan kembali setelah berpisah cukup lama (Kamus
Besar Bahasa Indonesia,--pen). Tentu satu sama lain akan saling bercengkrama
dengan orang-orang yang pernah mereka kenal, atau orang-orang yang pernah akrab
mau pun pernah memiliki kisah masa lalu.
Waktu berlalu. Tanpa
terasa, temu kangen alias malapeh taragak
itu usai di tengah malam. Semua membawa berjuta rasa ke rumah, dan berjuta rasa
itu pun kemudian di bawa setiap individu kembali ke perantauan.
Keesokan harinya, di
dinding jejaring sosial facebook sejumlah orang
yang hadir pada temu kangen itu, muncul beragam komentar. Begitu pun di
grup khusus alumni sekolah itu. Upek jo gunjiang,
mau pun keluh kesah yang dikemas dengan istilah “masukan dan saran untuk
aktivitas selanjutnya” bermunculan.
Adu argumentasi tak
dapat dihindari. Satu sama lain memberikan komentar yang benar menurut takaran
sendiri-sendiri. Tak kalah hebatnya, yang tak bersentuhan dengan perencanaan
hingga pelaksanaan reuni, malahan juga tak menghadiri pertemuan tersebut,
justru berkomentar tak kalah hebat.
Ketika ada yang
bertanya, “kok anda tidak hadir?”
“Lebaran kali ini saya
tidak pulang kampung…” jawabnya di dinding grup alumni.
“Ketika kawan-kawan
mempersiapkan rencana reuni di perantauan, kok anda tidak pernah datang?” tanya
yang lain.
“Itulah. Saya tak bisa
meninggalkan kantor. Banyak bengkalaian kerja yang harus diselesaikan..” ia
menjawab enteng.
Jawaban itu disambut
makian anggota grup lainnya, “kapunduang! Kalau hanya sekadar ngomong, semua
orang bisa. Apalagi jika kegiatannya sudah berlangsung. Cakak salasai, silek takana. Jangankan anda ikut membantu mengurus,
hadir untuk membicarakan persiapan saja tak pernah punya waktu,” seseorang
menjawab.
Tak berselang lama,
anggota lain pun membubuhkan tanda jempol, menyukai komentar tersebut. Orang
yang dituju, yang pada awalnya mengkritisi habis-habisan kegiatan tersebut, tak
pernah lagi muncul di komentar tersebut.
Secara khusus, saya
mengirim pesan ke inbox kawan yang “memukul telak” sang pengkritik, “kenapa
anda langsung menohoknya seperti itu. Jika diandaikan laga tinju, anda langsung
memukul “KO” sang lawan,” tanya saya.
Selang beberapa menit
kemudian, saya menerima balasan darinya di inbox saya. Katanya, sebenarnya
sejak awal saya hanya jadi pembaca setia saja. Membiarkan diskusi. Inikan
dinamika sebuah kegiatan sosial pada “lembaga sosial” yang tidak bisa diikat
secara tegas. Hanya saja, ketika saya terus mengikuti diskusi itu dan kemudian
tahu bahwa dia yang mengkritisi habis-habisan itu tak pernah terlibat sedikit
pun; bukan penggagas, tak tahu sama sekali ada kegiatan, tak pernah datang
untuk membicarakan persiapan dan pelaksanaan, juga tak datang kegiatan, eh…
ternyata dengan gampang “mengkata-katai” orang yang sudah bersusah payah, yang
sudah mengorbankan waktu, pikiran, perasaan, mau pun biaya hanya untuk mengurus
pertemuan untuk bersilaturrahmi dengan kawan-kawan masa lalu.
Orang-orang seperti
inilah, tulisnya panjang lebar, yang berpotensi dapat merusak tatanan
pergaulan. Jika dibiarkan terus menerus, maka berpotensi untuk merusak tatanan
yang lebih luas. Hanya bisa mengkritik setelah semuanya berjalan. Hanya bisa
berkomentar tanpa pernah ikut mencoba melakukan sesuatu terlebih dahulu.
“Banyak orang yang
seperti ini mah, kawan” balas saya.
“Ya. Banyak. Tapi
biarlah kita bicarakan di sini saja. Jika dipublikasikan lebih luas, saya takut
nanti banyak yang tersinggung,” balasnya lagi.*
CATATAN:
Tulisan ini dimuat
pada kolom KOPI MINGGU, edisi Minggu 11 September 2011
No comments:
Post a Comment