Inmemoriam H. Amran Sutan Sidi Sulaiman (Bagian 1 dari 2 Tulisan):
Berpulangnya H Amran Sutan Sidi Sulaiman ke Rahmatullah, meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Sumbar. Putra Padangpanjang ini merupakan potret nyata kegigihan seorang laki-laki Minangkabau dalam membangun bisnis, mengelola dunia pendidikan dan ibadah.
Penulis pernah dekat dengan orang tua dari dr Rika Amran
(Wadir RS Siti Rahmah), dan Fadly Amran (Walikota Padangpanjang) ini, terutama
ketika penulis bersama Khairul Jasmi dipercaya
menulis perjalanan 25 Tahun Universitas Baiturrahmah. Perjalanan universitas
yang terkenal di bidang kesehatan tersebut, tak bisa dilepaskan dari kakok tangan beliau.
Pada kesempatan
ini, penulis menurunkan sebagian kecil perjalanan H. Amran Sutan Sidi Sulaiman
yang dikutip dari buku berjudul H. Amran
Sutan Sidi Sulaiman, Universitas Baiturrahmah, Berkhidmat untuk Kemajuan Bangsa
tersebut. Diterbitkan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah.
H. Amran lahir di Padangpanjang, 20 September 1929. Kepastian tanggal kelahirannya pun, sebenarnya didasarkan pada penghitungan terhadap sebuah peristiwa. Jamak pada masa lalu, orang hanya memperkirakan tanggal kelahiran. Begitu pun tanggal kelahiran H. Amran. Patokan hari kelahiran H. Amran, konon empat tahun setelah Hari Kalam (Hari Gelap) pada masa itu. Hari gelap dimaksud, pernah terjadi di suatu masa, Padangpanjang dan sekitarnya dilanda gempa dahsyat akibat meletusnya Gunung Merapi. Kejadiannya di tahun 1926, dan H. Amran lahir tiga tahun kemudian.
Di masa
kanak-kanak, anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Haji
Nurdin Datuk Palembang, seorang pedagang dan juga bertani dengan Siti
Djalilah, tak kuat bekerja di
sawah, namun tahan jalan keliling kampung, masuk kampung keluar kampung
menjajakan kue, sepanjang hari. Jika tidak keliling berjualan kue, ia dapat
tugas menunggui lapau (kedai).
Setelah berumur 6 tahun, anak
lelaki Minangkabau menjalani kehidupan di surau. Tidak boleh lagi tidur di
rumah orang tua. Amran mengaji di Surau Guguak. Surau adalah tempat untuk menempa
diri lelaki Minangkabau dengan mengaji, basilek
dan pendidikan akhlak serta kepribadian muslim sejati. Pendidikan yang
didapatkan di surau berbeda dengan pendidikan formal di sekolah.
Selesai salat subuh, para lelaki
muda itu pulang ke rumah orang tuanya. Membantu pekerjaan orang tua, sekolah
dan kembali lagi ke surau sebelum magrib. Begitulah setiap hari.
Ketika tentara Jepang masuk ke
kampungnya, kehidupan menjadi berubah. Bahan makanan dan kebutuhan harian sulit
didapatkan. Semua orang mengalami kesulitan luar biasa. Tak hanya itu saja,
sekolah Amran pun terputus ketika ia seharusnya sudah duduk di kelas VI Sekolah
Rakyat. Padahal sebenarnya Amran ingin terus sekolah, namun tak
ada aktivitas lagi di sekolah. Ia akhirnya mengikuti ayahnya berdagang. Ia bawa
saka (gula merah) dari Kotobaru, lalu dibawanya dengan gerobak ke Sicincin,
Pakandangan dan Pariaman. Ketika itu, mereka tidak bisa balik hari itu juga.
Perjalanan tersebut menempuh waktu dua hingga tiga hari.
Tahun 1946, ayahnya sudah bisa
menyewa kedai di Padangpanjang, kota kecil, berhawa sejuk. Sewa kedai dibayar
setiap bulan. Kehidupan di Padangpanjang membawa kenangan tersendiri yang tak
akan pernah bisa dilupakan.
Padangpanjang, sejak dulu terkenal
dengan kota yang memiliki banyak sekolah Islam. Ada Perguruan Sumatera
Thawalib, didirikan Inyiak DR, ayah Buya Hamka. Ada Diniyah Putri, didirikan
Rahmah El-Yunusiah bersaudara. Di sini banyak tokoh-tokoh pergerakan.
Tahun 1949, Amran memberanikan diri
buka usaha sendiri. Modal awal, berupa sepeda pinjaman merek Hunger, dijualnya.
Hasil penjualan dijadikan modal dan sewa kedai di Pasar Padangpanjang. Usahanya terus berkembang.
Pergaulannya pun luas. Dua tahun berselang, ia melunasi utang usahanya. Sejak
itu pula ia menanamkan prinsip, tak akan berhutang lagi.
Tahun 1952, disaat usahanya terus
tumbuh dan berkembang, ia menikah dengan anak kawan ayahnya. Ketika itu, gadis
tersebut berusia 19 tahun. Pernikahannya dikarunia empat orang anak; Ermida,
Okmawida, Ali Herman dan
Ahmad Suwarta.
Lima tahun berselang, ia menikah
lagi. Ia menikahi Djusma dan dikarunia seorang anak, Retno Yelvi. Di tahun itu
pula ia membeli sepeda kumbang Zandap. Tak banyak orang yang bisa memilikinya
ketika itu.
Situasi berubah sangat cepat. Disaat
menikmati masa-masa menyenangkan, tiba-tiba masalah melanda negerinya.
Tokoh-tokoh di daerah menginginkan perbaikan, namun pemerintah pusat menilai
keinginan tersebut sebagai pemberontakan. Terjadi konflik. Perang saudara
terjadi. Peristiwa tersebut populer dengan istilah PRRI.
Penangkapan, penculikan, pembunuhan
dan kesewenang-wenangan terjadi. Pembakaran di mana-mana. Usaha yang
dibangunnya, tak bisa dilanjutkan. Amran pun berpikir keras, apa pekerjaan yang
harus dilakukan lagi? Mulanya sempat akan menjadi tukang pangkas rambut. Tak
jadi. Lalu, tukang reparasi jam. Tak cukup. Ia berpikir untuk meninggalkan
Padangpanjang. Ia harus merantau. Kedua isterinya mengizinkan. Ia kemudian
merantau ke Padang. Kota yang tak pernah diketahui sebelumnya.
Amran memboyong kedua isteri dan
anak-anaknya ke Padang. Ia kemudian berjualan kain di kaki lima Pasar Mambo
(sekarang, Koppas Plaza). Selain berjualan kain, ia kemudian juga kuliah di
Fakultas Ekonomi Universitas Andalas.
Ia bisa kuliah karena disaat
sebelum menikah, sempat melanjutkan sekolahnya. Disaat menjual barang-barang
P&D, selepas berjualan sendiri dari modal pinjam sepeda, ia melanjutkan
sekolahnya sehingga memperoleh ijazah SMP dan SMA. Ia tak puas dengan ilmu
ekonomi saja. Ia juga kuliah di Fakultas Hukum Unand. Aktivitas tersebut
dijalaninya dengan penuh keyakinan. Di saat masa sulitnya, ia menyelesaikan
kuliah C1 ekonomi Unand.
Usaha kain berlangsung hingga 1962,
lalu beralih menjadi agen semen. Ia beli semen dari “orang dalam” kemudian
dijual ke pasar dengan harga dua kali lipat. Tapi usaha itu berhenti tahun 1965
karena sistem jatah semen untuk “orang dalam” ditiadakan.
Ada kebanggaan tersendiri bagi
Amran ketika itu. Ia menyewa gudang di Kampung Cina untuk semen-semennya.
Ketika itu, menyewa gudang di Kampung Cina merupakan ukuran sukses seorang
pedagang pribumi.
Di Tahun 1965, setelah semen, ia
beralih jadi agen garam. Modalnya 12 ton garam, atau Rp 12 juta di masa itu.
Usaha garamnya bergerak naik. Dalam kurun waktu singkat, kemajuan usahanya sangat
pesat. Ia juga pernah mengimpor garam dari India, sebanyak 5.000 ton.
Tahun 1971, usaha garamnya terus berkembang. Ia kemudian membuka
showroom mobil. Jual beli mobil sangat
lancar. Ketika itu, ia beli mobil Rp 950.000--, dijual Rp 1.000.000,--. Labanya
sangat besar untuk ukuran masa itu.
H Amran kemudian
melihat celah. Ketika itu, kendaraan untuk angkutan dalam kota di Padang, ketika itu hanya ada bendi, bemo dan datsun. H. Amran
mendapatkan rute sendiri, sehingga akhirnya berlalu-lalanglah City Ekspres,
atau Mini City Ekspres (MCE). Kendaraan berwarna kuning berpintu belakang itu dikelolanya sendiri. Semakin terkenallah H.
Amran di kancah dunia usaha Sumatera Barat.
Saking terkenalnya, ternyata
belakangan ada yang mengganjalnya. Setiap ada tamu pejabat, H.Amran dihubungi,
lalu dimintai bantuan untuk mendampingi atau membantu biaya selama tamu
tersebut selama di Padang. Makan dan minumnya. Hotelnya. Ada juga yang meminta
bantu carikan “selimut hidup” atau membiayai “selimut” tersebut.
Batin H. Amran menolak. Ia
tinggalkan usaha tersebut. Dicoba usaha baru. Ia dirikan toko bertingkat
(sekarang populer dengan sebutan Rumah Toko,--Ruko) di depan kawasan Terminal
Lintas Andalas, bekas kuburan Belanda yang kini berdiri sebuah mall di Jalan
Pemuda – Padang.
Konon, toko bertingkat yang
dibuatnya tersebut merupakan toko bertingkat pertama di Padang. Walikota Padang
Akhiroel Yahya sempat mempertanyakan keberadaan bangunan tersebut.
Setelah di depan terminal tersebut,
juga mendirikan banyak toko bertingkat di kawasan Jalan M. Yamin. Persisnya di
mulai perempatan Jl Hang Tuah – Jl M.Yamin – Jl. Pemuda dan Jl Hayam Wuruk
sekarang. Toko bertingkat tersebut berjejer hingga depan terminal angkot, atau
terminal Goan Hoad (sekarang Sentral Pasar Raya,--SPR). Dari banyak toko
bertingkat yang dibuat, H. Amran menempati tokonya di perempatan jalan tersebut
(sekarang di Padang Photo). Dari sana ia mengelola usaha garam, gula,
jadi agen semen serta penjahit; Perdana Taylor. Dikerjakannya dengan
senang hati.
Di tahun 1970-an itu pula, selepas
magrib H. Amran melihat orang ramai disebuah toko di Jl M.Yamin. Toko tersebut
sangat terang. Ia perhatikan. Di sana orang menjual televisi (TV). Ketika itu,
TV termasuk
barang langka dan mewah. Konon, hanya itu satu-satunya tempat orang menjual TV.
Besoknya, H. Amran langsung ke
Medan. Ia beli TV di Jl Asia – Medan. Dibawanya TV satu truk. Entah TV baik,
entah rusak, ia pun tak tahu bagaimana TV sesungguhnya. Sesampai di Padang, TV
disusun dan dipajang di kedainya. Ia tak bisa menghidupkan.
Beberapa hari berselang, ada
seorang anak muda melihat-lihat TV. Ia bertanya ukuran TV yang ada di depannya,
“ini berapa inchi, Pak Haji?” tanya anak muda itu, ketika itu.
H. Amran tertegun. Ia juga tidak
tahu, tapi nalurinya berkata lain. Anak muda ini bertanya dengan istilah yang
dia sendiri tak tahu. Ia yakin, istilah yang disebut lelaki tersebut pasti
terkait dengan istilah di TV.
“Anda mengerti dengan TV? Tahu cara
menghidupkannya?” tanya H. Amran.
Ia menjawab datar. Tahu
sedikit-sedikit dengan TV. Tanpa pikir panjang, H. Amran mengajaknya bekerja
bersamanya. Ajakan itu pun diterima lelaki tersebut.
Saat
usianya 41 tahun, ia naik haji. Tahun
1971, H. Amran menikah lagi.
Ia menikahi Zairat, sekretarisnya di
perusahaan garam yang dikelolanya. Pernikahan dengan Zairat dikarunia dua orang anak; Rika
Amran, Sari Amran.
Pada tahun 1975, ia
dipanggil untuk menghadap Gubernur Sumbar Harun Zein. Persoalannya, kapal garam
milik H. Amran ditahan di tengah laut. Ketika itu, kepada H. Amran dikabarkan,
pengelolaan dan pendistribusian garam diambil alih oleh pemerintah. Ia kemudian
disidang oleh pejabat daerah ketika itu, Mahyuddin Algamar.
“Kapal membawa garam ini akan
ditenggelamkan,” kata Mahyuddin Algamar, ketika itu, seperti ditirukan oleh H.
Amran.
Pernyataan itu justru disikapi
santai oleh H. Amran, “silakan saja!” katanya.
“Tidak masalah bagi Anda?”
tanyanya.
“Jika ditenggelamkan, ia masuk
kategori force major. Saya akan
terima asuransinya,” kata H. Amran tak kehilangan akal. Mahyuddin Algamar
bingung.
Sepulang dari kantor gubernur, H.
Amran menyampaikan ke isterinya.
Garam yang dikelolanya ditenggelamkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Kini
disebut, Pemerintah Provinsi –Pemprov) Sumatera Barat. Sejak itu pula, usaha
garam diambil-alih oleh pemerintah.
Tahun 1979 Ia mendirikanTaman
Kanak-kanak (TK) Baiturrahmah. Maknanya,
tempat atau rumah yang selalu dihiasi oleh kasih sayang. Setelah itu,
berturut-turut didirikannnya SD, SMP dan SMA Baiturrahmah. Berlanjut mendirikan
Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi, Akademi keperawatan hingga berkembang jadi
Universitas Baiturrahmah.
Ternyata, sado nan
dikakoknyo, kameh. Semua yang dikerjakan H Amran berhasil secara baik. Apa
rahasianya? Bagaimana pula kisahnya mendirikan sekolah dan kampus dengan
karakter pendidikan Islam?
Jawabnya ada pada
edisi kedua, besok. (Firdaus Abie)
**
Inmemoriam H. Amran
Sutan Sidi Sulaiman (2/Tamat)
Mengelola Pendidikan Berbasis Islam
Berpulangnya H
Amran Sutan Sidi Sulaiman ke Rahmatullah, meninggalkan duka mendalam bagi
masyarakat Sumbar, khususnya dunia usaha dan pendidikan. Jika sebelumnya
menulis mengabarkan perihal kakok tangannya di dunia usaha, edisi kali ini akan
menggambarkan perihal kepiawaiannya di dunia pendidikan.
Mendirikan sekolah,
khususnya pendidikan Islam, tanpa perencanaan, tetapi hadir lantaran sebuah
keprihatinan. Terungkap pada buku
H. Amran Sutan Sidi Sulaiman, Universitas Baiturrahmah,
Berkhidmat untuk Kemajuan Bangsa, penulis
tulis bersama Khairul Jasmi, bermula karena Haji
Amran tertegun saat melintasi jalan
di kawasan Taman Melati, Padang. Ada sebuah mobil berhenti, seorang lelaki
berada di belakang
setir. Ia amati, pandangannya tidak keliru. Ia benar-benar melihat jelas. Lelaki itu adalah temannya.
Haji Amran menghampiri. Benar.
Lelaki itu adalah temannya yang baru pulang menunaikan ibadah haji. Haji Amran
menggedor bagian belakang sedan yang sedang parkir. Sejenak lelaki itu menoleh.
Bergegas ia keluar dan menghampiri Haji Amran.
Lelaki itu menggunakan gamis.
Bersorban putih. Pakaiannya bersih dan rapi. Dua orang berteman bertemu tanpa
sengaja. Keduanya bicara panjang lebar. Haji
Amran kemudian bertanya kepada
temannya tersebut, kenapa ia ada di sini?
Haji Amran tersentak dengan jawaban
sang teman. Katanya, ia sedang menunggu anaknya. Anaknya sedang di sekolah.
“Di sekolah ini?” tanya Haji Amran
heran, sembari menunjuk Taman Kanak-kanak yang ada di hadapan mereka. Sang
kawan mengangguk.
“Ini kan sekolah nonmuslim? Kamu
seorang haji. Kok memasukkan anak ke sekolah nonmuslim?” tanya Haji Amran, tak
mengerti.
“Saat ini tak ada satu pun sekolah
Islam yang punya disiplin dan sarana pendidikan yang memadai,” jawabnya
singkat.
Haji Amran tersentak. Dadanya
sesak. Ada gemuruh tak karuan. Ia mau marah kepada temannya tersebut. Ia sudah
tak menghargai sekolah Islam yang ada. Ketika hendak melampiaskan berang, tiba-tiba ia sadar, sang teman
ada juga benarnya.
Ia amati
sekelilingnya, ada
beberapa sekolah Islam, namun disiplin dan kualitasnya mulai luntur. Tak
sedikit orang tua yang mengantarkan anak mereka ke sekolah nonmuslim. Tak hanya
orang awam, tetapi juga tokoh-tokoh yang dikenal sebagai mubalig, ulama dan
pemimpin Islam yang berkecukupan. Mereka memasukkan anaknya ke sekolah
tersebut.
Kejadian ini membuat sesak di dada
Haji Amran. Baginya, pendidikan di usia kanak-kanak tersebut sangat penting. Ia
mendapatkan bekal pendidikan agama justru sejak usia tersebut. Ketika ia masih
di kampungnya, Padangpanjang, ia pernah dipercaya untuk membantu menaikkan
citra sekolah Islam, di bawah bendera sekolah Muhammadiyah.
Ketika itu, sekolah Muhammadiyah
sudah kehilangan citra. Kualitasnya merosot. Kekhasan sekolah tersebut hilang
sejalan perubahan zaman. Sekolah itu tergerus perubahan zaman. Kondisinya
benar-benar terpuruk.
Di pikiran H. Amran terlintas
sebuah sekolah Muhammadiyah di Ujung Belakang Olo. Ia sering ke sana karena
menjadi donatur tetap. Sesungguhnya ia miris melihat sekolah tersebut. Sekolah
agama, namun guru-guru negeri yang diperbantukan di sana menggunakan busana
umum. Berbaju Yerek. Bajunya selutut. Tidak cocok dengan sekolah Islam. Tapi
tak ada yang bisa mengubahnya.
Kenyataan yang ditemuinya di kawasan
Taman Melati, Padang, dan realita lain yang sering dijumpainya, membuat ia semakin gelisah. Ada semacam “pukulan”
bersarang di hatinya. Ia harus berbuat sesuatu. Sejak itu pula, Haji Amran
memutuskan, ia harus mendirikan sekolah Islam. Ia harus mendirikan sekolah yang
memiliki disiplin. Memiliki para guru berkualitas. Sarana dan prasarana yang
lengkap.
Keinginan mendirikan sekolah
tersebut, tak bisa pula dilepaskan dari penyerahan diri sepenuh hati. Ia menyampaikan kepada Djusna, isteri keduanya yang dinikahinya
tahun 1957. Ia akan mengabdikan
diri saja untuk membina anak-anak. Ia akan buka sekolah untuk ladang ibadah.
Apalagi setelah menghadapi kenyataan pahit dalam usahanya, ia merasa sudah cukup berkecimpung di dunia
usaha, seperti selama ini dijalaninya.
Ia kemudian
menyampaikan rencana berikutnya kepada isterinya, Djusma untuk mendirikan Taman
Kanak-kanak untuk ladang ibadah baginya. Tahun
1979, dibuka Taman Kanak-kanak (TK) Baiturrahmah. Diberinya nama Baiturrahmah. Maknanya, tempat atau rumah yang selalu
dihiasi oleh kasih sayang.
Sistemnya, dijemput dan
diantar
murid-muridnya. Makanan dan minuman anak disediakan.
Ia mendaftarkan anaknya, Rika Amran (kini,
dr Rika Amran, Wakil Direktur RS Siti Rahmah),
sebagai murid pertama di Taman Kanak-kanak Baiturrahmah. Rika adalah buah hati
Haji Amran dengan Zairat. Selain Rika,
ada 268 orang lain yang tercatat sebagai murid TK Baiturrahmah, angkatan
pertama.
Jumlah sebanyak itu, sangat
mengejutkan. Haji Amran tak pernah menduga. Para guru lainnya juga tak
menyangka. Kehadiran murid yang sangat banyak, diangkatan pertama tersebut,
membuat Haji Amran semakin percaya, jika sekolah ini diurus secara serius,
hasilnya akan mengembirakan.
Sebelum menerima murid, Haji Amran
mempersiapkan semuanya secara matang. Seizin isterinya, ia membangun di lahan
miliknya, seluas 1.200 meter. Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Pendidikan
Baiturrahmah. Guru diseleksi secara ketat. Haji Amran ikut melakukan proses
seleksi. Syarat menjadi guru di TK Baiturrahmah; cerdas, berpenampilan menarik,
memakai baju kurung dan selendang. Baju kurung, selendang, kain, sepatu,
disediakan sekolah. Gurunya harus cantik, jika perlu lebih cantik dari orang
tua murid. Standar menjadi guru di TK Baiturrahmah sangat tinggi. Di atas
rata-rata guru TK lainnya.
Misi pendidikan Islam dijalankan.
Amanah orang tua, menyerahkan pendidikan anaknya ke TK Baiturrahmah, dijaga
baik-baik. Setiap anak diawasi. Sopan santun dijaga. Etika dipelihara. Etika
murid kepada guru, guru kepada murid, guru kepada guru, murid kepada murid.
Pelajaran amalan ibadah, salat, mengaji Al-Quran, membiasakan baca basmallah
setiap berkegiatan.
Tak cukup sampai di sana. Orang tua
tak boleh mempersiapkan bekal untuk anak ke sekolah. Semua disediakan sekolah.
Sekolah yang mengatur semuanya. Sekolah mempersiapkan secara matang. Makanan
yang dimakan murid, dipastikan terjamin kesehatannya. Semua makanan dan minuman
disediakan guru secara bergantian.
Sebelum angkatan
pertama tamat, para orang tua
murid TK mendatangi Haji Amran. Kata mereka, jika pak Haji Amran tidak segera
membuka SD, mau sekolah di mana anak-anak mereka kelak? Apakah akan dibawa
kembali ke sekolah nonmuslim?
Haji Amran terdiam. Ia tersentak
dengan pernyataan dan desakan orang tua murid tersebut. Ia berpikir keras.
Akankah mungkin baginya merealisasikan
keinginan orang tua murid? Apakah mungkin ia mewujudkan impian agar ada sekolah
berbasis pendidikan Islam dengan disiplin yang kuat?
Akhirnya
tahun 1981, murid TK tersebut akhirnya “pindah” ke SD Baiturrahmah yang
didirikan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Desakan terus mengalir kepadanya.
Beliau diminta para orang tua untuk melanjutkan jenjang pendidikan di Baiturrahmah. Secara berturut-turut, tahun
1982 berdiri SMP Baiturrahmah, dan setahun kemudian berdiri SMA Baiturrahmah.
Waktu terus
bergerak, tanpa henti. Aktivitas terus meningkat setiap hari. Setelah
mendirikan TK, tahun 1979, lalu berturut-turut mendirikan SD, SMP dan SMA.
Setelah itu, Yayasan Pendidikan Baiturrahmah memiliki tiga sekolah tinggi dan
satu akademi.
Sekolah
Tinggi Kedokteran Gigi (STKG), berdiri
atas izin operasional Kopertis Wilayah I, tahun 1985. Tiga tahun berselang,
STKG memperoleh status terdaftar berdasarkan SK Mendikbud RI No 0284/0/1988. Di
tahun berdirinya STKG, juga diperoleh izin operasional Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi (STIE), padahal awalnya tak ada lagi peluang untuk ilmu ekonomi di
lingkup Kopertis Wilayah I.
Tahun
1992 berdiri Akademi Keperawatan, berstatus izin
operasional. Setahun berselang berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran Umum (STKU), menggandeng
Fakultas Kedokteran Unand sebagai mitra. Ketua Yayasan Pendidikan Baiturrahmah,
H. Amran tak puas sampai di sana. Empat perguruan tinggi yang dikelolanya
bergerak sendiri-sendiri. Satu sama lain terpisah. Di antaranya, tiga sekolah
tinggi dan satu akademi. Ia kemudian menyatukan tiga sekolah tinggi tersebut.
Impiannya terwujud. Hari bersejarah ditorehkan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah.
Berbekal SK No 070/D/O/1994, tertanggal 16 Juli 1994. SK
Mendikbud tentang Perubahan Sekolah Tinggi ke Universitas Baiturrahmah. Ketiga sekolah
tinggi digabungkan dalam satu
kesatuan menjadi Universitas Baiturrahmah. Status sekolah tinggi menjadi
fakultas.
Sekolah
Tinggi Kedokteran Gigi berubah menjadi Fakultas Kedokteran Gigi. Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi berganti jadi Fakultas Ekonomi. Sekolah Tinggi Kedokteran Umum
menjelma jadi Fakultas Kedokteran. Akademi Perawat tetap. Tidak berubah.
Peresmian
Universitas Baiturrahmah ditandai dengan pembukaan selubung nama, di Kampus
Baiturrahmah, Jl. Damar I No.5 Padang dan diserahkannya Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tentang perubahah tiga sekolah tinggi ke Universitas
Baiturrahmah oleh Kopertis Wilayah X Prof. Ir. Firdaus Rivai M.Sc kepada Ketua
Yayasan Pendidikan Baiturrahmah H. Amran,
di kampus Baiturrahmah Jl Damar I No 5 Padang, pada Rabu 10 Agustus 1994.
Perubahan
status ketiga sekolah tinggi menjadi Universitas Baiturrahmah, berakibat
berubah pula komposisi struktur di kampus tersebut. Rektor Universitas
Baiturrahmah,
Dr H. Aslir Sahur. Dekan Fakultas Ekonomi, Chaidir Anwar, MBA. Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi, Dr Alioes Aliloeddin.
Dekan Fakultas Kedokteran Prof Asnil Sahim. Direktur Akademi Keperawatan, Dr Osri Kamin.
Gubernur
Sumbar Hasan Basri Durin, disaat meresmikan Universitas Baiturrahmah
mengingatkan agar pengelola pendidikan di Sumbar harus berorientasi kualitas.
Jika tidak, akan dapat menjatuhkan
citra lembaga pendidikan tersebut dan sekaligus secara tak disadari, telah
turut mempersiapkan masa depan yang suram.
Kemajuan
perguruan tinggi, katanya, tidak dilihat dari jumlah mahasiswa yang banyak.
Tidak dari banyak jurusan. Tidak dari gedung semata, tetapi semakin baiknya
mutu dan tingginya kemampuan lulusan. Gubernur juga mengingatkan mahasiswa.
Kata beliau, kalau hanya mengharapkan ijazah, dikhawatirkan akan menyulitkan
masa depan. Kunci di lapangan kerja adalah persaingan kualitas dan bekal
keahlian. Dunia kerja lebih mementingkan tenaga terampil. Di dunia kerja
swasta, jika keterampilan tidak ditingkatkan, bisa saja kontrak tidak
diperpanjang. Atau status tidak naik-naik.
Pejabat
pemerintah juga diperingatkan gubernur. Beliau meminta agar pejabat pemerintah
tidak memaksakan kehendak agar anaknya harus diterima di perguruan tinggi. Jika
ada yang meminta, jangan pedulikan. Jika perlu, laporkan kepadanya.
Kenapa
hal tersebut jadi perhatian gubernur? Hasan Basri Durin mengungkapkan, jika
perguruan tinggi memberikan toleransi, maka hanya akan melahirkan pengangguran
tingkat tinggi, bukan melahirkan sarjana berkualitas. Kehadiran Universitas
Baiturrahmah merupakan universitas ke sembilan di Sumbar. Ketika itu, Firdaus
Rivai mengharapkan agar Baiturrahmah lebih fokus kepada dunia kesehatan.
Pengembangan universitas yang menjurus kesehatan sangat dibutuhkan masyarakat.
Kehadiran
Universitas Baiturrahmah disambut gembira masyarakat Sumbar, sebab diyakini
akan memberikan dampak besar dalam peningkatan kualitas pendidikan. Buktinya,
saat peresmian universitas tersebut, sangat banyak yang hadir. Tak hanya dari
Sumbar, tetapi juga dari Medan dan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Dr
Yahara Sukra.
Agustus
1998, keluar nilai akreditasi. Fakultas Kedokteran Baiturrahmah memperoleh akreditas B.
Akreditasi Fakultas Kedokteran Unand; B. Sama.
Tentu
saja, jika ditanya, siapa sosok penting di balik kehadiran TK, SD, SMP, SMA, Akper dan Universitas Baiturrahmah serta
Rumah Sakit Islam Siti Rahmah?
Hanya ada satu nama. Haji Amran Sutan Sidi Sulaiman.
Jika pertanyaan itu dilanjutkan; siapa orang hebat yang mendorong dan “mengawalnya?” Jawabnya; Rosma, Hj Djusma, Zairat, dan Hj Maizarnis. Keempat orang perempuan hebat tersebut adalah isterinya. Serta 14 orang anaknya yang patuh dan taat pada orang tua serta agama.*
No comments:
Post a Comment