Oleh: Firdaus
Pemerintah hanyalah mengatur segala hal
yang benar. Jika anda memimpin rakyat dengan keteladanan yang benar, siapa yang
akan berani menantang?
---Confusius---
Kalimat terakhir dari pesan bijak filsuf asal Cina, kelahiran negara kecil Lu
(sekarang Provinsi Shantung), tahun 551 SM, seakan menjadi senjata utama bagi
rakyat di negeri ini sejak reformasi. Kondisinya terus menjadi-jadi. Menjadi
bahan gunjingan setiap saat.
Setiap hari pula, ada saja isu yang menguncang
keberadaan pemerintah. Masyarakat cenderung menilai, banyak persoalan
ketidakberesan dalam pemerintahan. Ada-ada saja persoalan yang dijadikan bahan
untuk dipergunjingan.
Kondisi hari ini, seakan sudah menjadi biasa saja
kalau setiap hari ada “gugatan” kepada
seorang pemimpin. Jika sebelumnya orang
yang mempersoalkan pemimpin dianggap ada keberanian, sekarang justru dipandang
biasa saja.
Sebalinya, bagi seorang pemimpin, ada pameo;
berbuat atau tidak berbuat, tetap saja akan dipersoalkan. Inilah “masa-masa
sulit” bagi seorang pemimpin.
Lalu, masihkah berlaku pesan bijak Confusius di
masa orde baru? Benarkah semua yang dilakukan pemerintahan kala itu?
Tak mungkin untuk membandingkannya, sebab setiap
masa ada sejarahnya. Setiap waktu berbeda derap langkah yang bisa dilangkahkan.
Sekali pun begitu, prinsipnya tetap
melekat dengan kenyataan sesungguhnya.
Hanya saja, persoalan yang dipersoalkan nyaris tak
pernah tuntas. Ada-ada saja masalah yang muncul. Diselesaikan satu masalah,
muncul masalah baru. Begitu terus, terus dan terus. Tak pernah ada yang
mendekati sempurna.
Pada ruang lingkup pemerintahan, misalnya, masa
kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun dianggap tidak lagi berpihak kepada
masyarakat dan banyak persoalan, digugat rakyat. Kemudian secara berturut,
penggantinya, Habibie, Megawati, Gus Dur, dan kemudian SBY, tetap saja dianggap tidak tidak lebih baik.
Belakangan, banyak persoalan juga sedang
“menyerang” SBY. Pertanyaannya sekarang; ketika SBY diganti hari ini, akankah
penggantinya bisa mendekati sempurna?
Pada lingkup yang lebih kecil, semisal sebuah
organisasi profesi, akankah Konfercab PWI Sumbar yang digelar Senin besok mampu
memperbaiki wartawan anggota PWI Sumbar dalam banyak hal?
Konfercab PWI Sumbar kali ini menarik untuk disimak. Ada sekitar 200-an
anggota akan memberikan suaranya untuk “pertaruhan” kepemimpinan organisasi
untuk empat tahun ke depan. Ketika organisasi profesi lainnya hendak mengganti
kepengurusan, biasanya diiringi dengan maraknya pemberitaan bursa suksesi.
Berbeda jika dibandingkan dengan Konfercab PWI Sumbar kali ini.
Adakah ini pertanda bahwa posisi ketua yang akan
menahkodai PWI Sumbar untuk periode berikutnya
tidak menarik lagi? Atau, “tukang sampaian berita” tidak butuh berita untuknya sendiri?
Saya masih
ingat perihal Konfercab PWI Sumbar empat tahun silam. Ketika itu, saya
mendapat amanah untuk duduk di salah satu kursi unsur pimpinan sidang bersama
empat orang anggota PWI Sumbar lainnya. Beragam kurenah yang saya saksikan. Satu
sama lain saling membela jagoannya.
Dari beberapa calon, hanya ada dua landasan.
Incumbent dan sang penantang. Bagi kubu incumbent, selain berjuang untuk
mengingatkan orang akan kerja baiknya terdahulu, juga bekerja keras untuk
“menutup” celah buruk kepemimpinannya. Bagi penantang, “kampanye”-nya lebih
cenderung untuk mencari sisi lemah kepemimpinan terdahulu, sehingga bisa
“menjual” hal baru yang belum tersentuh kepengurusan terdahulu.
Kejadian ini, sebenarnya bukan hal baru. Sudah
menjadi kebiasaan untuk setiap suksesi kepemimpinan mana pun, dan ini biasanya
cenderung mujarab bagi sang penantang. Lalu, akankah untuk suksesi kepemimpinan
PWI Sumbar ke depan hal itu juga berlaku?
Tiba-tiba, saya kembali ingat pesan bijak
Confusius. Katanya, pemerintah hanyalah mengatur segala hal yang benar. Jika anda
memimpin rakyat dengan keteladanan yang benar, siapa yang akan berani
menantang?
CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, edisi
Minggu 12 Juni 2011
No comments:
Post a Comment