*
Terkatung-katung 8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT
Kamis
– Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari
rombongan Kemendes PDTT, bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik
proklamasi di Pulau Sebatik, terkatung-katung
dihempas badai dan ombak besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara.
Bagaimana
kisah lain di balik peristiwa mencekam jelang malam itu? Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, menuliskan pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis
secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah keempat. Tulisan besok besok; Lampu
Biru atau Pulau Bunyu? [] []
Speedboat
terus menuju ke laut. Matahari telah jauh condong ke barat, sebentar lagi
“tenggelam” di laut. Bang Akbar melarikan speedboat dalam kecepatan penuh. Ia
langsung tancap gas, setelah menerima telpon dari anaknya.
Benturan
bagian bawah speedboat dengan permukaan laut sangat terasa. Bunyinya keras
sekali. Tak satu pun penumpang yang bersuara. Hening, kecuali suara benturan
air laut dan bagian bawah speedboat. Butuh tenaga ekstra untuk bertahan di
tempat duduk agar tidak bergeser posisi.
Saya menatap sekeliling.
Semua seakan tak bergerak, hanya ada tarikan nafas. Saya juga. Perasaan cemas
mulai menyerang,
lalu berganti menjadi rasa
takut. Tali baju pelambung saya ikatkan erat-erat. Saat masih di pelabuhan, baju pelampung
persis bertumpuk dekat tempat duduk saya. Sengaja saya mencari yang besar, seukuran tubuh saya.
Kecepatan
speedboat makin tinggi. Membelah lautan menyongsong petang. Jingga langit
mengiringi mentari “tenggelam” ke laut, di ujung barat. Suasana di speedboat
tetap tanpa suara penumpang.
Saya
terjebak dengan perasaan sendiri. Ada gelisah menyeruak diri. Dada saya
bergemuruh. Debarnya kian lama semakin kencang. Saya kembali menatap
sekeliling. Tetap tak ada yang bersuara. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang
bercanda. Semua diam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.
Ketika
matahari sudah hilang “di laut” di ujung barat, warna jingga pun berganti
hitam, hari mulai gelap. Gerimis pun turun. Speedboat terus bergerak dalam
kecepatan tinggi, lalu berlahan terasa kecepatannya berkurang. Tak lama
kemudian berhenti dan mesin pun mati.
“Tunggu
sebentar, hidupkan lampu dulu,” kata bang Akbar, sang jurumudi.
Ia
mencari pisau lipat, kemudian meraut
kabel di samping kanan kemudi, lalu disambung. Lampu pun hidup. Saya
memperkirakan, lampunya lebih besar sedikit dari lampu sepeda motor. Itu pun
hanya satu di depan.
Setelah
lampu hidup, perjalanan dilanjutkan. Kecepatan speedboat kembali seperti
semula. Langsung dalam kecepatan tinggi. Kegelapan malam seakan membungkus
laut. Cahaya lampu hanya menerangi bagian depan speedboat. Sekali-sekali bang
Akbar mengeluarkan kepalanya ke bagian atas speedboat. Bagian atas dibolongi sedikit lebih besar dari tubuhnya.
Dari sana ia membantu penerangan dengan senter di kanan, kemudi di kiri.
Saat
gelap semakin pekat, hujan pun turun. Perasanaan saya semakin tak menentu.
Debar jantung saya semakin kencang. Saya teringat telpon seluluar yang sudah
diisi, menggunakan powerbank Alam
Kribo. Saya buka al-quran, lalu saya mengaji. Suara saya tertahan.
“Mas,
periksa minyak. Jangan sampai kosong,” kata bang Akbar.
Tak
ada jawaban dari si Mas. Bang Akbar mengulangi. Juga tak ada jawaban. Saya
mendongok ke belakang. Saya tak menemukan dimana si Mas duduk. Saya tuntaskan
baca al-quran.
“Mas,
minyaknya aman, mas?” tanya saya setengah berteriak.
Teriakan
saya disambung penumpang lain yang duduk dibagian belakang. Ada pergerakan. Si
Mas memperiksa derigen biru dekat mesin, “aman..” balasnya. Penumpang di
belakang pun menyambung. Saya kemudian melanjutkan ke bang Akbar.
“Aman,
bang” kata saya.
“Perhatikan
setiap saat mas. Jangan lengah,”
pintanya.
“Perhatikan
mas, jangan lengah” teriak saya menyambung. Penumpang lain pun kemudian
melanjutkan.
Hari
semakin gelap. Hujan kian deras. Anginpun berhembus kencang. Ombak bergulung
semakin besar. Bang Akbar mengambil helm di samping tempat duduknya, lalu
dipasang. Ia lalu kembali mengeluarkan
sebagian tubuhnya, persis di bagian atas tempat duduk mengemudikan speedboat.
Ia
tak lagi duduk diganjal tumpukan jaket pelampung yang tidak dipakai. Ia justru
berdiri di tempat duduknya. Matanya liar melihat sekeliling di laut. Senter di
tangan kanan, kemudi di kiri. Sekali-kali ia mengendalikan kemudi menggunakan
kaki kiri. Saya semakin ngeri.
Dalam
kondisi tak menentu, berulang kali speedboat berhenti di tengah ombak yang
bergulung semakin tinggi. Lampu sering mati. Sambungan kabel yang semula
disambung, tiba-tiba lepas. Begitu berulang kali.
Setelah
disambung, speedboat kembali bergerak, namun kecepatannya tak sekencang saat
baru keluar dari pelabuhan. Geraknya pelan, tepatnya lebih sering dipermainkan
ombak. Speedboat tak kuat menerjang ombak.
“Bang,
kayaknya speedboat kita putar-putar di sini sejak sejak tadi,” Alam Kribo, Staf
Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT, memecah kecemasan malam.
Saya
menatap kepada Alam. Ia duduk dibarisan ketiga, tetapnya di belakang Datuk
Febby, staf khusus Menteri Desa PDTT. Alam kemudian memperlihatkan GPS di
tabletnya kepada saya.
“Kita
putar-putar di sini saja dari tadi, udah lebih satu jam,” katanya. Saya
terkejut. Makin takut.
“Tak
mungkin,” bantah bang Akbar.
“Iya
bang,” balas Alam.
“Yang
lain ada GPS ndak? Coba sini, cocokkan GPS kalian untuk panduan,” kata Nugroho
Notosutanto, (Kabag Perencanaan Umum
Setjen Kemendes PDTT). Lelaki itu duduk
persis disamping kiri bang Akbar, atau di depan Datuk Febby.
“Benar,
pak. Kini mutar-mutar di sini saja dari tadi,” kata Julie Ervina, Tina dan
Boby, serempak. Ketiganya Staf Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT.
“Sini
kalian. Boby, Tina. Duduk di sini,” sambut Nugroho Notosutanto. Ia meminta Boby
dan Tina ke depan. Boby duduk persis di depan, di ruangan kosong antara bang
Akbar dan Nugroho. Tina duduk di belakangnya, tepatnya diantara saya dan Datuk
Febby.
“Abang
bisa baca GPS-kan?” tanya Nugroho, nanti dipandu Boby.
“Tidak,”
jawabnya singkat.
Plak..!
Semua saling berpandangan. Seakan ditampar diri ini. Jurumudi speedboat tak
bisa baca GPS. Kecemasan semakin menyelimuti diri bersama gelap malam di tengah
lautan, disiram hujan, dipagut badai dipermainkan ombak.
“Ya,
sudah. Boby, Tina, pandu beliau,” pinta Nugroho. Ia duduk semakin gelisah.
“Ya,
cari pulau terdekat saja!” pinta Datuk Febby. Semua sepakat.
Boby
dan Tina memperlihatkan GPS kepada bang Akbar, lalu menunjukkan posisi
speedboat. Berada di antara dua pulau.
Sebelah kiri, atau dibagian barat, pulau Baru. Disebelah timur, pulau Bunyu.
Tarakan yang hendak dituju, masih sangat jauh di depan, tepatnya di sebelah selatan.
Panduan
di GPS, pulau terdekat adalah pulau Baru, “oke, kita ke pulau baru saja,” kata
sepakat pun diambil. Bang Akbar juga sepakat. Speedboat kemudian diarahkan ke
pulau Baru. Berlahan dan pasti, namun laju speedboat sangat pelan.
“Ombak
sangat besar dan sekeliling juga sangat gelap,” kata bang Akbar. Posisi kepala
hingga dada atas di atas speedboat, dada hingga kaki berada di dalam.
Sekali-sekali ia melongok ke bawah melihat GPS di tangan Boby, sekali-sekali ia
berteriak memberikan perintah kepada semua penumpang. Saya melanjutkan
teriakannya. Beragam perintahnya.
“Satu
penumpang pindah ke kiri..!”
Tak
lama kemudian, perintahnya berubah, “dua penumpang pindah ke kanan,” atau ada
juga perintahnya, “semua pindah duduk ke bawah,” dan beragam kalimat perintah
lainnya. Perintah itu untuk mengimbangi hempasan ombak ke badan speedboat.
Setelah
jam speedboat bergerak ke arah pulau Baru, tiba-tiba ombak besar menghantam
haluan speedboat. Haluan terbenam, beberapa saat kemudian berhasil keluar kembali. Air masuk dari
depan. Semua berteriak kaget dan ketakutan. Allahu Akbar... Allahu Akbar!
“Ombak
semakin besar. Angin datang dari arah depan membawa gulungan ombak!” kata bang
Akbar mengabarkan.
Semua
ketakutan. Saya berzikir tanpa henti!*
No comments:
Post a Comment