Sejak melepaskan diri dari Mirna, Badri kembali mengejar cinta Rabiatun. Ia
menjemput kisah masa lalu bersama Rabiatun. Perempuan idamannya itu terus
dibuntuti. Hari-harinya selalu mencari celah agar bisa kembali dekat pada
Rabiatun.
Bisikan untuk kembali mengintip Rabiatun di tapian, sepanjang waktu terus
membuntutinya. Ketika bisikan itu semakin deras, Badri sudah melangkah menuju
tapian menjelang asyar. Ketika langkahnya terus mengarah ke tempat biasa dulu
ia mengintip, darahnya mengalir deras.
Badri tertegun. Langkahnya terhenti. Ia merasakan ada sesuatu yang
menjalari tubuhnya. Bulu romanya berdiri. Perasaan cemas berubah menjadi
ketakutan. Ia menggigil dalam diam. Selang beberapa saat kemudian, ia balik
kanan dan kemudian melangkah meninggalkan tapian.
Pertemuan demi pertemuan yang mereka rancang, membuat keyakinan Badri
semakin berlipat ganda. Rabiatun sudah membalas cintanya. Rabiatun sudah takluk
dalam bisikan cinta yang diucapkannya.
Berlahan gejolak di batin Badri
semakin menjadi-jadi. Ia ingin segera mengakhir hubungannya dengan Rabiatun di
pelaminan. Ia tak ingin mensia-siakan kesempatan. Baginya bisa dekat, berhubungan
dan kemudian mengajak gadis itu jalan, sekali pun sembunyi-sembunyi, adalah
sebuah kemajuan yang luar biasa. Capaian ini merupakan perjalanan terpanjang
yang pernah dilaluinya dalam kehidupan.
Badri ingin segera mempersunting
Rabiatun. Keinginan itu semakin kuat. Ia juga sudah punya pegangan. Ia sudah
melanjutkan pekerjaan ayahnya, pekerjaan itu akan menjadi sandaran baginya
menjalani kehidupan.
Keinginann mempersunting gadis itu sudah sangat kuat. Ia semakin tergila-gila.
Ia tak ingin gila benaran. Ketergilaannya tak lagi sebatas pemandangan yang
pernah dilihatnya di tapian, tapi hasratnya semakin kuat
pada gadis itu. Sehari saja tak jumpa, Badri akan membelah malam, melintasi
semak belukar, walau sekadar lewat di depan rumah Rabiatun.
Setelah merasa mantap, Badri menyatakan keinginannya untuk mengajak
Rabiatun ke pelaminan, lalu meminta kepada Rabiatun agar keluarganya datang manapiak
bandua[1],
lalu melamar dirinya.
Permintaannya kepada Rabiatun diucapkan ketika dirinya sangat yakin bahwa gadis
itu mencintainya. Selama ini ia tahu kalau Rabiatun masih sendiri. Jangankan
datang kepadanya, dari cerita di lapau, justru tak sedikit yang menyindirnya.
Badri tahu kalau sindiran itu dimaksudkan kepada Rabiatun, namun ia tak peduli.
Di hati dan pikirannya, Rabiatun tetap satu-satunya cewek yang ia suka, sejak
lama.
Ia kemudian menjemput masa lalu, mengingat saat pertama bertemu sosok yang menggemaskan. Ketika itu,
tanpa sengaja, ada pelajaran olahraga
adik kelasnya. Badri menangkap sosok yang lincah. Geraknya praktis dan dinamis,
berbeda dengan penampilannya yang tenang.
Sejak saat itu, Badri selalu memperhatikan adik kelasnya tersebut. Belakangan diketahui, ia bernama Rabiatun. Setiap saat, setiap
kesempatan, Badri seakan mengawasi Rabiatun. Ia punya mimpi, suatu saat kelak
akan memiliki Rabiatun untuk selamanya, sampai mati.
Permintaan Badri agar ibu dan mamak Rabiatun datang kepada keluarganya untuk
manapiak bandua, tak langsung dijawab. Rabiatun menatap Badri dalam-dalam. Tak lama berselang, Rabiatun tersenyum.
Sebongkah senyuman yang sangat manis tersungging di sudut bibirnya. Badri mengartikan senyuman itu sebagai kata
sepakat.
Hari-hari berjalan lurus. Keseharian Badri berubah drastis. Awan cerah
mengiringi perjalanannya. Layak bocah ingusan mendapatkan mainan baru, ia
membelah malam agar pagi segera menjelang.
Ia menghentikan siang agar bisa berlarian sepanjang waktu. Ia hendak
menghentikan waktu, namun waktu enggan berhenti. Ia kemudian beralih
memperlambat waktu namun waktu terus bergerak seirama masa lalu.
Tak dapat dituliskan dalam untaian kata, tak bisa digambarkan dengan
goresan di kanvas. Badri merasakan dunia
telah dalam genggamannya. Gadis yang sedari kecil sangat disukainya, sangat
dikaguminya, kini telah memberikan senyuman. Senyuman itu diartikan Badri
sebagai jawaban permintaannya agar ibu dan mamaknya datang kepada keluarga badri untuk manapiak
bandua. Badri mengartikan senyuman itu sebagai kata sepakat.
Badri menunggu hari, menanti waktu. Badri menjemput kisah, membuang resah.
Saat yang diimpikannya sudah di depan mata. Saat bersanding dengan wanita
pujaannya seakan menjadi sebuah titik terang di dalam gua yang kelam.
Di kamarnya yang temaram, ia memejamkan mata. Ada setitik terang di gua
yang kelam terasa sangat terang. Ia mendatangi titik itu, semakin didekati,
titiknya terasa semakin besar, kian besar, terus membesar dan menjadi pintu
untuk keluar dari kegelapan.
[1]
Pendekatan keluarga untuk pembicaraan awal sebelum keluarga perempuan melamar
ke keluarga lelaki.
No comments:
Post a Comment