Inmemoriam H. Amran Sutan Sidi Sulaiman (2/Tamat)
Oleh: Firdaus Abie
Berpulangnya H Amran Sutan Sidi Sulaiman ke Rahmatullah, meninggalkan duka
mendalam bagi masyarakat Sumbar, khususnya dunia usaha dan pendidikan. Jika
sebelumnya menulis mengabarkan perihal kakok tangannya di dunia usaha, edisi
kali ini akan menggambarkan perihal kepiawaiannya di dunia pendidikan.
Mendirikan sekolah, khususnya pendidikan Islam, tanpa perencanaan, tetapi
hadir lantaran sebuah keprihatinan. Terungkap pada buku H Amran Sutan Sidi
Sulaiman, Universitas Baiturrahmah, Berkhidmat untuk Kemajuan Bangsa, penulis
tulis bersama Khairul Jasmi, bermula karena Haji Amran tertegun saat melintasi
jalan di kawasan Taman Melati, Padang.
Ada sebuah mobil berhenti, seorang lelaki berada di belakang setir. Ia
amati, pandangannya tidak keliru. Ia benar-benar melihat jelas. Lelaki itu
adalah temannya. Haji Amran menghampiri. Benar. Lelaki itu adalah temannya yang
baru pulang menunaikan ibadah haji. Haji Amran menggedor bagian belakang sedan
yang sedang parkir. Sejenak lelaki itu menoleh. Bergegas ia keluar dan menghampiri
Haji Amran.
Lelaki itu menggunakan gamis. Bersorban putih. Pakaiannya bersih dan rapi.
Dua orang berteman bertemu tanpa sengaja. Keduanya bicara panjang lebar. Haji
Amran kemudian bertanya kepada temannya tersebut, kenapa ia ada di sini?
Haji Amran tersentak dengan jawaban sang teman. Katanya, ia sedang menunggu anaknya. Anaknya sedang di sekolah.
“Di sekolah ini?” tanya Haji Amran heran, sembari menunjuk Taman
Kanak-kanak yang ada di hadapan mereka. Sang kawan mengangguk.
“Ini kan sekolah nonmuslim? Kamu seorang haji. Kok memasukkan anak ke
sekolah nonmuslim?” tanya Haji Amran, tak mengerti.
“Saat ini tak ada satu pun sekolah Islam yang punya disiplin dan sarana
pendidikan yang memadai,” jawabnya singkat.
Haji Amran tersentak. Dadanya sesak. Ada gemuruh tak karuan. Ia mau marah
kepada temannya tersebut. Ia sudah tak menghargai sekolah Islam yang ada.
Ketika hendak melampiaskan berang, tiba-tiba ia sadar, sang teman ada juga
benarnya.
Ia amati sekelilingnya, ada beberapa sekolah Islam, namun disiplin dan
kualitasnya mulai luntur. Tak sedikit orang tua yang mengantarkan anak mereka
ke sekolah nonmuslim. Tak hanya orang awam, tetapi juga tokoh-tokoh yang
dikenal sebagai mubalig, ulama dan pemimpin Islam yang berkecukupan. Mereka
memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.
Kejadian ini membuat sesak di dada Haji Amran. Baginya, pendidikan di usia
kanak-kanak tersebut sangat penting. Ia mendapatkan bekal pendidikan agama
justru sejak usia tersebut. Ketika ia masih di kampungnya, Padangpanjang, ia
pernah dipercaya untuk membantu menaikkan citra sekolah Islam, di bawah bendera
sekolah Muhammadiyah.
Ketika itu, sekolah Muhammadiyah sudah kehilangan citra. Kualitasnya
merosot. Kekhasan sekolah tersebut hilang sejalan perubahan zaman. Sekolah itu
tergerus perubahan zaman. Kondisinya benar-benar terpuruk.
Di pikiran H. Amran terlintas sebuah sekolah Muhammadiyah di Ujung Belakang
Olo. Ia sering ke sana karena menjadi donatur tetap. Sesungguhnya ia miris
melihat sekolah tersebut. Sekolah agama, namun guru-guru negeri yang
diperbantukan di sana menggunakan busana umum. Berbaju Yerek. Bajunya selutut.
Tidak cocok dengan sekolah Islam. Tapi tak ada yang bisa mengubahnya.
Kenyataan yang ditemuinya di kawasan Taman Melati, Padang, dan realita lain
yang sering dijumpainya, membuat ia semakin gelisah. Ada semacam “pukulan”
bersarang di hatinya. Ia harus berbuat sesuatu. Sejak itu pula, Haji Amran
memutuskan, ia harus mendirikan sekolah Islam. Ia harus mendirikan sekolah yang
memiliki disiplin. Memiliki para guru berkualitas. Sarana dan prasarana yang
lengkap.
Keinginan mendirikan sekolah tersebut, tak bisa pula dilepaskan dari
penyerahan diri sepenuh hati. Ia menyampaikan kepada Djusna, isteri keduanya
yang dinikahinya tahun 1957. Ia akan mengabdikan diri saja untuk membina anak-anak.
Ia akan buka sekolah untuk ladang ibadah. Apalagi setelah menghadapi kenyataan
pahit dalam usahanya, ia merasa sudah cukup berkecimpung di dunia usaha,
seperti selama ini dijalaninya.
Ia kemudian menyampaikan rencana berikutnya kepada isterinya, Djusma untuk
mendirikan Taman Kanak-kanak untuk ladang ibadah baginya. Tahun 1979, dibuka
Taman Kanak-kanak (TK) Baiturrahmah. Diberinya nama Baiturrahmah. Maknanya,
tempat atau rumah yang selalu dihiasi oleh kasih sayang.
Sistemnya, dijemput dan diantar murid-muridnya. Makanan dan minuman anak
disediakan. Ia mendaftarkan anaknya, Rika Amran (kini, dr Rika Amran, Wakil
Direktur RS Siti Rahmah), sebagai murid pertama di Taman Kanak-kanak
Baiturrahmah. Rika adalah buah hati Haji Amran dengan Zairat. Selain Rika, ada
268 orang lain yang tercatat sebagai murid TK Baiturrahmah, angkatan pertama.
Jumlah sebanyak itu, sangat mengejutkan. Haji Amran tak pernah menduga.
Para guru lainnya juga tak menyangka. Kehadiran murid yang sangat banyak,
diangkatan pertama tersebut, membuat Haji Amran semakin percaya, jika sekolah
ini diurus secara serius, hasilnya akan mengembirakan.
Sebelum menerima murid, Haji Amran mempersiapkan semuanya secara matang.
Seizin isterinya, ia membangun di lahan miliknya, seluas 1.200 meter. Sekolah
ini bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Guru diseleksi secara
ketat. Haji Amran ikut melakukan proses seleksi. Syarat menjadi guru di TK
Baiturrahmah; cerdas, berpenampilan menarik, memakai baju kurung dan selendang.
Baju kurung, selendang, kain, sepatu, disediakan sekolah. Gurunya harus cantik,
jika perlu lebih cantik dari orang tua murid.
Standar menjadi guru di TK Baiturrahmah sangat tinggi. Di atas rata-rata
guru TK lainnya.
Misi pendidikan Islam dijalankan. Amanah orang tua, menyerahkan pendidikan
anaknya ke TK Baiturrahmah, dijaga baik-baik. Setiap anak diawasi. Sopan santun
dijaga. Etika dipelihara. Etika murid kepada guru, guru kepada murid, guru
kepada guru, murid kepada murid. Pelajaran amalan ibadah, salat, mengaji
Al-Quran, membiasakan baca basmallah setiap berkegiatan.
Tak cukup sampai di sana. Orang tua tak boleh mempersiapkan bekal untuk
anak ke sekolah. Semua disediakan sekolah. Sekolah yang mengatur semuanya.
Sekolah mempersiapkan secara matang. Makanan yang dimakan murid, dipastikan
terjamin kesehatannya. Semua makanan dan minuman disediakan guru secara
bergantian.
Sebelum angkatan pertama tamat, para orang tua murid TK mendatangi Haji
Amran. Kata mereka, jika pak Haji Amran tidak segera membuka SD, mau sekolah di
mana anak-anak mereka kelak? Apakah akan dibawa kembali ke sekolah nonmuslim? Haji
Amran terdiam. Ia tersentak dengan pernyataan dan desakan orang tua murid
tersebut.
Ia berpikir keras. Akankah mungkin baginya merealisasikan keinginan orang
tua murid? Apakah mungkin ia mewujudkan impian agar ada sekolah berbasis
pendidikan Islam dengan disiplin yang kuat?
Akhirnya tahun 1981, murid TK tersebut akhirnya “pindah” ke SD Baiturrahmah
yang didirikan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Desakan terus mengalir
kepadanya. Beliau diminta para orang tua untuk melanjutkan jenjang pendidikan
di Baiturrahmah. Secara berturut-turut, tahun 1982 berdiri SMP Baiturrahmah,
dan setahun kemudian berdiri SMA Baiturrahmah.
Waktu terus bergerak, tanpa henti. Aktivitas terus meningkat setiap hari.
Setelah mendirikan TK, tahun 1979, lalu berturut-turut mendirikan SD, SMP dan
SMA. Setelah itu, Yayasan Pendidikan Baiturrahmah memiliki tiga sekolah tinggi
dan satu akademi.
Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi (STKG), berdiri atas izin operasional
Kopertis Wilayah I, tahun 1985. Tiga tahun berselang, STKG memperoleh status
terdaftar berdasarkan SK Mendikbud RI No 0284/0/1988. Di tahun berdirinya STKG,
juga diperoleh izin operasional Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), padahal
awalnya tak ada lagi peluang untuk ilmu ekonomi di lingkup Kopertis Wilayah I.
Tahun 1992 berdiri Akademi Keperawatan, berstatus izin operasional. Setahun
berselang berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran Umum (STKU), menggandeng Fakultas
Kedokteran Unand sebagai mitra. Ketua Yayasan Pendidikan Baiturrahmah, H. Amran
tak puas sampai di sana. Empat perguruan tinggi yang dikelolanya bergerak
sendiri-sendiri. Satu sama lain terpisah.
Di antaranya, tiga sekolah tinggi dan satu akademi. Ia kemudian menyatukan
tiga sekolah tinggi tersebut. Impiannya terwujud. Hari bersejarah ditorehkan
Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Berbekal SK No 070/D/O/1994, tertanggal 16
Juli 1994. SK Mendikbud tentang Perubahan Sekolah Tinggi ke Universitas
Baiturrahmah. Ketiga sekolah tinggi digabungkan dalam satu kesatuan menjadi
Universitas Baiturrahmah. Status sekolah tinggi menjadi fakultas.
Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi berubah menjadi Fakultas Kedokteran Gigi.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi berganti jadi Fakultas Ekonomi. Sekolah Tinggi
Kedokteran Umum menjelma jadi Fakultas Kedokteran. Akademi Perawat tetap. Tidak
berubah.
Peresmian Universitas Baiturrahmah ditandai dengan pembukaan selubung nama,
di Kampus Baiturrahmah, Jl. Damar I No.5 Padang dan diserahkannya Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang perubahah tiga sekolah
tinggi ke Universitas Baiturrahmah oleh Kopertis Wilayah X Prof. Ir. Firdaus
Rivai M.Sc kepada Ketua Yayasan Pendidikan Baiturrahmah H. Amran, di kampus
Baiturrahmah Jl Damar I No 5 Padang, pada Rabu 10 Agustus 1994.
Perubahan status ketiga sekolah tinggi menjadi Universitas Baiturrahmah,
berakibat berubah pula komposisi struktur di kampus tersebut. Rektor
Universitas Baiturrahmah, Dr H. Aslir Sahur. Dekan Fakultas Ekonomi, Chaidir
Anwar, MBA. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, Dr Alioes Aliloeddin. Dekan
Fakultas Kedokteran Prof Asnil Sahim. Direktur Akademi Keperawatan, Dr Osri
Kamin.
Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, di saat meresmikan Universitas
Baiturrahmah mengingatkan agar pengelola pendidikan di Sumbar harus
berorientasi kualitas. Jika tidak, akan dapat menjatuhkan citra lembaga
pendidikan tersebut dan sekaligus secara tak disadari, telah turut
mempersiapkan masa depan yang suram.
Kemajuan perguruan tinggi, katanya, tidak dilihat dari jumlah mahasiswa
yang banyak. Tidak dari banyak jurusan. Tidak dari gedung semata, tetapi
semakin baiknya mutu dan tingginya kemampuan lulusan. Gubernur juga
mengingatkan mahasiswa. Kata beliau, kalau hanya mengharapkan ijazah,
dikhawatirkan akan menyulitkan masa depan. Kunci di lapangan kerja adalah persaingan
kualitas dan bekal keahlian. Dunia kerja lebih mementingkan tenaga terampil. Di
dunia kerja swasta, jika keterampilan tidak ditingkatkan, bisa saja kontrak
tidak diperpanjang. Atau status tidak naik-naik.
Pejabat pemerintah juga diperingatkan gubernur. Beliau meminta agar pejabat
pemerintah tidak memaksakan kehendak agar anaknya harus diterima di perguruan
tinggi. Jika ada yang meminta, jangan pedulikan. Jika perlu, laporkan
kepadanya. Kenapa hal tersebut jadi
perhatian gubernur?
Hasan Basri Durin mengungkapkan, jika perguruan tinggi memberikan
toleransi, maka hanya akan melahirkan pengangguran tingkat tinggi, bukan
melahirkan sarjana berkualitas. Kehadiran Universitas Baiturrahmah merupakan
universitas ke sembilan di Sumbar. Ketika itu, Firdaus Rivai mengharapkan agar
Baiturrahmah lebih fokus kepada dunia kesehatan. Pengembangan universitas yang
menjurus kesehatan sangat dibutuhkan masyarakat.
Kehadiran Universitas Baiturrahmah disambut gembira masyarakat Sumbar,
sebab diyakini akan memberikan dampak besar dalam peningkatan kualitas
pendidikan. Buktinya, saat peresmian universitas tersebut, sangat banyak yang
hadir. Tak hanya dari Sumbar, tetapi juga dari Medan dan Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud Prof Dr Yahara Sukra.
Agustus 1998, keluar nilai akreditasi.
Fakultas Kedokteran Baiturrahmah memperoleh akreditas B. Akreditasi Fakultas
Kedokteran Unand; B. Sama. Tentu saja, jika ditanya, siapa sosok penting di
balik kehadiran TK, SD, SMP, SMA, Akper dan Universitas Baiturrahmah serta
Rumah Sakit Islam Siti Rahmah? Hanya ada satu nama. Haji Amran Sutan Sidi
Sulaiman. Jika pertanyaan itu dilanjutkan; siapa orang hebat yang mendorong dan
“mengawalnya?” Jawabnya; Rosma, Hj Djusma, Zairat, dan Hj Maizarnis. Keempat
orang perempuan hebat tersebut adalah isterinya. Serta 14 orang anaknya yang
patuh dan taat pada orang tua serta agama. *
[]Naskah ini dimuat juga di Youtube Firdaus Abie
No comments:
Post a Comment