Oleh: Firdaus
Lelaki tua itu meminta diturunkan ketika mobil
yang membawa kami sampai di depan pasar Padangpanjang.
“Ayah turun di sini saja,” katanya.
Kemudian mobil berhenti menjelang pertigaan
Padangpanjang – Tanahdatar – Bukittinggi. Sebelum turun, lelaki tua itu tak
lupa mengucapkan terima kasih. Berulangkali ia mengucapkannya.
Setelah ia turun, teman sekantor, yang sejak dari
Padang bersama saya ke Bukittinggi, berulangkali mengungkapkan rasa kagum
kepada lelaki tua itu.
“Kini saya baru benar-benar percaya,” kata sang
teman.
Saya terkejut, “berarti selama ini, sebelum anda
berjumpa dan mendengarkan langsung dari beliau, tak percaya dengan apa yang
saya sampaikan?”
“Masalahnya bukan soal percaya atau tidak, kisah
yang pernah kamu sampaikan, seakan kisah di cerpen saja. Anda salah seorang
penulis cerpen, jadi saya sedikit ragu,”
“Ragu soal materinya atau apa?”
“Materi yang disampaikan dan kisahnya secara
detail, tapi ketika saya konfirmasikan ulang, ternyata tak ada perbedaan,”
katanya.
Saya tersenyum. Kawan saya tersebut tetap
bergumam dan mengagumi lelaki tua yang saya panggil ayah tersebut.
Ayah yang saya maksud, tak ada hubungan apa pun
dengan saya. Saya mengenalnya, mungkin, secara kebetulan. Suatu ketika, tiga
tahun lalu, ketika mengemudikan kendaraan dari Padang ke Bukittinggi, saya
mampir di sebuah kedai kecil, persisnya di perbatasan Tanahdatar -
Padangpanjang. Kedainya bersih, toiletnya juga. Ada mushalla kecil. Bersih dan
sangat terawat.
Belum habis kopi yang saya pesan, empat orang anak
muda tampak gelisah. Setelah menghitung uang, satu sama lain masih saling
merogoh kantong.
"Pak, maaf. Uang kami tak cukup. Jika
diizinkan, kami titipkan ktp dan hp di sini dulu. Besok lusa kami mampir lagi
ke sini. Hanya ini sisa uang kami, pak," kata salah seorang dari mereka
lalu menyerahkan uang yang terkumpul, sebuah ktp dan hp, kepada pemilik kedai.
"Ananda dari mana dan hendak kemana?" tanya lelaki pemilik kedai. Usianya saya perkirakan mendekati 70an tahun.
Kemudian dijelaskan, mereka dari Padang.
Sehari-hari kuliah di Padang. Tujuan mereka hendak pulang kampung lantaran ada
libur kuliah beberapa hari. Pemilik kedai itu kemudian mengambil beberapa
lembar uang saja. Tidak semuanya.
"Ayah ambil ini saja. Sudah cukup. Kalian
bawa sajalah. Siapa tahu sisa uang itu ada gunanya sepanjang perjalanan kalian.
Begitu pun ktp dan hp ini, pasti sangat kalian membutuhkan," katanya
sembari ia menyebut panggilan ayah kepada dirinya.
Keempat anak muda itu bingung. Mereka terkejut,
"bawa sajalah. Jika kalian sempat ke sini lagi, mampirlah. Jika tidak,
ayah sudah mengikhlaskannya. Semoga kelak kalian menjadi orang-orang yang
berguna bagi bangsa dan agama," katanya sambil menepuk-empuk bahu
anak-anak tersebut.
"Tapi...."
Belum sempat mereka melanjutkan, pemilik kedai
itu memotong kalimat anak muda tersebut, "tak usah kalian pikirkan, kalian
kan sudah bayar. Ini uang kalian sudah di tangan ayah kan?" jawabnya balik
bertanya sembari memperlihatkan lembaran uang kertas di tangannya, uang dari
anak muda tersebut. Ia hanya mengambil beberapa lembar saja, lalu sisanya
diserahkan kembali kepada anak-anak muda tersebut.
Setelah itu pemilik kedai tersebut mengizinkan
mereka pergi dan beliau mengantarkan mereka sampai parkiran di depan kedai. Anak-anak
itu kemudian bersalaman sembari mencium tangan lelaki tua tersebut.
Tiga tahun berselang, saya mampir lagi di
kedai tersebut. Kedainya masih seperti dulu. Masih bersih. Toiletnya juga
bersih. Mushalla makin indah. Di sekitar kedai itu, ternyata sudah berdiri
kedai-kedai lain sejenis, namun kedai ayah lebih ramai daripada saat saya
mampir dulu. Juga lebih ramai dibandingkan kedai-kedai yang lain.
Kisah itu saya sampaikan kepada beberapa teman.
Di saat kehidupan yang sulit saat ini, masih saja ada orang yang
mau menolong tanpa pamrih. Hebatnya, langkah itu dilakukan seorang yang
sudah lanjut usia, padahal kedainya hanya kedai kopi kecil di pinggir jalan.
“Kalau ada yang belanja, tapi uangnya tidak
cukup, bagaimana, Yah?” tanya kawan saya, ketika kami dalam perjalanan.
Pertanyaan kawan itu, seakan ia mengkonfirmasikan
perihal yang pernah saya sampaikan kepadanya, ketika saya menyaksikan dan
mendengar langsung dialog ayah dengan empat anak muda yang kekurangan uang saat
perjalanan dari Padang – Bukittinggi, tiga tahun silam.
“Ayah ikhlaskan saja, sebab pintu rezeki dari
Allah sangat banyak. Jika kita berbuat baik dan ikhlas, niscaya akan banyak
pintu rezeki yang terbuka,” katanya.
Kehadiran ayah di mobil yang membawa saya dan
teman kantor itu, lantaran sebelumnya kami sempat mampir di kedai itu sejenak
untuk mengopi. Ketika akan melanjutkan perjalanan, saya melihat ayah seperti
menunggu sesuatu.
Saya menanyai, sedang menunggu siapa? Ayah menjelaskan, ia sedang menunggu
kendaraan yang akan ke Padangpanjang. Lantaran kami akan melalui arah yang
dimaksudnya, saya mengajak ayah untuk ikut. Jadilah –ketika itu--- kami satu
kendaraan. *CATATAN
Naskah ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 10 Mei 2015
No comments:
Post a Comment