Oleh: Firdaus Abie
Ada tiga pertanyaan mengemuka di
lapangan. Pertama; mungkinkah menghadapi program jangka panjang, seorang atlet,
pelatih dan sebuah klub tidak butuh ivent antara untuk mengukur pencapaian
sebuah proses latihan atau pembinaan?
Kedua; apakah untuk
mencapai prestasi, harus tersedia biaya secara lengkap terlebih dahulu,
sehingga baru bisa berproses?
Sebelum kita lanjutkan pertanyaan ketiga, ada baiknya kita bahas dulu dua pertanyaan di atas. Berangkat dari kisah berikut.
Suatu ketika, saya bertemu
sahabat lama. Kami sudah lama tak bertemu. Ia mantan pemain voli di tahun
1980-an.
Masa itu, voli di Sumbar
sangat semarak. Hampir setiap saat ada kejuaraan voli. Iventnya bisa antar
klub. Antar perusahaan. kecamatan, kelurahan. Malahan bisa juga laga
antar RT. Para pemain voli masa itu menjadi idola di kampungnya.
Sahabat saya itu, setelah menjadi
pemain voli, dirinya kemudian mengurus voli. Menjadi pelatih. Menjadi pembina.
Masih berurusan dengan voli.
Tapi Ia menyebutkan, belakangan
mengurus voli sangatlah rumit. Jarang ada atlet yang mau bertahan. Malahan ada
yang tidak mau menggantungkan harapan pada olahraga tepok bola tersebut.
Para remaja itu bukan tanpa alasan. Kata mereka, sekali pun ada kompetisi bola voli profesional, atau Proliga yang diadakan sejak tahun 2002.
Namun bukan perkara mudah bagi
mereka untuk sampai ke sana. Butuh jalan panjang dan terjal, perlu lima hingga
tujuh tahun lagi dari usia mereka agar mereka benar-benar matang.
Persoalannya, justru bagaimana
bisa matang jika dalam berproses mereka tak mendapatkan sentuhan pertandingan.
Tak memiliki kesempatan menguji kemampuan melalui turnamen atau liga seusia
mereka? Termasuk sang pelatih. Tak ada kesempatan untuk menguji ilmu yang ada.
Perlahan, tak ada lagi kesibukan
di setiap sudut kampung memainkan bola voli. Tak terdengar lagi sorak
kegirangan.
Tidak ada lagi terasa
suasana tegang sambil menahan nafas. Tak hanya lapangan yang sepi, tetapi
ratusan, dan mungkin ribuan lapangan sudah menjadi kawasan perumahan.
Miris sekali…!
Mengikat Kata Sepakat
Sahabat tersebut kemudian
bercerita. Ia dan sembilan pengelola klub beserta pelatih telah mengikat kata
sepakat. Menghadirkan kejuaraan voli bagi remaja.
Dalam bentuk liga voli remaja.
Usia dibatasi kelahiran 2004 dan setelahnya. Atau, U-17 tahun.
Katanya, mereka membuat ivent
kecil-kecilan. Sifat kejuaraannya, liga. Semua klub saling bertemu. Sistem yang
digunakan, sekali di kandang dan sekali tandang. Semua sama-sama jadi tamu dan
dikesempatan lain jadi tuan rumah.
Ini bukan ivent kecil-kecilan.
Malahan hajatan ini adalah lompatan besar. Sekali melompat, lentingannya
langsung tinggi menembus awan. Hahahaha…
Saya tak bermaksud mengejek. Tapi
benar-benar memberikan apresiasi. Apa alasannya kalau ini ivent kecil? Tidak!
Ini bukan ivent kecil.
Mengantarkan kejuaraan ke markas
masing-masing klub adalah sebuah langkah sangat maju untuk memancing dan
menarik animo lingkungan untuk peduli dengan voli.
Sekaligus membukakan jalan bagi
para remaja untuk menapak langkah masa depannya. Salah satu sasarannya,
mungkin bisa saja ke Proliga lalu memperkuat Timnas Voli Indonesia.
Lalu, liga voli remaja ini salah
satu “chek point” yang akan mengantarkan
ke tujuan itu, kemudian mungkin “chek point”
yang lain diantaranya beragam kejuaraan, Popda, Porprov, Porwil atau
Kejurnas Pra PON, PON dan sebagainya. Buah terbaik matang di batangnya.
Menghadirkan Liga Voli Remaja
ini, saya berpikir simpel. Tentu sudah tersedia dana memadai.
Tentu ada sponsor yang memberikan
perhatian penuh. Apalagi panitia juga akan memberikan dukungan kepada peserta.
Tak mungkin tidak! Apa yang bisa diperbuat jika belum ada anggarannya!
Saya diundang pada rapat
persiapan akhir panitia. Wowww… sesak
nafas ini. Sejauh ini, ternyata pengelola klub dan pelatih hanya punya
semangat, tekad dan impian.
Puro mereka belum berisi. Kalau
pun ada, asalnya juga dari mereka-mereka juga. Setiap klub harus menyetorkan
sejumlah uang sebagai jaminan.
Catat; hanya sebagai jaminan.
Bukan untuk biaya pendaftaran. Selesai liga, uang jaminan tersebut dikembalikan
lagi.
Pembiayan Liga yang Unik
Sebuah pertanyaan susulan muncul.
Bagaimana panitia membiayai liga tersebut? Ternyata, jawabannya sangat unik dan
tak masuk akal. Tapi, realitanya liga sudah bergulir dan sejauh ini tidak ada
masalah.
Biaya lapangan, nol karena
lapangan milik klub. Honor wasit tidak ada. Kok bisa? Wasit berasal dari klub!
Spanduk, umbul-umbul di arena pertandingan tanggungjawab masing-masing klub.
Mengapa liga ini tidak mendatangi
sponsor? Belum ada sponsor yang tertarik, mungkin karena pemilik produk belum
yakin liga ini bisa berjalan. Biasanya, begitulah sponsor!
Pertanyan ketiga; mengapa saat
ini tak ada lagi instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta yang mau merekrut
atlet untuk bekerja di perusahaan mereka?
Terkait pertanyaan ini, juga
sering disebutkan, instansi instansi atau perusahaan tak peduli
lagi dengan para atlet.
Pada era 1980-an, hampir semua
BUMN/BUMD dan instansi pemerintahan serta swasta di Sumbar memberikan perhatian
lebih kepada atlet, lalu memberikan pekerjaan kepada mereka. Sejak akhir
1990-an, nyaris tak terlihat lagi.
Ketika voli berjaya, tahun
1980-an, beberapa klub hebat di Padang saja sangatlah banyak.
Diantaranya, klub atas nama instansi.
Ada Telkom atau Perumtel, Merpati (Pos dan Giro), Porkalin (PLN), Rimbawan
(Kehutanan).
Lalu, RBC (Polresta
Padang), Porsep (Semen Padang). Klub perusahaan swasta seperti Andespal,
Bentoel, serta banyak lagi yang lain.
Klub milik masyarakat, Ivand
(Andalas), Porkas (Berokmuaro), AIC (Aru Indah – Lubukbegalung), Desember ’80
(Pampangan).
Selanjutnya Ganesha, Ivadi (Aur
Duri Indah), Terpedo (Kuranji), PAS (Parakgadang), GVC (Gurunlaweh), Wira Sakti
(Nanggalo), Generasi (Pampangan).
Berikut, Opel (Lubukbuayo),
Fhanter (Sawahan), Amor (Ranah), IOS (Saranggagak), Parker (Parakkerakah).
Ada juga klub dari sekolah
setingkat SMA kala itu yang populer, seperti Tamara (SMAN 3 Padang) dan SGO.
Berasal dari Klub Kampung dan Sekolah
Rata-rata sebahagian besar pemain
instansi pemerintah dan swasta berasal dari klub kampung atau sekolah.
Klub kampung atau sekolah
memproduksi pemain setiap saat. Kejuaraan sangat ramai. Tak hanya antar klub,
tetapi juga antar perusahaan atau instansi.
Setiap instansi ingin pula mempromosikan
diri. Mereka mendirikan pula sebuah tim.
Berbagai cara dilakukan, termasuk
merekrut pemain dengan cara diterima sebagai pegawai atau karyawannya.
Pola ini menarik bagi pemain
agar bisa bekerja di instansi yang memberikan prospek masa depan.
Hubungan saling membutuhkan pun
tak bisa terelakan. Kini, hubungan itu yang tidak terhubung lagi.
Tak salah kalau kemudian ada
harapan yang mengumpal, Liga Voli Remaja ini hanya permulaan saja dari impian
besar nantinya.
Bukan tidak mungkin pula, suatu
ketika nanti kebutuhan klub, pemain, pelatih dan instansi akan bertemu pada
satu titik yang saling membutuhkan.
Semoga!*
No comments:
Post a Comment