Oleh: Firdaus
Besok, anak-anak Sekolah Dasar (SD) memulai
pertarungan. Mereka akan menjalani Ujian Nasional (UN). Tak ada yang baru,
sebab setiap tahun peristiwa ini akan terus berulang. Tahun-tahun sebelumnya,
Ujian Nasional dilaksanakan sebagai penentu lulus atau tidaknya seorang
pelajar.
Kini namanya Ujian Nasional (UN). Sebelum bernama
Ujian Nasional, namanya Ujian Akhir Nasional (UAN). Namanya saja yang diganti.
Sebelumnya lagi, bernama Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Sebelumnya lagi, Evaluasi Belajar Tahan
Akhir (Ebta). Jauh sebelumnya, sebutan
yang sangat populer di tengah-tengah masyarakat untuk ujian ini adalah Ujian
Penghabisan.
Ya, Ujian Penghabisan. Sebuah penentuan kelanjutan nasib para pelajar untuk menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Lalu, apa beda
Ujian Penghabisan hingga secara bertahap berganti nama menjadi Ujian
Nasional? Secara substansi, tak banyak berbeda,
hanya “entertainment”-nya yang seakan dikondisikan.
Substansi dimaksud, perihal lulus atau tidaknya
seorang siswa ditentukan oleh nilai pada bidang studi tertentu, yang diujiankan selama UN tersebut. Bagaimana
nilai lain, seakan “tidak dianggap” jika nilai UN jeblok. Nilai rata-rata Ujian Nasional saat ini lebih
tinggi dibandingkan nilai “ujian-ujian penghabisan” terdahulu.
Di sinilah
letaknya mata pelajaran lain seakan “tidak dianggap” jika sudah berurusan
dengan ujian akhir. Padahal selama pendidikan berlangsung, pelajaran lain tetap
diberikan, malahan jam pelajarannya ada yang lebih panjang dibandingkan dengan
bidang studi yang diujiankan.
Di sisi lain, jika dirasakan apa yang terjadi pada
masa lalu dengan kondisi hari ini, seakan pada pelaksanaan kali ini, seakan UN
merupakan sosok yang menakutkan, sehingga sepanjang waktu, setiap orang,
terutama pelajar dan orang tuanya sangat mencemaskan keberadaan UN. Takut
anak-anak mereka tidak lulus.
Kecemasan dan ketakutan juga menghinggapi “operator
pendidikan” dalam hal ini Dinas Pendidikan di berbagai daerah. Kecemasan
mereka, jika banyak anak didik mereka tak lulus, seakan nasib mereka sudah
berada di ujung tanduk. Begitu pun jika nilai anak didiknya kalah bersaing
dengan sekolah lain. Apalagi jika label Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI) sudah melekat di belakang nama sekolahnya, maka,
“kiamat”-lah mereka.
Saya teringat seorang kawan ketika akan menghadapi
Ebtanas dulu. Esok pagi ia harus menjalani Ebtanas, sementara malamnya dia
masih melaksanakan ronda malam, menggantikan orang yang seharusnya ronda. Jika
ia tak menggantikan orang, maka, ia tidak akan memiliki uang untuk ongkos pergi
ujian besok. Seminggu Ebtanas, ia harus menjalani tiga malam menerima upah
ronda.
Tidak cemaskah ia tidak akan lulus? Yang pasti,
kecemasan itu tetap ada. Orang tuanya juga cemas kalau anaknya tak lulus. Hanya
saja, ia menjalani semuanya dengan tenang, tidak panik, lingkungannya
---termasuk guru dan pihak sekolah--- juga berupaya untuk menghadirkan
kedamaian dan ketenangan di lingkungannya.
Kenyataan hari ini, seakan berbeda. Sejumlah sekolah dan berbagai kalangan
pendidikan seakan berupaya “mengkondisikan” betapa menakutkannya UN. Malahan di
sejumlah sekolah sengaja melaksanakan acara tertentu yang kemudian semakin
menambah kecemasan para siswa. Awalnya memang dimaksudkan agar para pelajar
tetap ingat pada Allah. Tak ada yang salah dari maksud acaranya, namun kemudian
kemasannya seakan menjadi lain. Para pelajar semakin panik dan takut. Tak
jarang acara tersebut berujung bertangis-tangisan.
Stadar nilai rata-rata yang diberlakukan, dinilai
menjadi penyebab utama ketakutan, kecemasan yang menghantui dunia pendidikan.
Standar nilai rata-rata yang diberlakuka di Indonesia, berbanding terbalik
dengan rata-rata standar kualitas dan fasilitas pendidikan yang ada di negeri
ini.
Tak usahlah membandingkan kualitas dan fasilitas
pendidikan di Pulau Jawa dengan Papua, misalnya. Takaran di Sumbar saja,
tetaplah timpang. Jangankan membandingkan fasilitas pendidikan di kawasan
Padang Barat (Kota Padang) dengan Linggo Sari Baganti (Pesisir Selatan), sesama
sekolah di Padang Barat saja, masih saja ada perbedaan yang mempengaruhi
kualitas pendidikan. Fasilitas dimaksud, di antaranya; ketersediaan alat peraga
dan buku-buku pendukung, guru, bangunan sekolah atau ruang belajar dan
sebagainya.
Tiba-tiba saya teringat pesan bijak orang bijak;
apa yang kita pikirkan, itulah jadinya. Artinya, jika “operator pendidikan” dan
lingkungannya sudah panik, anak-anak pun panik, maka dapat dipastikan; hasilnya
adalah sebuah kepanikan. Pendidikan yang panik.
Duh, panik….! Eh, jangan panik menghadapi Ujian
Penghabisan! []
No comments:
Post a Comment