Oleh: Firdaus
Lebaran sudah diambang
pintu. Kesibukan masyarakat semakin tinggi. Setiap tempat, setiap titik, setiap
sudut, aktivitas itu terasa sangat menyesakkan. Seakan berpacu dengan waktu
untuk mengejar deadline lebaran.
Lebaran, inilah hari
berbenah terbesar yang dilakukan hampir seluruh orang. Membeli sepatu baru,
baju baru, sandal baru, hanya bagian kecil saja jika dibandingkan dengan
aktivitas lain yang lebih besar. Misalnya mengganti cat rumah, mengganti
perabotan rumah tangga, hingga ---bagi yang berkantong lebih tebal--- membeli
mobil baru.
Inilah hebatnya
lebaran. Tak ada momentum lain yang lebih hebat daripada lebaran. Artinya, tak
ada momentum yang lebih besar atau lebih kuat yang mampu menggerakkan banyak
orang di seluruh belahan dunia untuk berbenah, sekali pun baru sebatas berbenah
secara pisik.
Niat awalnya mungkin
sederhana, ingin tampil bersih. Inilah saatnya silaturrahmi besar-besar yang
semua orang sengaja meluangkan waktu. Berkunjung dan dikunjungi sanak saudara,
handai tolan, tentu harus dengan kondisi bersih dan lebih spesial dari hari-hari
biasa karena suasananya terjadi pada hari spesial. Hari baik, bulan baik.
Berlahan tanpa
disadari, ternyata niatan awal ingin lebih bersih bergerak menjauh. Setiap
orang cenderung bergerak menuruti kemauan, sehingga sangat banyak di antaranya
yang kemudian terjebak dalam upaya memaksakan diri. Mengadakan yang tidak ada.
Memang tak ada
salahnya membeli sepatu baru, baju baru, sandal baru, mengganti cat rumah, mengganti perabotan
rumah tangga, membeli mobil baru dan
sebagainya. Semuanya wajar saja selagi ada kemampuan. Apalagi disaat sekarang,
semua itu tak lagi tergolong barang mewah untuk kebanyakan orang. Sudah menjadi
bagian dari kebutuhan sehari-hari.
Kondisinya menjadi
kurang tepat saja kalau semuanya dipaksakan harus disediakan atau dilakukan
bersamaan dengan lebaran, sehingga aktivitas menjelang lebaran yang menonjol
adalah kesibukan mempersiapkan semua kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang
seharusnya bisa dipersiapkan jauh hari atau diluar lebaran.
Akibat dari aktivitas
tersebut sudah dapat ditebak. Beban belanja konsumtif setiap orang meningkat
menjelang lebaran dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kenyataan itu sekaligus
berpengaruh pada pelaksanaan ibadah yang seharus dilakukan, ternyata tak bisa
dikerjakan sebagaimana mestinya.
Lebaran sudah diambang
pintu. Aktivitas belanja akan terus bergerak di berbagai sudut hingga puasa
terakhir, sepakan lagi. Malahan dari pengalaman selama ini, aktivitas tersebut
akan tetap berlangsung ketika takbir sudah berkumandang. Semua terjebak dengan
budaya belanja, itu pun hanya untuk kebutuhan konsumtif.
Ah, hampir saja saya
lupa. Saya juga belum beli baju baru, belum beli sandal baru…[]
Catatan:
Tulisan ini dimuat
pada kolom; Kopi Minggu, edisi Minggu,
12 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment