Sampai di rumah sepulang dari pos
ronda, menjelang malam, Badri membawa dendang dari siulan. Hatinya
berbunga-bunga. Ia mendapati mande masih menjahit.
“Mande, siapa yang akan menikah?” tanya
Badri, ketika ia menemukan
seonggok siriah langkok[1]
di meja ruang tengah rumahnya.
“Rabiatun ka baralek. Tadi ayah dan ibunya ke sini. Beliau juga
mengundangmu sekalian meminta bantuanmu untuk persiapan pesta nanti,” jawab
mande. Ia terus menyulam.
Badri tergagap. Langkah dan siulannya terhenti.
“Rabiatun, mande?” tanyanya tergagap.
Lelaki yang sedang dimabuk asmara, menunggu kehadiran mamak Rabiatun,
ternyata disambar petir di siang bolong.
Dadanya terbakar. Ada api bergejolak di ubun-ubunya. Api itu tak terpadamkan
hujan. Matanya liar. Mencari sesuatu. Ia menuju dapur. Diperiksa semua kolong
meja dan sudut dapur. Ia mendapatkan kampak.
Digenggam. Ditimang-timang. Matanya masih liar. Keningnya berkerut. Dadanya
berguncang hebat.
Ditinggalkannya kampak, lalu ia melangkah ke luar. Mande mengikuti
langkahnya. Belum sempat mande mengajukan tanya, Badri sudah berada di luar
rumah. Ia berlari. Menembus semak belukar. Larinya menuju arah rumah Rabiatun.
Tak seorang pun yang melihatnya. Semua rumah sudah tertutup. Hujan mengguyur
malam.
Di depan rumah Rabiatun, Badri berhenti. Ia menatap sekeliling. Sudah
gelap, hanya ada sedikit cahaya dari kamar samping. Badri memastikan, cahaya
itu di kamar gadis yang sangat didambakannya, namun segera akan menikah dengan
lelaki lain.
Pada langkah ke tiga hendak ke arah kamar yang masih bersinar, Badri
terhenti. Ia menimbang sejenak. Api terus bergejolak dari dada hingga membakar
ubun-ubunnya. Langkahnya diurungkan, kemudian ia bergerak dan berlari. Badri
terus berlari. Berlari menuju suatu tempat di nagari subarang.
“Belum terlambat, ia pasti kembali padamu,” jawab
Mak Pado menenangkan Badri, disaat nafasnya masih tak beraturan.
Saat dirinya masih diam, belum bisa bicara karena nafasnya masih
terengah-engah, Mak Pado bertutur panjang. Badri tersentak. Mak pado membeberkan masalah yang
dihadapinya, sehingga Badri berdecak kagum. Ia belum bicara sepatah kata pun,
namun Mak Pado sudah membeberkan kalau kedatangannya karena telah dikhianati.
Mak Pado menanyakan perihal niat kedatangan Badri. Akankah untuk balas
dendam atau mengembalikan gadis pujaannya? Ia tak mau menganiaya. Ia tak tega
melihat gadis pujaannya teraniaya. Badri meminta pilihan kedua. Ia masih sangat
mencintai Rabiatun. Ia masih mengharapkan Rabiatun akan menjadi pendamping
hidupnya.
Mak Pado paham. Ia mengangguk, kemudian mengatakan sesuatu. Ia membisikkan
sesuatu sebagai syarat. Badri terdiam. Sejenak ia berpikir. Keningnya kembali
berkerut. Lama ia menimbang-nimbang. Tak lama setelah itu, ia mengangguk.
Setuju permintaan Mak Pado sebagai syarat menggunakan jasa perdukunannya.
Kemayan pun dibakar. Badri duduk di depan Mak Pado. Matanya dipejamkan.
Desahan mantera-mantera yang diucapkan Mak Pado tak bisa dipahaminya. Kalimat
demi kalimat meluncur deras. Tak lama berselang, dari punggung hingga kepalanya
terasa ada yang menggerayangi. Bau kemayan makin menusuk hidung.
Setelah diperintahkan buka mata, Badri tak menemukan Mak Pado di depannya.
Tapi sudah berada di belakang. “Belum
terlambat, ia pasti kembali padamu,” Mak Pado kembali meyakinkan Badri.
Lalu diberikannya bungkusan berbalut kain paco hitam.
*
Bungkusan itu yang kini hendak dibuka Badri. Semua perintah Mak Pado sudah dijalaninya. Ia sudah mandi
mandi rempah dan bunga tiga rupa dari tiga tapian. Itu artinya, begitu bungkusan itu dibuka, ia akan
menjalani prosesi terakhir dari seluruh perintah Mak Pado. Badri ingin Rabiatun
kembali padanya.
Jantungnya berdebar. Dibukanya bungkusan itu, lalu matanya dipejamkan
sesuai perintah Mak Pado. Diraihnya isi bungkusan, ia merasakan sebuah benda.
Badri pun kemudian yakin, benda itu sebuah cincin. Tanpa pikir panjang,
disorongkannya cincin itu ke jari manis tangan kanannya. Konsentrasinya
melayang ke wajah Rabiatun. Disebutnya nama gadis itu. Pada panggilan ke tujuh,
diusapnya lingkaran cincin, dua kali putaran.
Lalu dilafaskannya sejumlah mantera yang diajarkan Mak Pado sembari
melafaskan mantera itu, diusapkan bagian atas cincin. Badri terus
berkonsentrasi melafaskan mantera sembari mengusap cincin itu.
Badri merasakan, ada lima tonjolan di lingkar atas cincin tersebut. Setiap
lingkar, disebutnya nama Rabiatun. Semua bayangan tentang Rabiatun diingatkan
bersamaan mengucapkan mantera.
Ingatan dalam konsentrasinya menangkap tubuh Rabiatun yang talanjang gegek di tapian, manisnya senyum
Rabiatun ketika mereka mengatur pertemuan di jalan, di tampek baralek, atau pulang dari surau. Sangat indah kenangan itu.
Satu persatu tonjolan lingkar atas cincin itu diusap Badri. Dalam
konsentrasi agar Rabiatun segera kembali padanya, jantungnya berdebar. Setelah
kelima tonjolan di lingkar atas cincin itu diusap sambil melafaskan mantera
selesai, berlahan matanya damakka. Pelan.
Itu pesan Mak Pado.
Ketika matanya telah terbuka sempurna, debaran jantungnya makin kuat. Ada cincin besi putih di jarinya. Cincin itu terus
ditatap. Tak berkedip. Keningnya berkerut, seakan mengingat sesuatu.
Benarkah? Jantungnya kian berdetak kencang menatap cincin besi putih
berkelopak mawar.
Lalu cincin itu dicabut dari jari manisnya, kemudian dilemparkan keluar
lewat jendela yang sejak tadi terbuka. Cincin serupa pernah diusapnya di jemari
Rabiatun, ketika mereka merajut hati di balik rimbun hilalang.
Sejak Rabiatun menikah, Badri menghilang dari kampung. Tak seorang pun yang
tahu di mana perantauannya. Mirna juga begitu. Ada spekulasi, Mirna pergi
dibawa lari oleh Badri. Saksi mata lain mengatakan, tujuh hari sejak Badri tak
ada di kampung lagi, mereka masih bertemu Mirna.
Terakhir kali, pak Somat melihat Mirna meletakkan sesajian, kemudian ia
melangkah menuju tapian. Enam langkah setelah ia meletakkan sesajian, ada desiran angin yang datang tiba-tiba, kemudian
membentuk pusaran angin. Turun tepat di tempat Mirna, kemudian pusaran angin itu bergerak ke arah
sesajian yang tadi diletakkan gadis itu.
Kata pak Somat, ia hanya
memperhatikan pusaran angin itu saja. Pusaran angin itu langsung hilang di
tempat sesajian, tidak kembali ke tempat semula turun, seperti selama ini yang
diketahuinya. Ketika pusaran angin itu hilang, ia tak melihat Mirna lagi.
Tapi ia ragu pula, apakah yang meletakkan sesajian itu benar-benar Mirna
atau bukan. Ia tak bisa memastikan. Pak Somad hanya yakin, perempuan itu benar
mirip Mirna.[]
[1]
Daun sirih, sadah, gambir, sebagai pertanda undangan resmi secara adat di
Minangkabau untuk sebuah pernikahan.
[2]
Salah satu makian yang tergolong kasar di Minang
No comments:
Post a Comment