*Terkatung-katung
8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT
Kamis
– Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari
rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di
laut Nunukan, Kalimantan Utara. Rombongan
itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi
di Pulau Sebatik.
Wartawan Harian
Umum Rakyat Sumbar Firdaus, yang berada
dalam rombongan, menuliskan pengalamannya
dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah kesebelas.
Tulisan berikutnya; Tidur Pulas Tarakan - Balikpapan.
[] []
Selepas
makan di ruangan santai para tentara, saya melangkah ke luar. Balik ke buritan.
Saya teringat, jaket saya sudah basah kuyup. Saat speedboat Berkat Doa Ibu dipermainkan gelombang,
jaket saya buka.
Entah
kenapa, ketika itu saya membukanya karena terasa gerah dan gelisah disaat dinginya angin laut
menghempas ke speedboat. Saya mendapati jaket kembali ketika hendak pindah ke Azura. Jatek saya sudah berada di
lantai. Sudah basah kuyup karena bagian lantai speedboat sudah tergenang
air.
Tadi,
sebelum masuk ke bagian tengah kapal, saya melihat ada beberapa helai pakai
dijemur dibagian belakang kapal. Saya akan menjemurnya. Lumayan, saya
memperkirakan jaket tersebut akan kering sampai kapal merapat di dermaga
Lantamal Tarakan.
“Bang,
sebaiknya dikeringkan dulu di sini,” seorang tentara memberitahu saya. Ia
kemudian membawa saya ke ruangan khusus. Ada tiga mesin cuci tersusun rapi,
“bisa dikeringkan langsung, atau kalau mau dicuci dulu, ini sabun cucinya,”
katanya melanjutkan, kemudian memberikan sabun cuci kepada saya.
“Terima
kasih, bang,” balas saya.
Ia
kemudian mengambil jaket di tangan saya. Dimasukkannya ke mesin cucian. Ia
kemudian memasukkan air secara otomatis, lalu sabun cuci. Ditutup, kemudian
sebuah tombol diputarnya. Ada bunyi dari mesin cucian. Saya masih di sana.
“Kalau
sudah berhenti, pindahkan ke pengeringan ini ya, bang,” katanya menuntun saya
kembali. Saya menerima petunjuknya. Ia kemudian berlalu dan saya pun
menyelesaikan apa yang disarankannya.
Setelah
proses pengeringan di mesin cuci, saya kemudian kembali ke buritan membawa
jaket yang sudah dicuci, kemudian dijemur di belakang. Di posisi itu, saya
melihat Adrian Tuswandi alias Toaik, Redi Iwan Syahputra yang biasa disapa
Ope, dan Datuk Febby. Ia tampak santai.
Ada kopi di depan mereka.
Tanpa
saya tanya, Adrian Tuswandi memberikan kode, teko kopi ada di tempat makan.
Saya langsung menuju ke sana, mencari segelas kopi, kemudian bergabung kembali
bersama mereka. Ketiganya asyik bicara dengan sejumlah tentara pasukan KRI
Kerapu 812.
Saya
menyimak pembicaraan mereka. Para prajurit bercerita soal pengalaman mereka di
laut, namun mereka menggali lebih banyak apa yang kami alami selama perjalanan
dari Pulau Sebatik. Ope, Toaik, Datuk Febby bercerita soal apa yang mereka
alami. Belakangan saya juga ikut.
Saya
kemudian teringat pada lampu biru tua di tengah laut. Saya ceritakan perihal
kondisi kami saat berbalik dari Pulau Baru menuju Pulau Bunyu. Kata saya,
sebelum speedboat kami mengarah sempurna ke Pulau Bunyu, kami melihat ada lampu
biru di tengah laut.
“Ketika
itu, jurumudi hendak menuju lampu itu, namun Datuk Febby bersikeras mengarah ke
Pulau Bunyu saja, padahal ketika itu pulau belum terlihat,” kata saya. Datuk
Febby membenarkan apa yang saya sampaikan.
“Berarti,
speedboat tetap ke pulau. Pasti tidak ke lampu tersebut,” balas salah seorang
dari tentara tersebut.
“Kok
abang tahu?” tanya Toaik.
Sejenak
ia terdiam, “alhamdulillah, allah telah menuntun perjalanan semuanya,”
jawabnya.
“Ada
apa dengan lampu itu, bang?” tanya saya ingin tahu lebih dalam.
Jawaban
tentara itu sangat mengejutkan kami. Katanya, lampu biru itu berbeda dengan
lampu biru yang disinarkan dari KRI Kerapu 812 ke speedboat saat di pantai
tadi. Warnanya berbeda. Lampu di laut, warnanya biru tua. Sinaran ke speedboat
biru muda. Keduanya punya makna dan fungsi berbeda.
Katanya
lagi, ia tahu rombongan kami tak menuju lampu tersebut karena saat ini sudah
berada di KRI Kerapu 812. Jika lampu itu yang dituju, ia memperkirakan, sebelum
speedboat yang kami tumpangi sampai di lampu tersebut, mungkin speedboat kami
sudah karam dihempas gelombang.
Ia
menjelaskan, posisi lampu biru itu sudah berada di laut dalam. Lampu itu
merupakan penuntun bagi kapal-kapal besar agar jangan masuk terlalu dalam ke
arah pantai. Posisinya berbeda dibandingkan speedboat kami. Posisi speedboat
kami berada dari arah pantai. Jika lampu itu dituju, maka speedboat akan
menjauh dari pantai atau dari laut dangkal.
Semakin
keluar, gelombangnya semakin besar. Kalau kapal-kapal besar, diantaranya KRI
Kerapu, kapal tengker, kapal tongkang, maka posisinya berada di luar lampu biru
tersebut. Lampu itu sebagai panduan agar jangan terlalu masuk ke dalam, sebab
laut makin dangkal karena semakin dekat daratan.
“Kalau
kami ikuti, bisa karam speedboat kami, bang?”
“Mungkin
saja,”
“Kalau
itu terjadi, mungkin juga kita sudah terpisah-pisah,’ kata Datuk Febby.
“Mungkin
juga pulangnya dalam kantong kuning,” Toaik menimpali.
Ope
terdiam. Saya juga. Tak terbayangkan apa yang terjadi. Kalau saja lampu biru yang dituju, lalu dihempas
gelombang, speedboat tenggelam atau pecah, entah dimana kami dipisahkan oleh
laut. Terdekat mungkin diseret ke laut Sulawesi atau Filipina, atau entah
kemana.
Lampu
biru di tengah laut itu, biasa disebut juga lampu bouy. Tak ada siapa-siapa di
sana. Lampu itu dipasang di atas sebuah menara yang dipancangkan di laut.
Posisinya dan fungsinya berbeda dibandingkan lampu mercusuar.
Kemungkinan
terburuk jika kami menuju lampu biru, sesungguhnya tidak kalah menakutkan pula
kalau terlalu lama bertahan di pantai Pulau Bunyu, tempat kami pertama
terdampar. Saat jelang masuk ke ruang makan dan selama makan tengah malam, saya
mendapatkan cerita dari Pak Nelayan. Posisi tempat kami terdampar sangat
berbahaya.
Kawasan
itu berbentuk teluk. Tak hanya sekadar pantai yang mengarah ke barat, tetapi
sebuah teluk. Posisi speedboat diapit oleh pantai di kiri, kanan dan belakang,
atau selatan, utara dan timur. Laut di barat. Posisi tempat kami tersebut
menjadi pertemuan sejumlah anak sungai dari Pulau Bunyu. Hutan di pantai adalah
liar. Bukan hutan yang dikelola. Biasanya dipertemuan muara sungai dan laut,
dihuni buaya-buaya muara.
“Itu
sebabnya saya berulangkali meminta pindah ke Azura dan kemudian saya bawa ke tempat yang lebih aman,” katanya.
“Tapi
kenapa tidak bapak sampaikan apa adanya, tadi?” tanya yang lain.
“Saya
tak mau, saya takut semuanya salah duga pada niat saya. Saya takut, nanti saya
dikira memanfaatkan situasi,” kata Pak Nelayan sembari mengatakan, beberapa
bulan sebelumnya, pernah ada kabar bahwa kapal
nelayan terdampar di sana.
Tapi ada saja yang datang dari arah anak
sungai. Mereka memindahkan hasil tangkapan nelayan ke speedboat mereka.
Ia
juga bercerita, titik tempat kami terombang-ambing dan berputar-putar tak tentu
arah, sering membawa korban. Tak sekali
dua kali masalah terjadi di sana. Tak sekali dua kali speedboat atau kapal
terjebak di sana. Ada di antaranya yang terbalik dan karam di sana.
Belakangan
kami dapat kabar, disaat pesan S.O.S terkirim ke Bakamla, tak lama berselang,
jalur koordinasi pengamanan laut tersebut langsung sibuk. Siaga penjagaan dan
kepaswadaan langsung bergerak. Kesiagaan tak hanya di kawasan laut Nunukan,
khususnya Pulau Sebatik- Tarakan, tetapi seluruh wilayah gugus perairan
Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Semuanya siaga,
terutama TNI Angkatan Laut dan Satpol Airud.
Selepas
subuh, saya kembali ke ruangan tempat kami makan tadi, lalu meringkuk,
bergulung berselimut sarung.*
No comments:
Post a Comment