Terkatung-katung
8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT
Pengantar dari
Redaksi
Kamis
– Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah spead boat berisi 12 penumpang plus
seorang jurumudi dan seorang anak buahnya, terkatung-katung dihempas badai dan
gelombang besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara. Para penumpang itu, satu staf khusus Kemendes
PDTT, satu staf ahli Kemendes PDTT, tujuh staf Kemendes PDTT, tiga wartawan
dari Sumbar; Firdaus dan Revdi Iwan Syahputra (Harian Umum Rakyat Sumbar) serta Adrian Toswari (www.tribunsumbar.com), mereka baru
kembali dari mengikuti upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Pulau
Sebatik.
Bagaimana
kisah lain di balik peristiwa mencekam menjelang malam itu? Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, menuliskan pengalamannya dalam
bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah
keduanya. Tulisan ketiga besok; Doakan Bapak Selamat, ya Nak..! [] []
Sebuah
Kijang merah berhenti tepat di depan kedai kopi, tempat saya duduk.
Pengemudinya memberikan kode ke arah Nugroho Notosutanto, Kabag Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT.
“Yuk,
kita berangkat,” kata Nugroho kepada semua stafnya. Ia kemudian juga memberikan
kode kepada Datuk Febby, Adji Setyo Nugroho (Tim Ahli Kantor Staf Menteri
Kemendes PDTT), saya dan dua wartawan asal Sumbar; Revdi Iwan Syahputra alias
Ope (Pemimpin Redaksi Harian Umum Rakyat
Sumbar) dan Adrian Tuswandi (Pemred www.tribunsumbar.com).
Saya
menaiki mobil Avanza yang terparkir di depan kedai kopi. Di mobil yang saya
naiki, ada Datuk Febby, Adji Setyo Nugroho, saya,
Revdi Iwan Syahputra dan Adrian Tuswandi yang akrab dipanggil Toaik.
Datuk Febby malah sempat membeli gorengan di pinggir jalan, lalu dibagi kepada
yang ada di mobil.
Tiga
mobil bergerak menuju pelabuhan Sei Nyamuk. Menjelang mobil melintasi gerbang
pelabuhan, tiba-tiba saya sesuatu. Saat menikmati kopi, saya mencas powerbank di di kedai. Saya
belum sempat mengambilnya ketika hendak berangkat. Pikiran saya bercabang, saya
beritahu dan kemudian minta balik menjemput powerbank
atau tidak?
Seketika
itu juga saya putuskan, biarlah saya diamkan saja. Saya tak mau, jika balik
kanan justru menyusahkan orang. Setidaknya bisa membuat orang menggerutu karena
kelalaian saya, lagi pula, walau jarak tempuh hanya sekitar sepuluh menit perjalanan, namun saya merasa tidak enak merepotkan orang lain. Saya
menghibur diri, anggap saja jadi kenang-kenangan untuk Pulau Sebatik.
Saya
hanya dua hari satu malam di Pulau Sebatik. Sampai di pulau terluar Indonesia
tersebut, menjelang zuhur, sehari sebelumnya, kemudian saya langsung mengunjungi tiga batas wilayah
Indonesia-Malaysia. Daerah yang kami tuju tersebut, Kampung Melayu, Patok I dan Patok III di Aji
Kuning. Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di negara lain melalui
perbatasan tanpa menggunakan paspor.
Dikisahkan
warga setempat, tapal batas yang ada
sekarang sebenarnya sudah jauh bergeser ke arah selatan dari titik awal tapal
batas. Artinya, batas sekarang berada sekitar delapan kilometer lebih ke dalam
wilayah Indonesia.
Pulau
Sebatik merupakan pulau terluar di wilayah Indonesia. Pulau ini milik Indonesia
dibagian selatan seluas 246,61 km² dan Malaysia di bagian utara seluas 187,23
km². Khusus dalam wilayah Indonesia, di Pulau Sebatik ada lima kecamatan
(Kecamatan Sebatik, Sebatik Barat, Sebatik Tengah, Sebatik Utara dan Sebatik Timur), bagian dari 19 kecamatan yang
ada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Pelabuhan
Sei Nyamuk yang kami tuju, merupakan pelabuhan tempat saya merapat, ketika
sampai di Pulau Sebatik, setelah perjalanan dari Tarakan, sehari sebelumnya.
Saya berangkat dari pelabuhan di Tarakan sekitar pukul 09.30 wita dan sampai
Sei Nyamuk pukul 12.10 wita.
Dermaga
pelabuhan menjorok ke laut. Hati saya senang karena mobil yang membawa kami
tidak berhenti di sana, namun masih bergerak ke arah laut, tempat kapal-kapal
yang lebih besar, seukuran kapal perintis bersandar. Ketika itu, ada tiga kapal
sedang sandar.
Saya
berpikir, salah satu di antaranya akan membawa kami ke Tarakan. Ukurannya jauh
lebih besar dibandingkan speed boat Sadewa yang membawa saya ke Pulau Sebatik
dari Nunukan. Speed boat Sadewa bermuatan 50 orang, memiliki tiga mesin tempel
di bagian belakangnya.
Belum
sempat mengetahui kapal yang akan dinaiki, pemandu yang mengajak rombongan
berangkat tersebut memberikan aba-aba. Speed boatnya tidak sandar di sini, tapi
di pelabuhan lain. Saya mendongok ke utara dermaga. Di depan pelabuhan tersebut
ada pelabuhan Sei Pancang, tapi saya kurang yakin. Pelabuhan Sei Pancang
merupakan pelabuhan dan dermaga TNI Angkatan Laut. Tak mungkin speed boat
komersial sandar di sana.
Saya
ikuti saja rombongan. Naik kembali ke mobil. Berlahan dan pasti, mobil bergerak
meninggalkan pelabuhan. Keluar dari gerbang, belok kiri. Ketiga mobil bergerak
cepat. Mengejar waktu.
Selang
perjalanan sekitar 10 menit, mobil terdepan berhenti. Diikuti mobil yang saya
tumpangi dan mobil di belakang. Saya turun, memperhatikan sekeliling. Melangkah
sekitar 15 meter, ada jembatan yang disusun dari papan.
“Ini
pelabuhannya,” kata lelaki kurus yang memandu sejak dari hotel, sembari
menunjuk ke kiri tempat kami berdiri di pangkal jembatan.
“Ini
pelabuhannya? Tidak salahkah?” tanya saya. Kerongkongan seakan tersekat.
Saya
langsung panik melihat pelabuhan. Ukurannya sangat kecil. Bagi saya, ini bukan
pelabuhan, tapi tak lebih dari sebuah sungai kecil. Lebarnya pun mungkin tak
sampai 20 meter. Nafas saya sesak. Saya panik. Jantung saya berdebar kencang.
“Speed
boat kita diujung,” katanya.
Plong.
Ada
sedikit rasa plong di dada. Saya memperkirakan, minimal speed boat yang akan
membawa kami ke Tarakan seukuran Sadawe. Jika sebesar Sadewa, tentu tak mungkin
sandar di aliran sungai (eh.. pelabuhan) itu. Tentu sandar diujung dermaga.
Tanpa
dikomandoi, semua yang akan ke Tarakan bergerak cepat, mengemasi barang
masing-masing. Saya menarik tas biru berisi kain pakaian kotor bekas saya pakai
sejak Selasa. Melangkah berlahan di bagian tengah rombongan.
Kurang
sepuluh menit perjalanan menuju dermaga, saya berpapasan dengan Ope yang sedang
swafoto. Saya terus melangkah, lalu meninggalkannya yang masih berswafoto.
“Abie
kemana?” tanya Ope. Ia memang biasa memangil saya dengan panggilan Abie.
“Ke
dermaga..” jawab saya terus melangkah.
“Speed
boatnya di sini. Ini..!” katanya sembari menunjuk ke bawah tempatnya berdiri.
Langkah
saya terhenti, melihat ke bawah posisi tempat Ope berdiri. Lalu saya melangkah
menghampirinya, “Ndak salah, Pe?” tanya saya.
“Kalau
ragu, Abie tanyalah,” pintanya.
Saya
tertegun. Darah saya seakan bergelora tak tentu arah. Detak jantung saya
bergerak lebih cepat dari biasanya, “ini tak bercandakan, Pe?” desak saya
bertanya, lalu saya menatap pemandu yang membawa rombongan dari hotel.
“Benarkah
ini speed boat kita?” tanya saya.
Ia
mengangguk.
“Ondeh,
mak. Mati den!” kata saya.
Dada
terasa sesak. Ada gelisah dalam diri saya. Entah kenapa, ketika itu juga,
tiba-tiba saya merasa ingin kencing. Adji Setyo Nugroho lebih dahulu menanyakan
wc umum kepada penduduk yang sedang santai di depan rumah panggungnya.
Seorang
lelaki tua, mempersilakan Adji ke rumahnya. Saya mengekor di belakang. Beberapa
orang staf Kemendes PDTT mengikuti, tapi saya tak memperhatikan siapa saja yang
ikut kencing.
Satu
persatu penumpang masuk ke speed boat,
disusul barang bawaan mereka. Saya duduk di kursi kedua, persis di belakang
jurumudi. Speed boat Berkat Doa Ibu pun keluar dari pelabuhan berdermaga kayu yang disusun mirip panggung. Butuh waktu
lama untuk keluar.
“Pak,
bantu tuntun saya keluar pelabuhan hingga laut,” pinta jurumudi kepada lelaki
tua yang mengizinkan kami buang air kecil di rumahnya.
Lelaki
tua itu bergegas ke speedboat, kemudian menuntun dan mengantarkan kami hingga
laut. Ia turun di ujung dermaga, dan bersamaan naik seorang lelaki muda
berpostur kurus.
“Ia
anak buah baru, sebelumnya jadi tukang las,” katanya sembari menyebutkan, si Mas
baru kali ini naik jadi “ABK”-nya.
Si
Mas naik speed boat, lelaki tua yang mengantar ke ujung dermaga langsung duduk
bersimpuh di lantai dermaga kayu yang beberapa tiangnya sudah ada yang patah.
“Selamat
jalan, semoga selamat sampai tujuan,” katanya sembari melambaikan tangan.*
No comments:
Post a Comment