Sejak pertemuan di malam jahanam, Badri mencoba mengubur jauh tentang
Mirna. Ia sebenarnya sudah mulai merasakan hatinya terpaut pada Mirna. Mulanya
memang hanya sandiwara. Ia mendekati Mirna untuk menutup malunya agar Mirna tak
membocorkan perangainya mengintip Rabiatun di tapian.
Mulanya Badri hanya patuh pada permintaan Mirna karena takut perangainya
dibocorkan ke orang kampung. Bagaikan sapi yang diberi tali di hidungnya, Badri
menurut saja. Ia patuh jika ada permintaan dari Mirna.
Mande melihat dan merasakan gelagat
perubahan Badri terhadap Mirna, namun mande tak pernah menanyakan. Ia hanya
berasumsi, hubungan baik dirinya dengan teman lamanya ternyata berlanjut pada
anak-anak mereka. Apalagi ia dan amak Mirna sering meminta bantuan anak-anak
mereka untuk menyampaikan pesan atau mengantarkan masakan.
Bagi Badri, ia tidak merasa patuh, juga tak merasa takluk di tangan Mirna,
namun ia mencari celah agar sampai menemukan titik dimana Mirna takluk padanya
dan kemudian benar-benar tak akan pernah mengungkit perangainya lagi.
Tak ada dalam kamusnya kalau ia takluk. Mirna bukan siapa-siapa.
Dibandingkan gadis-gadis lain di nagarinya, Mirna tak masuk hitungan. Apalagi
jika dibandingkan Rabiatun. Jauh. Sangat jauh.
Jika ditanya pada sepuluh lelaki di nagari itu, lalu diminta memilih Rabiatun atau Mirna untuk pendamping
hidup mereka kelak, barangkali hanya satu orang yang akan memilih Mirna. Itu
pun, mungkin, karena terpaksa. Selebihnya akan memilih Rabiatun.
Lelaki yang memilih Mirna karena terpaksa itu adalah Badri. Awalnya tak ada
rasa apa pun. Ia hanya mengikuti keinginan Mirna karena terpaksa, takut
rahasianya dibongkar. Rasa terpaksa itu ternyata berubah menjadi cinta. Ada
gelora yang membara.
Badri tak menyadari kalau berlahan dan pasti ia merasa ada sesuatu yang
mengusiknya. Ia mulai tertarik pada Mirna. Berharap bertemu setiap hari walau
secara sembunyi-sembunyi. Ia mengatur pertemuan sedemikian rupa seperti halnya
ketika ia menjalin hati pada Rabiatun.
Pertemuan Badri dan Mirna jauh lebih tenang dibandingkan dengan Rabiatun.
Badri punya alasan ke rumah Mirna, walau berawal dari permintaan mande. Di
rumahnya, Mirna menyambut Badri. Ia tak perlu cemas kalau kebersamaannya
diketahui orang kampung. Ia tak akan pernah takut kalau bertemu berlama-lama. Orang
tua mereka seakan merestui hubungan mereka, sekali pun keduanya belum pernah
menyinggung hubungan sesungguhnya.
Bagi Badri, jika mande memintanya ke
rumah amak, ia menyambut perintah itu dengan hati lapang. Tak jarang, amak juga
memberitakan permintaan tambahan pada Badri. Kadang ia diminta menumbuk padi,
membetulkan atap rumbio, memberi makan ayam. Badri menerima dengan hati lapang.
Ini kesempatan untuk selalu dekat dengan Mirna.
Tapi kejadian malam lalu, telah membuka matanya. Bayangan Mirna yang
belakangan mengganggu tidurnya, membuyarkan lamunannya, berubah menjadi sosok
menjijikkannya. Ia mengunakan guna-guna untuk memperdaya dirinya.
”Sebelum kamu membeberkan perangaiku, aku terlebih dahulu akan mengatakan
dirimu sesungguhnya kepada orang kampung,” ancam Badri, ketika Mirna datang ke
rumahnya, mengantarkan pesan amak untuk mande.
Mirna terpaku. Kali ini, tubuhnya membeku. Ia tak bicara apa pun. Tak lagi
segarang saat menyerang Badri. Lelaki berkumis tipis itu terus menyerang,
meruntuhkan pertahanan Mirna. Badri
terus menyerang. Mirna tak menjawab. Ia merunduk, tak mampu menatap wajah
Badri.
”Kenapa kamu diam?” tanya Badri, ”aku tak menyangka, ternyata kamu pemuja
guna-guna. Siang nanti aku akan menemui wali nagari...” sambung Badri, namun ia
menggantung kalimatnya.
”Cukup. Aku bermohon, maafkan aku. Aku meminta, jangan laporkan ke wali
nagari dan mamak nagari,” pinta Mirna berharap. Ia tahu, jika persoalan ini
sampai ke wali nagari, maka ia bisa dibuang
sepanjang adat.
Hukuman dibuang sepanjang adat merupakan hukuman paling berat di nagarinya.
Jika hukuman ini sudah diberikan kepada seseorang, maka orang yang dihukum
tersebut tak boleh lagi pulang ke kampungnya. Tak boleh lagi kembali ke
nagarinya, apa pun yang terjadi. Jenazahnya pun tak boleh dibawa pulang dan
dimakamkan di pandam pekuburan keluarga di nagarinya. Mirna tak ingin jejak
keluarganya hilang karena ia dibuang sepanjang adat.
”Apa pun permintaanmu, akan aku penuhi asalkan jangan laporkan kejadian
malam itu kepada siapa pun, apalagi ke wali nagari dan mamak nagari,” pinta
Mirna tersedu-sedu.
”Kalau tak mau?” tanya Badri.
Pertanyaan itu menyentakkan Mirna. Ia tak menduga kalau lelaki yang serasa
sudah dalam genggaman itu menantangnya. Ia benar-benar tak berdaya. Tak ada
kata yang terucap dari bibirnya yang sedikit tebal.
Lama suasana diam, Badri pun mendiamkan. Ia berputar-putar mengelilingi
Mirna. Badri merasa sudah menguasai gadis di hadapannya ini.
”Kalau kamu tak mau, itu sama artinya kamu menghancurkan persahabatan amak
dan mande,” katanya masih menunduk.
Badri terkejut. Ia tak menduga dapat serangan balik. Baginya, ibu adalah
segala-galanya. Kalau ia menghancurkan persahabatan mande dan amak, sama saja
ia telah menancamkan belati ke dada mandenya sendiri.
”Oke, aku terima permintaanmu. Aku hanya meminta agar kamu melupakan aku
dan melupakan apa yang pernah ada padaku,” kata Badri.
Mirna mengangguk, kemudian ia berlalu.
Badri melepas kepergian Mirna. Ia ikuti kepergian Mirna sampai gadis itu hilang
di balik pepohanan di pekarangan depan rumahnya.
Badri tersenyum, namun saat itu juga keningnya berkerut.
*
Langkah Badri terhenti. Ia melihat Mirna bersama Rabiatun. Kedua pulang
dari tapian. Mereka tampak bicara
serius, namun Badri tak tahu apa yang mereka bicarakan. Badri penasaran. Sejak
ia ketahuan mengintip Rabiatun di tapian oleh Mirna, ia tak lagi pernah datang
ke tapian.
Ia takut kalau kebiasaannya mengintip diketahui yang lain. Ia terpaksa
harus mendekati Mirna agar gadis itu tak membocorkan perangainya pada orang
lain. Ia harus mampu menjinakkan dan meluluhkan hati Mirna, agar rahasia itu
ditutupnya rapat-rapat.
Sejak itu ia semakin dekat dengan Mirna, sampai akhirnya hatinya terpaut
pada Mirna. Ia mulai merasakan ada bara cinta dalam dadanya, dan sejak itu pula
ia seakan lupa pada Rabiatun, gadis yang telah mempenjara hatinya sejak kecil.
Sejak mendapati Mirna mengguna-gunainya, Badri baru berani untuk menjauhinya. Ia yakin, Mirna tak
akan berani buka mulut. Jika ia membocorkan perangainya, maka Badri sudah punya
kartu pula untuk buka suara. Keduanya sama-sama membungkus aib, menyimpan
pantangan orang sekampung.
Pertemuan Mirna dan Rabiatun menjadi tanda-tanya bagi Badri. Pikirannya
yang sudah lapang, kembali menghadirkan masalah. Ada kecemasan baru, ada
sebongkah ketakutan. Ketika dirinya kembali hendak memikat hati Rabiatun, ia
melihat pertemuan Rabiatun dan Mirna sebagai ancaman baginya.
Badri mengikuti langkah keduanya. Jalannya makin dipercepat, berharap dapat
menyusul keduanya.
”Dari mana, kok sendirian saja?” sapa Rabiatun bertanya sembari menoleh ke
belakang, seakan menyambut kedatangan Badri, disaat Badri tak jauh darinya.
”Saya baru saja dari hutan, mencari kayu bakar,” balas Badri.
Mirna menatap Badri dalam-dalam, dari ujung kaki ke ujung rambut. Badri
melangkah tenang, ia tahu dipreteli Mirna, namun ia tak peduli. Di pundaknya ada dua ikat kayu bakar untuk
dibawa pulang.
No comments:
Post a Comment