Oleh: Firdaus
Sepekan belakangan, masyarakat
Sumbar mendapat “hiburan” tahunan; Tour de Singkarak (TdS) 2012. Kata hiburan sengaja
saya masukkan di antara dua tanda petik? Alasannya, ajng yang
seharusnya menjadi hiburan, ternyata belum mampu menghibur masyarakat luas
secara utuh. Yang terhibur, baru sebatas
pejabat di negeri ini. Hop!
Ini kali ke empat pelaksanaan TdS.
Sejauh ini, dari realita di lapangan, belum banyak umpan balik yang dirasakan
masyarakat, selain terkurung karena perjalanan mereka di jalan raya harus
dihentikan, dua hingga empat jam.
Kondisi itu bertolak belakang dengan kesibukan aparatur pemerintah, pemegang otoritas dari hajatan ini. Kesibukan mereka berbanding lurus dengan dana yang dialokasikan khusus untuk TdS dan ikutannya, namun belum memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Niatnya, pelaksanaan TdS
dimaksudkan untuk promosi Sumatra Barat ke dunia luar. Kehadiran balap sepeda
tahunan ini, merupakan kejuaraan balap sepeda terbesar di Indonesia. Sasaran
akhirnya, bisa menyamai Tour de France, atau setidaknya bisa mengalahkan Tour
de Langkawi, Malaysia.
Dari keikutsertaan pebalap, para
pebalap Sumbar baru bisa sekadar berpartisipasi, itu pun tak mampu menaklukkan
medan laga di negeri sendiri. Menariknya, kemampuan pebalap dari daerah
(Pesisir Selatan) justru mampu mengalahkan pebalap yang “dikelola” Pengprov
ISSI Sumbar, ditandai dengan lebih dahulunya berguguran para pebalap ISSI
Sumbar daripada pebalap asal Pesisir Selatan. Inikah jawaban dari kekisruhan
Pengprov ISSI Sumbar selama ini?
Kekisruhan di tubuh Pengprov ISSI
Sumbar tersebut, sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejauh itu pula, tak pernah
ada penyelesaian secara jelas. Sejumlah Pengcab ISSI di Sumbar sudah pernah
menyampaikan mosi tak percaya terhadap kepengurusan Pengprov ISSI Sumbar.
Ketidakberasan itu pula yang
kemudian memaksa KONI Prov Sumbar mengambil alih seleksi para pebalap yang akan
berlaga. Itu pun sudah menjelang hajatan berlangsung. Kontingen yang
dipersiapkan ala kadarnya, tentu juga mendapatkan hasil ala kadarnya. Gugur
sebelum kayuhan sampai di garis finis.
Di sisi lain, harapan bahwa TdS
akan membawa pengaruh signifikan terhadap perekonomian rakyat, sejauh ini belum
tampak secara jelas. Bagi masyarakat,
apa pun namanya, apa pun iven yang diadakan, roda kehidupan mereka tetap
berjalan. Ada atau tidak iven tersebut, masyarakat tetap saja butuh sandang,
pangan dan papan, yang semakin hari kian sulit didapatkan.
Lalu apa yang didapatkan
masyarakat dari TdS ini selain kemacetan? Adakah mampu mendongkrak perekonomian
mereka, atau masyarakat hanya masih menjadi penonton di negeri mereka sendiri?
Kalau pun ada perbaikan, yang mencolok baru sebatas adanya iven di berbagai daerah.
Sudah ada kesadaran daerah untuk memanfaatkan momentum hajatan tersebut,
misalnya Pacu Itiak di Payakumbuah, Festival Siti Nurbaya di Padang, Festival
Langkisau di Painan.
Lalu, cukupkah sampai di sana?
Tentu tidak. Ke depan, agaknya perlu langkah-langkah konkrit yang lebih
terintegrasi, sehingga hajatan ini tak lagi sekadar milik pejabat daerah atau
panitia saja, tetapi efek dominonya dirasakan masyarakat Sumbar pada umumnya.
[]
No comments:
Post a Comment