Hari belum gelap, namun Mirna sudah menutup jendela kamarnya. Sinar
lembayung menerobos masuk dari pintu angin. Pintu kamar sudah terkunci sebelum
Mirna menutup jendela.
Mirna membolak-balik pakaian di lemari. Ia mencari sesuatu. Tak lama di
antaranya, ia membentangkan handuk kecil dengan kedua tangannya. Handuk itu diciumnya
dalam-dalam sembari memejamkan mata.
Sesaat kemudian ia membuka matanya, menjauhkan hidungnya dari handuk kecil
itu. Tak lama berselang, ia kembali mengulangi caranya semula. Cara mencium
yang sama dilakukannya tujuh kali, setelah itu ia meletakkan handuk itu di
bawah bantalnya.
Mirna duduk bersila di atas pembaringan. Jempol tangan kanannya beradu dengan
jari tengah dan telunjuknya. Ia menggerakkan ketiga jari itu sekaligus. Ada
bongkahan manik-manik hutan pecah diantara ketiga jari yang bergerak. Mulutnya
komat-kamit.
Konsentrasinya buyar. Ada suara amak memanggil. Mirna menyahut sebentar,
kemudian bergegas merapikan tempat tidurnya, kemudian menutup jendela.
Dikuatnya pintu kamar. Amak ternyata hanya mengingatkan, kalau hendak tidur,
jangan lupa periksa pintu dan jendela. Mirna mengangguk. Katanya, semua pintu
dan jendela sudah ditutup. Ibu pun berlalu. Mirna pun menutup pintu kamarnya
dan kemudian kembali memulai prosesi
yang tadi terganggu.
Mirna mengulang kalimat yang dilafaskannya tadi. Berulang ia mengungkapkan.
Mulutnya komat-kamit. Matanya dipejamkan. Tekanan pada manik-manik hutan
semakin keras. Manik-manik hutan itu pun pecah. Berderai. Diulangi pada
manik-manik hutan yang lain. Semakin keras, pecah dan kembali berderai. Begitu
berulang kali.
Di sudut kamar lain, Badri menahan
birahi. Ia tak lagi melihat sosok Rabiatun mandi di pincuran, tapi ia menangkap
siluet tubuh Mirna. Ditatapnya dalam-dalam. Jakun-jakunnya naik turun seirama
derasnya aliran darah yang menjalar di
nadinya.
Sejak Mirna mengatakan kalau ia sering melihat Badri mengintip Rabiatun mandi di tapian, lelaki
jangkung itu merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Mirna sama dengan
Rabiatun. Keduanya teman Badri sejak kecil. Satu sekolahan saat di SD, tapi
Mirna cenderung tak lebih dari teman biasa. Berbeda dibandingkan rasa Badri
pada Rabiatun.
Rasa itu berubah seiring waktu. Rasa itu berganti seirama ancaman Mirna.
Mirna pernah mengancam Badri, ia akan membeberkan perangai Badri jika lelaki
itu menjauhinya. Mirna berterus terang, ia sangat menyukai Badri.
Badri tak memiliki rasa. Ia hanya sangat takut, takut kalau perangainya
dibeberkan Mirna. Sejak itu pula, ia mendekati Mirna. Ia berupaya agar Mirna
bisa mengampuninya dan kemudian melupakan apa yang pernah ditangkapnya dari
perangai Badri. Setiap saat berupaya mencari celah agar bisa bertemu Mirna. Kedekatan
mande dengan amak Mirna dijadikan senjata utama agar ia bisa lebih sering ke
rumah Mirna. Ia mendekati Mirna dengan dua rencana itu saja; Mirna
mengampuninya dan melupakan perangainya.
Pertemuan demi pertemuan terjalin. Mirna juga sering ke rumahnya, tapi
bukan semata-mata mencari Badri. Ia diminta amak untuk menemui mande, atau
mengantarkan masakan amak untuk mande. Juga sering mendampingi ibu untuk bersilaturrahmi
dengan mande.
Waktu telah mengubah segalanya. Pertemuan tanpa rasa telah berganti menjadi
rasa yang bergelora. Badri selalu mencari kesempatan agar diminta ke rumah amak.
Jika tugas itu sudah diberikan, ia akan berlari mengejar mimpi barunya. Menemui
Mirna, perempuan yang seakan memberikan kedamaian
jika disampingnya.
Badri bangkit. Dikuaknya jendela. Di luar purnama menembus dedaunan,
biasnya berlabuh di kamar. Badri melompat keluar jendela, kemudian
merapatkannya kembali. Ia berjalan mengendap-endap. Ia mengambil jalan di
peladangan, bukan jalan setapak di kampung. Ia tak ingin ada yang melihatnya
berjalan menembus malam.
Ia menghindari galanggang di kampung. Di sana, setiap purnama, puluhan
teman sebayanya menikmati purnama bersuka cita. Selepas isya, suasana semakin
ramai. Setelah pertunjukan randai, anak-anak muda akan menguji ilmu silat
tangan kosongnya. Siapa saja boleh menantang siapa pun. Kalah tetap lebih terhormat
dari pada menolak tantangan.
Bagi yang menolak tantangan, tidak
diperbolehkan datang ke galanggang selama lima purnama. Jika tidak datang ke
galanggang karena takut menerima tantangan, ia akan dikucilkan dalam pergaulan
sehari-hari. Itu adat tak tertulis di nagari.
Badri sejak tiga hari terakhir tidak keluar rumah. Ia berdekam di kamar. Ia
mengabarkan kalau dirinya sedang demam. Ketika yang lain menguji nyali di
galanggang, ia justru mengambil jalan mengendap-endap menjauhi galanggang.
Badri masih merasakan adrenalin beradu nyali di galanggang. Setiap purnama
ia merasakannya. Sejak ia pernah menolak tantangan, saat masih duduk di bangku
SD, ia langsung terpukul. Sepanjang waktu diolok-olok. Setiap saat disindir. Lima
purnama tak boleh ke galanggang tak ubahnya sebuah penyiksaan. Ia tersiksa
secara batin dan harga diri.
Kali ini ia lebih aman. Ia mengaku demam. Ada alasan untuk tidak datang ke
galanggang, namun ia harus tetap waspada. Jangan sampai ketahuan. Kalau
ketahuan, alamat habislah harga dirinya sebagai lelaki dari nagari yang memiliki jagoan dan petarung ulung. Nagari itu
terkenal memiliki para pendekar hebat.
Sekali pun tidak melangkah ke galanggang, namun Badri tetap merasa seperti
melangkah ke arena. Adrenalinnya justru lebih tinggi. Ia melangkah dengan
langkah tak biasa ke sebuah tempat yang sudah biasa ditujunya.
Badri terus mengendap-endap mendekati jendela kamar yang terbuka. Sejak
memasuki pekarangan rumah Mirna, konsentrasinya tertuju pada jendela yang
terbuka. Ia meningkatkan kewaspadaan. Tak ingin ketahuan.
Badri juga berpikir, kenapa jendela kamar Mirna masih terbuka, atau apakah ia lupa menutup? Badri terus mendekati jendela. Ia berpikir,
Mirna pasti lupa.
Walau sudah waspada, namun dugaan Badri meleset. Sepasang mata mengintai
langkahnya. Sesosok bayangan terus mengikuti gerakannya. Badri terus mendekati
jendela kamar yang masih terbuka.
”Akhirnya kamu datang juga,” sebuah suara mengejutkan Badri.
Jantungnya seakan copot, lalu putus. Badri terduduk persis di depan
jendela. Tubuhnya seakan terpaku ke bumi. Ia tak bisa mengelak. Mirna berdiri
tepat di belakangnya.
”Kamu mencari saya?” tanya Mirna.
Badri tak menjawab. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku.
”Aku sudah menduga,” lanjut Mirna.
Ia kemudian membantu mengangkat tubuh Badri yang kaku ke tepi jendela,
kemudian mendorongnya. Selang sekejap mata, tubuh Badri sudah berada di jendela
dan kemudian mengelinding ke seberangnya. Badri sudah berada di dalam kamar
Mirna. Setelah itu, Mirna menyusul. Pintu kamar pun ditutup rapat.
Suasana hening. Badri melepaskan pandangan ke sekeliling kamar yang
temaram, tak lagi seterang saat jendela terbuka. Ia seakan mencari sesuatu. Hidungnya
pun bergerak-gerak, lalu ia melangkah mendekati tempat tidur. Mirna terkejut,
ia cepat mengemasi barang-barang yang
ada di atas kasurnya, namun ia kalah cepat dari Badri. Ada sesuatu yang diambil
dari atas kasur.
”Kamu memanggil saya dengan manik-manik hutan?” tanya Badri.
Mirna diam.
Badri kembali mengulangi tanya. Mirna tetap diam.
”Kenapa kamu memangil saya dengan manik-manik hutan?” tanya Badri lagi.
”Kenapa kamu yang memulai, mengintip orang mandi di tapian dan kemudian
mengendap-endap ke kamarku? Kalau hanya sekadar memanggil dengan manik-manik
hutan, kamu bisa menangkal. Semua orang bisa menangkal panggilan dari
manik-manik hutan dengan mudah,” balas Mirna menyerang Badri.
Badri tak bisa menjawab. Ia menyadari, memanggil seseorang dengan
manik-manik hutan adalah guna-guna tingkat rendah di nagarinya. Setiap orang
yang dipanggil, biasanya menyadari bahwa ada yang memanggilnya. Jika yang
dipanggil tidak membayangkan orang yang memanggil dengan birahi, maka panggilan
itu akan mental dengan sendirinya.
”Kalau kamu memang merasa benar, sekarang juga silakan keluar dari
kamarku,” kata Mirna sembari menguakkan jendela.
Badri segera bergerak dan meloncat keluar jendela. Ketika kakinya hendak
dilangkahkan, Mirna mengancamnya. Ancaman itu tak dihiraukan. Ia terus
melangkah meninggalkan Mirna.
No comments:
Post a Comment