Sejak pertemuan di rumah Mirna, ternyata tanpa sengaja, Badri dan
Mirna sering berjumpa. Pertemuan mereka
terjadi di tempat berbeda. Terkadang di tempat baralek, sama-sama pulang dari surau, di
jalan ketika menuju atau pulang dari ladang. Sejak itu pula, tak pernah Badri
bisa bicara langsung.
Setiap ia hendak menyampaikan
persoalan mengintip Rabiatun, seketika itu juga Mirna mengalihkan cerita.
Permintaan Mirna selalu sama, bicarakan dikesempatan lain saja. Sejak itu pula,
Badri sering kali mencoba membuat janji dengan Mirna. Gadis itu menurut, namun
setiap Badri hendak mengulang pembicaraan serupa, Mirna pun mengelak. Badri
makin bingung.
Diam-diam mereka saling buat janji. Mengukir waktu, mencuri kesempatan
untuk bisa bertemu. Mereka bertemu diam-diam, tak mau ada yang tahu. Kalau pun
mereka tahu bahwa orang tua mereka sudah berteman sejak masih muda, namun
mereka tak percaya kalau pertemuan diam-diam itu akan direstui. Kalau pun harus
datang ke rumah masing-masing lebih memungkinkan, namun mereka juga harus
berjuang untuk mengakali agar pertemuan itu benar-benar logis.
Tak mudah bagi mereka untuk skenario. Badri terus mencari jalan agar ia diminta
mande ke rumah amak, begitu pun Mirna. Ia juga terus mencari akal agar diminta amak
untuk menemui mande. Kalau itu terjadi, maka memungkin bagi mereka untuk
bertemu dalam kurun waktu yang agak lama dan tidak perlu kuatir dilihat orang.
Pernah ada yang ketahuan, kemudian kepala keduanya dibotak. Rambut mereka
dipotong habis. Beberapa waktu berselang, kembali mereka ditemukan berduaan.
Warga pun marah. Selain kepala mereka digunduli kembali, hukuman pun dijatuhkan
lebih berat. Keduanya dinikahkan, namun tak seberapa orang yang hadir. Prosesi
pernikahan hanya dihadiri keluarga dan tetangga sebelah rumah saja.
Badri tak ingin hal itu terjadi, namun ia masih terus mengukir janji dengan
Mirna. Ketika tak memungkinkan datang ke rumah, keduanya merancang pertemuan
secara sembunyi-sembunyi. Biarlah tidak tiap hari, biarlah tidak tiap minggu,
namun jika ada momen-momen penting, seperti baralek, pulang dari surau, jalan ketika
menuju atau pulang dari ladang atau moment yang mereka rancang sendiri, sudah
cukup untuk mempertautkan rasa mereka berdua.
Pertemuan paling menyenangkan, sekali pun tidak setiap saat, justru diidamkan
mereka ketika ada orang di kampung baralek. Di sana, bisa saja sepekan lebih
mereka bertemu. Pertemuannya pun dalam rentang waktu yang lebih lama.
Kebiasaan di kampung mereka, proses persiapan baralek di rumah mempelai
adalah urusan muda-mudi. Sepekan sebelum ijab kabul, biasanya muda-mudi akan
mengurus persiapan tempat. Mempersiapkan dapur yang lebih besar, tungku-tunggu
untuk memasak, menata bagian dalam rumah, kamar pengantin, pekarangan rumah,
pemasangan tenda, mempersiapkan kayu bakar termasuk membantu mengangkat
kebutuhan lainnya.
Momen di tempat baralek menjadi penting bagi keduanya. Mereka tak akan
pernah dicurigai, tak akan pernah diawasi, sekali pun mereka berduaan agak
lama. Pertemuan di tempat yang ramai, apalagi di tempat baralek, dipandang
sebagai hal yang biasa. Tak mungkin terjadi aktivitas yang lebih jauh, lagi
pula kehadiran di sana merupakan kehadiran yang dianjurkan. Kehadiran muda-mudi
di tempat baralek dimaksudkan untuk menjaga
silaturrahmi, kemudian membantu pemilik
hajatan. Langkah kerja ini sudah terjadi sejak lama, jauh sebelum mereka lahir.
Selama berupaya menyelesaikan persoalan dengan Mirna, selama itu pula
Rabiatun nyaris terabaikan oleh Badri. Lelaki itu harus menuntaskan urusannya
secepat mungkin dengan Mirna, namun perempuan itu terus menggantung. Ia selalu mengulur-ulur waktu ketika Badri
membicarakan persoalannya.
Badri tak menyadari, ternyata,
diam-diam, Mirna sudah sejak lama jatuh hati padanya. Badri adalah sosok lelaki
yang sangat dikaguminya. Kalau pun Mirna tahu Badri masih sering keluyuran,
namun ia sudah lama jatuh hati pada lelaki tersebut.
Sejak ia membela Rabiatun saat pulang sekolah ketika SD dulu, Mirna
langsung kagum padanya. Ia melihat Badri sebagai sosok lelaki yang melindungi.
Tak usil. Tak pernah mengganggu teman-temannya, apalagi anak-anak perempuan. Ia
justru cenderung bersikap melindungi teman perempuan. Mirna sejak awal
sebenarnya tahu kalau ayah Rabiatun bukanlah seorang pesilat.
Ia memang tak mau menyampaikan langsung. Tabu jika perempuan memulai
mengungkapkan isi hatinya pada lelaki, namun Badri tak pernah tahu kalau cara
Mirna adalah untuk mengakali pertemuan demi pertemuan mereka. Mirna sejak lama
mengagumi Badri, namun ia tak nyaris tak pernah mendapatkan kesempatan untuk
dekat dengan Badri. Lelaki itu lebih memperhatikan Rabiatun daripada dirinya.
Badri tak pernah menyadari, saat
Mirna meminta agar ia menemuinya di batas kampung mereka, saat purnama tiga
bulan lalu. Badri hanya bermaksud untuk menyelesaikan persoalannya saja, namun
Mirna sudah mempersiapkan rencana sendiri. Ia sengaja mengajak Badri ke sana
karena ia tahu kalau di kawasan tersebut sedang ada acara malam purnama.
Sebelum keduanya sempat bertemu, Badri sudah balik kanan. Ia takut, di sana
sangat ramai.
Badri kemudian membongkar kenangan masa lalu. Ia mengingat sesuatu yang tak
pernah diduga saat masih mengaji di surau. Ia pernah mendapatkan salam dari
Mirna. Salam untuknya diterima dari beberapa kawan perempuannya sama mengaji.
Ketika itu, Badri menjawab sambil bersiloroh, ia tahu, usianya dan Mirna belum
pantas. Ia berprasangka baik saja, semua salam itu pasti candaan kawan-kawannya
saja.
Sejak kejadian itu, Badri mencoba menghindar. Ia mulai menjaga jarak, namun
jarak yang dibuatnya tersebut justru semakin mendekatkan Mirna padanya. Setiap
Badri menjauh, ketika itu juga Mirna mendekat.
Saat mereka bertemu, Mirna selalu memancing dengan kalimat yang menghunjam.
Ia belum mengatakan kepada siapa pun perihal perbuatan Badri yang suka mengintip.
Setiap kalimat itu dilontarkan, saat itu pula Badri berpikir keras.
Saking paniknya dengan kalimat itu, Badri sempat nyaris kalap. Ia sudah
berencana untuk menghabisi Mirna. Ia merasakan, kalimat yang dilontarkan Mirna
sudah berarti teror terhadapnya. Kalimat
itu dilontarkan Mirna justru saat dirinya mencoba menghindar darinya. Ketika
sudah dekat, Mirna justru menghindar.
Badri sudah mempersiapkan seutas tali dan belati. Ia sudah bersepakat untuk
bertemu Mirna, sepulang salat isya. Tali dan belatinya sudah disimpan di bawah
bawah batu besar disebuah persimpangan jalan.
Rencana jahat itu dibatalkan secara tiba-tiba. Ia sudah jalan seiring
dengan Mirna, namun entah kenapa, tiba-tiba ia menangkap sosok Rabiatun pada
diri Mirna. Ia seakan berjalan beriringan dengan Rabiatun, gadis yang sudah
lama terabaikan olehnya demi menyelesaikan persoalan dengan Mirna.
Awalnya pikirannya bercabang. Apakah rencana semula diteruskan atau tidak.
Ia memilih untuk tidak melanjutkan, sebab sosok yang ada di sampingnya bukan Mirna,
tetapi Rabiatun.
Badri membayangkan, kalau niat itu jadi dilakukannya, tali yang sudah
dipersiapkan di bawah batu akan dijeratkan ke leher gadis di sampingnya. Tapi,
apa salah Rabiatun? Rabiatun tak bersalah. Ia hanya bermaksud untuk membuat
perhitungan dengan Mirna, tetapi kenapa Mirna berganti wujud menjadi Rabiatun?
Atau, apakah pandangan yang terlihat hanya ilusi saja? Kalau niat itu terus
dilakukan, kemudian yang terbunuh tetap Mirna, lalu masihkah Rabiatun atau
keluarganya mau menerima kehadirannya kelak selepas dari penjara?
Beragam pikiran berkecamuk di kepala Badri.
No comments:
Post a Comment