*Terkatung-katung
8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT
Kamis
– Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari
rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di
laut Nunukan, Kalimantan Utara. Rombongan
itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi
di Pulau Sebatik.
Wartawan Harian
Umum Rakyat Sumbar Firdaus, yang berada
dalam rombongan, menuliskan pengalamannya
dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah kesepuluh. Tulisan besok; Nyaris Pulang Nama.
[] []
Belum
sempat kami memperhatikan dan melihat barang bawaan masing-masing, sebuah
pengumuman disampaikan seorang lelaki gagah berseragam loreng. Ia meminta,
jangan pikirkan apa pun saat ini. Biarkan saja barang bawaan, tas dan
sebagainya. Biarkan saja semuanya. Prajurit KRI Kerapu 812 yang akan mengurus.
“Sekarang
semuanya silakan ikuti saya,” seorang perwira TNI AL berpangkat mayor mengajak
semua mengikutinya. Ia melangkah masuk ke pintu di bagian depan, tak jauh dari
buritan kapal. Dibukanya pintu besi. Satu persatu diantara kami mengikuti dari
belakang.
Saya
berada paling belakang karena terakhir naik ke kapal. Saya melirik kepada
seorang prajurit yang berdiri di sisi kanan. Ia tersenyum, “dibawa kemana,
bang?” tanya saja sekaligus menanyakan apakah ia komandan di kapal perang ini?
Ia
tersenyum, “ikuti saja,” pintanya membenarkan kalau lelaki tersebut memang
komanda di KRI Kerapu 812. Namanya, Mayor Laut Ramli Arief.
Saya
mengikuti dengan langkah terhuyung-huyung. Saya berhenti sejenak, posisi saya
masih goyah. Saya berpikir, apakah saat ini KRI Kerapu 812 juga dipermainkan
gelombang? Semua masih bergoyang, sama seperti ketika masih di Berkat Doa Ibu dan Azura.
Prajurit
yang tadi berada dekat saya, ternyata mengikuti di belakang. Ia menatap, kemudian menepuk-nepuk pundak saya, “nanti
juga akan hilang, bang” katanya seakan tahu apa yang sedang saya rasakan.
Saya
tersenyum. Ia juga tersenyum, lalu mempersilakan saya jalan terlebih dahulu. Ia
mengikuti di belakang, “kita akan merapat di dermaga Lantamal Tarakan besok
pagi. Perjalanan dari sini sekitar lima jam,” katanya.
“Lama
ya, bang?” tanya saya.
Ia
mengangguk, “kapal memutar ke lautan dalam, tidak bisa masuk ke laut yang
dilayari speedboat penumpang antarpulau,” katanya menjelaskan.
Saya
memakluminya. Tak ada maksud membandingkan dengan perjalanan speedboat Sadewa,
dari Tarakan – Sebatik yang hanya 2,5 jam. Keduanya memiliki spesifikasi
berbeda. KRI Kerapu 812 merupakan kapal perang berbobot besar.
Melintasi
pintu besi, menghubungkan buritan ke bagian dalam kapal, pandangan saya
terhenti pada sebuah gambar di dinding. Posisinya tak jauh dari pintu masuk.
Gambar dalam bingkai. Saya memperhatikan secara seksama.
Gambar dalam bingkai itu, KRI Kerapu
812, disertai penjelasan. KRI Kerapu 812 merupakan kapal patroli TNI-AL. Dibuat
oleh PT PAL Indonesia, tahun 1985. Persenjataan yang menyertai kapal perang ini
adalah meriam 40 mm, meriam 20 mm dan mitraliur (senapan mesin) 12,7 mm. KRI
Kerapu mempunyai 49 awak kapal. Memiliki dek penerbangan dan hangar untuk
helikopter. Jujur, saya baru kali ini naik kapal perang.
“Ayo,
silakan masuk. Masuk dulu. Nanti kita bicara soal kapal,” kata prajurit TNI AL
yang sudah sekitar lima langkah dari posisi saya melihat gambar KRI Kerapu 812.
Sesampai
di depan pintu, saya melongok ke dalam. Tentara yang berdiri di depan pintu
menjelaskan. Ia ruangan santai mereka, namun kali ini digunakan untuk menjamu
kami, “silakan makan, ngopi dan ngeteh dulu. Pasti bapak-bapak dan ibu-ibu
semua kedinginan dan lapar,” katanya.
Kami
semua menyahuti. Membenarkan apa yang disampaikan, “kami tahu, suguhan ini tidak
seberapa, namun kami berharap semuanya berkenan menikmati hidangan yang tak
seberapa ini,” kata salah seorang diantara mereka berbasa-basi.
Saya
sudah dapat menebak hidangan yang tersedia. Saya yakin, tebakan kali ini tidak
meleset karena aroma masakan sudah membungkus ruangan, “dalam kondisi seperti
ini, menu ini sangat luar biasa bagi kami,” balas beberapa orang senada,
kemudian bunyi piring beradu dengan sendok sangat jelas terdengar.
Saya
yang duduk terakhir, langsung mengambil piring, namun sejenak membiarkan yang
lain mengambil nasi dan mie rebus pakai telor plus nasi putih. Saya mengambil
gelas. Ada kopi dan teh manis hangat. Saya menuangkan teh manis panas ke gelas.
Bagi
saya, urusan minuman, tak ada masalah. Saya bukan tipe maniak teh, juga bukan
tipe penyuka kopi. Kalau ada dua-duanya, pilihan saya relatif. Tak ada yang
pasti. Kali ini, saya memilih teh manis hangat karena berkeadaan saja. Saya tak
tahu, kenapa memilih menuangkan teh.
Setelah
itu, saya mendorongkan air bening hangat ke rongga mulut. Segar dan hangat rasa
tubuh ini. Disaat yang lain sudah mulai makan, saya baru dapat kesempatan
memindahkan mie rebus dari mangkok besar ke piring, lalu saya tambah dengan
nasi putih. Perut saya benar-benar lapar.
“Tak
ada makanan yang lebih enak dari ini,” kata Andrian Tuswandi. Semua memandang
sang wartawan tersebut, lalu kemudian semua
membenarkan kalau makanan yang dinikmati tersebut adalah makanan terenak
yang pernah dinikmati.
“Seberapapun
uang yang kita sejak sore tadi, tak ada nilainya karena tak bisa dibelanjakan
untuk apa pun,” kata yang lain menimpali.
“Ini
mie rebus terenak yang pernah ada,saya nikmati,” sahut yang lain. Semua tertawa. Barangkali tak tersisa lagi
raut kecemasan di wajah kami.
“Ketika
di pantai tadi, siapa yang membayangkan mie rebus?” tanya Datuk Febby.
“Abie!
Doa Abie sudah dikabulkan,” kata Revdi Iwan Syahputra alias Ope, menunjuk ke
arah saya. Sehari-hari, Ope dan kawan-kawan di kantor memanggil saya dengan
panggilan Abie. Semua kemudian menatap kepada saya.
“Yuk, tambah lagi, ini mie rebus paling enak
yang pernah ada,” kata seseorang dari samping kanan saya, ketika makanan di piring saya mulai berkurang.
Saya
menatap ke arahnya. Saya terkejut, “terima kasih, pak” kata saya. Kalimat itu
saya ulang hingga dua kali.
Lelaki
di sebelah saya, ternyata Pak Nelayan. Saya melemparkan selembar senyum padanya,
lalu tangan saya menggapai sendok di mangkuk besar berisi mie rebus. Seketika
saja, mie yang masih tersisa telah berpindah ke piring saya.
“Nasinya
minta juga, pak,” bisik saya padanya. Saya lapar sekali. *
No comments:
Post a Comment