*Terkatung-katung
8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT
Kamis
– Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari
rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di
laut Nunukan, Kalimantan Utara. Rombongan
itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi
di Pulau Sebatik.
Bagaimana
kisah lain di balik peristiwa mencekam jelang malam itu? Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, menuliskan pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis
secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah keenam. Tulisan Senin depan;
Jadi Pemeran di
Mimpi Isteri Jurumudi. [] []
Ada
jeda hampir lima menit sejak speedboat merapat ke pantai, suasana masih hening.
Semua berada dalam diam. Tafakur. Berdoa memanjatkan syukur. Saat hening itu,
bang Akbar meminta agar tak ada yang turun dari speedboat. Pantainya tak
berpenghuni, hanya hutan lebat. Tak tahu ancaman apa di pantai berhutan lebat
tersebut.
“Adakah
handpone yang dapat signal?” tanya Nugroho Notosutanto, Kabag Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT.
“Tak
ada signal di sini,” kata bang Akbar
Semua
sibuk melihat ke alat komunikasi masing-masing. Saya memperhatikan telpon
genggam yang baru saja saya keluarkan dari saku celana. Ada satu garis. Semua
melihat telpon selular masing-masing. Tina dan Bobby yang semula duduk
dibarisan kedua dan pertama, memandu bang Akbar, sudah kembali ke belakang.
Telpon
genggam Tina, Julie, dapat sgnal. Begitu juga telpon genggam Datuk Febby, Adji
Setyo Nugroho (Tim Ahli Kantor Staf Menteri Kemendes PDTT). Saya melihat, Datuk
Febby mengutak-atik selularnya.
Dari
arah belakang saya, ada bunyi dering telpon masuk. Tina dan Julie kembali
bersorak gembira.
“Kami
di pantai barat pulau Bunyu,” katanya. Ia kemudian mengabarkan, pak nelayan
menghubunginya kembali. Beliau akan menjemput. Ia sudah di laut. Tak jauh dari
mereka.
“Alhamdulillah.
Saya dapat kontak dengan Indra Salim,” kata Datuk Febby.
Orang
yang dimaksud Datuk Febby adalah staf ahli Menteri Desa PDTT. Datuk Febby minta
bantuan agar ia menyampaikan kepada Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo.
Harapannya agar bisa menindaklanjuti koordinasi dengan pihak terkait.
Tak
lama berselang, handpone di bagian belakang saya kembali berbunyi. Saya tak
tahu handpone siapa, namun saya mendengar Tina dan Julie berteriak gembira
mengabarkan. Ada telpon masuk dari Bakamla, tapi keduanya ragu menjawab. Ia
memberikan kepada Adji Setyo Nugroho.
Adji
yang berpenampilan tenang menerima selular, lalu menyahuti panggilan dari
seberang. Ada sedikit basi-basi
disampaikan Adji. Ada kalimat pengantar
dan penjelasan. Waktu terus bergerak, speedboat masih dipermainkan ombak di
pantai. Bang Akbar dan si Mas sibuk membenahi posisi speedboat. Ia turun ke
pantai. Toaik ikut membantu, namun ia tetap berada di speedboat.
“Langsung
ke pokok masalah saja, Ji. Jangan pakai basa-basi,” potong Datuk Febby lantang.
Hubungan
putus, kemudian tersambung lagi. Begitu berulang kali. Beberapa kali pula
telpon yang dipegang Adji masuk nomor tak dikenal, namun ia tetap menyahut.
Pergantian nomor-nomor telpon yang masuk ternyata dari orang-orang berbeda di
Bakamla.
Nomor
tim di Bakamla juga diselingi nomor pak nelayan. Ia terus merengsek mendatangi lokasi tempat kami
mendamparkan speedboat, “apakah sudah menampak laser hijau saya?” tanyanya.
Semua
memandang ke laut. Belum!
Dikontak
lain, tim Bakamla meminta koordinat speedboat terdampar. Nana Suryana, Julie Ervina, Tina Istiana Syamsul, Boby, Iwan, Alam Kribo, sibuk
memperhatikan kompas melalui selular mereka masing-masing. Satu sama lain
saling mencocokkan. Gerak mereka sangat cepat dan tangkas.
Titik
koordinat yang mereka dapatkan di kompas, tak berbeda. Koordinat itu dikirim
melalui pesan singkat. Tertahan, tidak terkirim. Dikirim melalui nomor lain.
Tertahan juga. Signal kembali hilang.
Pandangan
Adji, Tina dan Julie tak lepas dari selular mengirimkan koordinat ke Bakamla.
Semua berharap, pesan tersebut segera terkirim. Jika tidak terkirim, akan lama
terkatung-katung di pantai.
Ketegangannya
masih terasa. Menanti penuh harap. Berharap agar sebatang signal pun kembali
mampir ke pantai tak berpenghuni ini. Semua berharap dalam doa-doa yang
panjang. Di sisi kiri saya, Datuk Febby sudah terkulai. Kepalanya tersandar ke
kaca di dinding speedboat. Ada bunyi dengkur dari arahnya. Saya coba
memastikan. Datuk Febby tertidur pulas dibuai goyangan speedboat dipermainkan
ombak di pinggir pantai. Dengkurnya terdengar.
“Alhamdulillah.
Allahu Akbar. Pesan terkirim..!” pekik Tina dan Julie.
Mendengar
kabar itu, saya jadi plong. Lega rasanya. Saya merasakan, kami pasti selamat. Tak
ada keraguan sedikit pun.
Ketika
itu juga, saya kembali melihat telpon genggam. Ada satu batang signal. Di
bagian belakang, Adji menerima telpon. Ia dihubungi orang-orang di Kemendes
PDTT dan memberikan kabar terakhir kondisi kami.
Saya
mencoba menghibur diri. Saya hubungi nomor istri. Nun diseberang telpon,
menembus laut, membelah ruang dan waktu, telpon saya diterima Zidane, putra
saya yang masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.
“Abie
dimana posisi, sehat-sehat sajakan?” tanyanya setelah membaca salam.
Saya
mengabarkan, kondisi sehat. Sedang berada di pulau Bunyi. Sedang istirahat.
Lalu ia mengabarkan, timnas Indonesia U-22 menang telak, 3-0 dari Filipina.
Zidane sangat suka sepakbola.
Setelah
ia mencerikan ketatnya pertandingan, kemudian ia memberikan telpon kepada Zhilan,
kakaknya yang kini kelas tiga SMP. Zhilan bercerita sangat antusias soal ia
diminta gurunya untuk ikut lomba baca puisi. Ada dua puisi yang akan
dibacakannya, Kerawang Bekasi dan Diponegoro.
Saya
memberikan semangat kepadanya. Saya bacakan puisi Diponegoro dengan mimik dan
semangat. Ada renyah tawanya, “Kok Abie hafal?” tanyanya.
Ketika
saya tanyakan uminya, Zhilan memberikan kabar, umi sudah tidur selesai salat
Isya. Saat itu pula, ia kemudian memberikan kepada Erlina, istri saya. Saat
saya berkomunikasi dengan Zhilan, ternyata Zidane membangunkannya.
Ia
menanyakan kondisi saya. Saya mengabarkan sedang istirahat di pulau Bunyu, tapi
saya tidak mengatakan kondisi sesungguhnya. Saya tidak menceritakan apa yang
baru saja kami alami. Saya tak mencerikan kisah kami terkatung-katung tak tentu
arah di laut. Saya tak menceritakan kalau speedboat yang saya tumpangi
dipermainkan ombak.
Saya
tidak menceritakan. Saya tahu, istri saya termasuk orang tipe pencemas. Jika kabar yang dialami disampaikan padanya,
bisa saya pastikan kalau ia akan cemas sepanjang malam. Tidak akan tidur sampai
pagi. Pasti keringat dinginnya bercucuran tak karuan.
Ia
akan membangunkan, namun saya larang. Sejak dulu saya memang terbiasa tidak
mengizinkan kalau ada yang membangunkan orang sedang tidur, kecuali sangat
terpaksa.
Haluan
speedboat menghadap ke laut. Buritannya di pantai, tapi posisinya sudah
tersekat di pasir pantai. Kami sudah bersepakat, jika bantuan tak datang, kami
akan bertahan saja sampai pagi. Tak akan turun dari speedboat. Melihat kondisi
pulau di pesisir pantai, tak menguntungkan untuk turun. Tak ada tanda-tanda
kehidupan di sana.
Menurut
bang Akbar, sebenarnya di pulau Bunyu ada tambang gas, minyak dan batubara.
Penduduknya lumayan ramai, namun mereka mendiami kawasan di arah timur pantai. Tidak
ditempar kami terdampar.
Saya
kemudian mencari informasi di wikipedia.
Pulau Bunyu merupakan sebuah kecamatan, Kecamatan Bunyu. Penduduk di Kecamatan
Bunyu berjumlah 9.810 jiwa, lebih separoh pria. Masyarakat di Bunyu cukup
beranekaragam, bagian terbesarnya adalah pendatang yang berasal dari Jawa dan
Sulawesi.
Penduduk
aslinya, suku Tidung berdiam di sekitar
Pangkalan dan Bangsal Tengah, nama wilayah kecil di barat pulau tersebut. Suku
lain yang menetap di pulau Bunyu, Jawa, Bugis, Tidung, Banjar.
Pulau
Bunyu mencatatkan sejarah menjadi pulau
pertama di Indonesia yang 100 persen penduduknya telah menikmati layanan listrik
yang berasal dari gas. Prestasi PLN Bunyu dan PLN Area Berau yang berada dalam
wilayah kerja PLN Wilayah Kalimantan Utara mendapatkan pengakuan dan tercatat
dalam Museum Rekor Dunia Indonesia.
Kami
terdampar di bagian barat pulau. Kawasan
di pesisir pantai barat, apalagi ditempat kami terdampar, tidak
berpenghuni. *
No comments:
Post a Comment