*Terkatung-katung
8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT
Pengantar dari
Redaksi
Kamis
– Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari
rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di
laut Nunukan, Kalimantan Utara. Rombongan
itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi
di Pulau Sebatik.
Wartawan Harian
Umum Rakyat Sumbar Firdaus, yang berada
dalam rombongan, menuliskan pengalamannya
dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah kesembilan. Tulisan besok; Makanan Terenak Ada di KRI Kerapu 812.
[] []
Jumat,
menjelang pukul dua dinihari. Hampir lima jam kami terdampar dan bersandar di
pantai tak berpenghuni. Sekali pun begitu, rasanya lebih baik dan lebih aman
daripada terombang-ambing di lautan luas, dipermainkan angin dan gelombang
besar.
Angin
masih bertiup kencang. Ombak masih mempermainkan speedboat yang sudah
didamparkan di pasir pantai. Tiga bagian, kiri kanan bagian belakang dan belakang
diikatkan ke pohon-pohon di pantai.
Pak
Nelayan sudah pergi bersama Azura-nya.
Cahaya lampu speedboatnya sudah hilang ditelan gelap malam. Tak seorang pun
tahu arahnya. Kemana Pak Nelayan? Tak seorang pun yang tahu. Beliau pasti
kecewa karena kami tak mau pindah ke speedboatnya, padahal beliau sudah
menemani kami sekitar satu jam.
Adji
Setyo Nugroho, staf ahli Menteri Desa PDTT,
masih terus berkomunikasi dengan tim evakuasi dari KRI Kerapu. Kabar yang diperoleh dari tengah laut, kapal
masih terus merengsek menuju ke arah pantai. Kami menunggu harap-harap cemas.
Benar
saja. Dugaan kami di speedboat menjadi kekuatiran baru. KRI Kerapu tak bisa
terus merapat ke pantai, “di sini posisi terakhir dan terdekat kami. Jika terus
merapat, kapal ini akan kandas karena masuk laut dangkal,” kata tim evakuasi di
KRI Kerapu ditirukan ulang Adji.
Hop..!
Detak jantung saya kembali tak karuan. Ada daya. Haruskah kami kembali
mengarungi lautan dalam dan bergelombang besar? Nugroho Notosutanto, Kabag Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT, menanyakan kepada Adji apakah
tidak disampaikan agar mereka mengirimkan sekocinya saja.
Kata
Adji, ia memang hendak menyampaikannya, tapi pembicaraan terputus. Jaringan
signal kembali hilang. Jarak KRI Kerapu ke titik kami di pantai lumayan jauh.
Data dari tim di KRI Kerapu yang
disampaikan kepada Adji, jaraknya 3,2 mil laut (sekitar 5,5 km garis lurus di
darat)
“Tetap
bertahan di sini atau kita yang mendatangi KRI Kerapu?” tanya Datuk Febby, staf
ahli Menteri Desa PDTT. Semua diam. Tak ada jawaban.
Keheningan
diiringi irama riak ombak menghempas ke pantai. Kata sepakat pun dibulatkan.
Kami bergerak menuju KRI Kerapu. Bang Akbar setuju. Ia kemudian meminta Mas
membuka tali-tali yang mengikat speedboat ke pohon di pantai. Satu persatu
dilepas.
Deru
mesin sudah terdengar. Lampu depan sudah dihidupkan. Bang Akbar memberi
aba-aba, speedboat segera bergerak. Semua siap. Bulan sabit tersumbul di balik
awan. Bulan nun di ujung sana, sebentar lagi tenggelam di lautan kelam.
Berlahan
speeboat bergerak. Panduannya sudah jelas, cahaya biru muda di tengah laut. Di
sana ada KRI Kerapu yang akan mengevakuasi kami ke Tarakan. Tiada terkira
senangnya hati. Rasa lelah semakin membungkus diri. Sebagian tubuh sudah basah
kena tempias hujan dan hempasan butiran ombak.
Parjalanan
menuju KRI Kerapu dimulai berlahan. Setelah itu, terasa ada peningkatan
kecapatan. Perlahan dan pasti, kecapatan mulai tinggi. Ombak masih beriak.
Gelombang masih menghempas. Speedboat bergerak menerjang gelombang, melawan
arah ombak yang datang.
Mata
saya tak lepas dari jam di telepon selular. Selang duapuluh perjalanan ke arah
KRI Kerapu, perjalanan menerjang ombak kian terasa berat. Angin dari arah barat
menuju timur belum juga berkurang. Speedboat yang kami tumpangi bergerak
berlawanan arah. Haluan speedboat mulai dipermainkan gelombang. Posisinya
semakin berat.
Perasaan
cemas mulai muncul. Saya takut. Rasa takut yang tak kalah hebat dibandingkan
saat sebelum terdampar. Saya melepaskan pandangan sekeliling. Suasana kembali
hening. Masing-masing tafakur dalam kesendirian. Ada kecemasan dari raut wajah
mereka. Di ujung sana, sorot lampu biru muda terus mengarah dan mengikuti kami.
“Jangan
paksakan, bang!” pinta Datuk Febby, staf ahli
Menteri Desa PDTT.
“Sudah
dekat, pak,” kata bang Akbar.
“Saya
rasa, belum separoh perjalanan,” balas Datuk Febby.
“Tapi
lampunya sudah tampak semakin dekat,”
“Bulan
juga tampak dekat, bang,” potong Datuk Febby, sembari tetap meminta bang Akbar
jangan memaksakan diri menerjang gelombang, “arahkan haluan ke kiri saja, lalu
kita menyisir dekat pulau,” pinta Datuk Febby.
Semua
kemudian sepakat dengan Datuk Febby. Bang Akbar kemudian mengarahkan speedboat
menuju pesisir pantai di sepanjang Pulau Bunyu. Gelombang masih
gulung-bergulung lebih tinggi dari sebelumnya. Angin masih bertiup kencang.
Bulan hilang timbul ditutupi awan.
Speedboat
semakin menepi. Kian dekat dengan bibir pantai. Perasaan cemas masih
menyelimuti semua penumpang. Saya juga semakin gelisah tak karuan. Suasana
terasa tidak karuan. Akankah secercah harapan yang sudah menghampiri kami akan
hilang dalam hitungan menit ke depan? Oh, saya semakin ketakutan.
Dalam
suasana tak menentu, tiba-tiba semua pandangan berpaling ke belakang. Ada bunyi
dering telepon. Adji juga menatap ke depan, “ada telepon dari Kerapu,” katanya.
“Cepat
angkat!” serentak kami menimpali.
“Kami
menuju Kerapu, namun gelombang sangat besar. Haluan speedboat kami sempat
terbenam sekali lagi,” kata Adji menjelaskan. Lalu, dari Adji hanya terdengar
kalimat-kalimat pendek. Iya. Iya. Oke, pak. Baik, pak. Oke, pak.
Kontak
komunikasi itu pun kemudian diputus. Adji meminta agar speedboat tetap berada
di posisi terakhir sekarang. Jangan bergerak terlalu jauh lagi. Tim evakuasi
segera datang. Ia meminta bang Akbar untuk lebih menepikan speedboat ke pantai.
Adji
kemudian menjelaskan. Saat komunikasi terputus sebelumnya, evakuasi akan
dilakukan menggunakan sekoci, namun mereka melihat pergerakan speedboat ke arah
mereka. Mereka meminta kami tetap diam di pantai.
Lampu
biru yang ditembakkan berkedap-kedip menjadi pertanda agar kami tetap menunggu,
namun speedboat kami tetap bergerak ke arah mereka, lalu bergerak justru
menjauh. Mereka mengkuatirkan kondisi kami. Seketika signal selular diperoleh, mereka langsung menghubungi Adji.
Kami
pun menunggu. Speedboat masih terpaut di laut, namun sudah berada dekat pantai.
Posisinya sudah di laut yang sangat dangkal. Bang Akbar memperkirakan, paling
dalam hanya sepinggang.
Dari
sisi kanan speedboat kami terpaut, ada cahaya biru muda mulai bergerak. Awalnya
berlahan, lalu bergerak sangat cepat. Lampu yang semula terlihat bagaikan titik
cahaya, kini sudah semakin besar. Semakin mendekat, semakin besar. Kian terang.
Terang benderang. Kami semakin riang.
“Jangan-jangan
Azura yang menjemput kita,” kata
Adrian Tuswandi, wartawan www.tribunsumbar.com.
Tak
lama berselang, dugaan Adrian mengejutkan semua penumpang. Ada speedboat yang
mendekati posisi kami. Berlahan dan pasti, bentuknya kian pasti. Benar saja, Azura berhenti persis di sisi kanan Berkat Doa Ibu.
“Lho....?”
semua binggung, kaget bercampur heran.
“Ayo
pindah semua. Apalagi yang ditunggu!” kata Pak Nelayan mendongokkan kepalanya
dari depan Azura.
Belum
sempat kami menetralisir keheranan dan keraguan, tiba-tiba dua lelaki muda
sudah menaikki speedboat kami. Keduanya berseragam loreng, “ayo, pindah satu
persatu,” pintanya. Kami masih bingung.
Dalam
bingung itu, keduanya kembali mengulangi agar semua pindah. Ia juga
mengingatkan, biarkan saja tas dan barang di Berkat Doa Ibu, dulu. Badan saja yang bawa ke Azura, biar proses evakuasi lebih mudah. Setelah semua pindah,
kedua prajurit tersebut memindahkan barang bawaan penumpang dari Berkat Doa Ibu ke Azura. Semuanya beres!
“Abang
ikut kami?” tanya salah seorang diantaranya.
Bang
Akbar menolak. Ia mengatakan, biarlah menunggu di pantai saja. Ia akan menunggu
sampai pagi. Katanya, jika pagi datang, pasti situasinya sudah aman. Pak
Nelayan pun kemudian mendukung bang Akbar.
“Tak
masalah kalau abang kami tinggalkan di sini?” tanya tentara itu lagi.
“Oke.
Tak masalah. Insya allah aman,” katanya.
Pak
Nelayan kemudian tersenyum sumringah. Ia tampak ceria. Saya tak tahu pasti apa
makna yang ia bawa. Apakah ceria dan bahagia karena bisa “memaksa” kami naik
speedboatnya atau ia senang karena bisa membantu mengevakuasi kami.
Ia
melarikan speedboatnya dalam kecepatan tinggi. Secara kasat mata, speedboatnya
lebih baik daripada yang kami tumpangi sebelumnya. Haluan speedboat Azura jauh lebih tinggi. Berbody lebih
tinggi. Ukurannya lebih besar. Saya memperkirakan dari hitungan tempat duduk
yang tersedia, Azura bisa membawa 20
– 25 penumpang. Berkat Doa Ibu, mungkin
paling banyak 15 orang. Mesin yang menempel di bagian belakang Azura berlebih dibandingkan yang
dikemudikan bang Akbar.
Azura bergerak lebih
lincah. Kecepatannya lebih tinggi. Hempas air laut dibelah tubuh speedboat
memercik ke dalam, membasahi sebagian penumpang yang duduk dibagian belakang,
namun kondisinya tidak mengkuatirkan kami.
Sepanjang
perjalanan, kedua tentara yang menjemput, memberikan semangat kepada kami. Keduanya
mencoba menghibur untuk mencairkan suasana. Ia mengaku, merasakan apa yang
sedang kami rasakan.
“Lupakan
semua yang sudah berlalu. Mari kita bersyukur kepada Allah,” ajaknya dan
kemudian mengajak kami berdialog. Rasa letih, lelah dan mengantuk membuat kami
seakan tak mampu mengikuti ajakan mereka.
Tak
sampai lima belas menit menerjang gelombang, membelah lautan, Azura merapat ke “tubuh” sebuah kapal.
Ada tulisan di badan kapal, KRI Kerapu 812.
“Alhamdulillah.
Alhamdulillah. Allahu Akbar. Allahu Akbar..!” ada pekikan syukur dan takbir
menggema.
Dua
tentara yang tadi menjemput kami, memberikan arahan yang sama saat kami
dievakuasi dari Berkat Doa Ibu. Saya
merupakan penumpang dua terakhir yang naik ke KRI Kerapu 812. Memanjat tangga
dari tali, tempat pijakannya dari kayu.
Di
puncak tangga, dua tangan dari dua orang berbeda menjulur ke arah saya. Tanpa
pikir panjang, kedua tangan itu saya gapai. Keduanya pun serentak menarik saya.
Kedua kaki dan tubuh saya berdiri kokoh di buritan kapal, tempat prajurit KRI
Kerapu 812 menyambut, saya langsung menyalami keduanya, sembari mengucapkan
terima kasih. Mereka pun membalas, lalu memeluk dan menepuk-nepuk bahau saya.
“Alhamdulillah,
selamat bang,” kata mereka.
“Terima
kasih, terima kasih, bang!” sahut saya, lalu kemudian menyalami semua orang
yang berada di sana.*
No comments:
Post a Comment