Oleh: Firdaus Abie
Saat bertemu Mas Aqua
(begitu sapaan akrab saya pada Aqua Dwipayana), motivator dan pakar komunikasi
Indonesia, sepekan silam di Padang, beliau sempat berpesan, teruslah berbagi.
Jangan pernah berhenti. Bangun terus silaturahmi dengan siapa saja.
Kesempatan berbagi
tersebut, ternyata menjelang pertengahan September, justru lumayan padat dari
biasanya. Ada empat sesi pada tiga hari yang saling berdekatan. Alhamdulillah,
saya dapat menyelesaikannya dengan baik.
Memberikan cenderamata berupa buku kepada Ketua PWI Kab Kampar – Riau, Akhir Yani dan Ketua DPRD Kab Agam Novi Irwan, S.Pd., M.M
|
Sesi pertama,
berlangsung Sabtu, 11 September 2021. Permintaan pada saya, disampaikan Direktur
Padang Ekspres, M. Nazir Fahmi, dua hari sebelumnya. Ia meminta saya agar bisa
berbagi dengan kawan-kawan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kab Kampar,
Prov Riau.
Memberikan cenderamata berupa buku kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Sumatera Barat Wardarusmen. |
Setelah saya menyatakan bersedia, sebuah panggilan masuk ke selular saya. Tak ada nomor kontaknya, berarti nomor baru. Belum saya kenal. Saya tetap menerima panggilan masuk tersebut.
Ia memperkenalkan diri.
Namanya Gustika. Ia menyebutkan, memperoleh
nomor kontak saya dari Nazir Fahmi. Gustika, yang sehari-hari dipanggil Agus
mengabarkan, materi yang hendak saya sampaikan bertema, Menuju Jurnalis yang
Profesional dan Bermartabat.
“Mohon kesediaan abang
untuk memberikan motivasi kepada kami, terkait bagaimana menuju jurnalis yang
profesional dan bermartabat,” katanya sembari menyebutkan, dipilihnya saya
sebagai narasumber atas rekomendasi M. Nazir Fahmi, salah seorang wartawan
senior asal Agam, Sumatera Barat, yang lama berkecimpung sebagai jurnalis di
Negeri Lancang Kuning.
Sesi berbagi dan
diskusi yang semula dijadwalkan berlangsung 90 menit, ternyata berlanjut lebih
kurang dua jam. Kumandang azan Zuhur menghentikan diskusi panjang kami. Diawal acara,
saya menyerahkan buku karya sendiri, “Logika Bahasa Berita” (Kritik Atas Penggunaan Bahasa dalam Kegiatan
Jurnalistik), diterbitkan MZK – Jakarta. Buku tersebut editornya Dr Abdullah
Khusairi M.A (dosen UIN Imam Bonjol – Padang). Pengantar diberikan Dr Aqua
Dwipayana (Motivator dan Pakar Komunikasi), Dr Yuliandre Darwis (Ketua Komisi
Penyiaran [KPI] Pusat.
Di antara kutipan
pengantar yang diberikan Mas Aqua pada buku tersebut, pengalaman adalah guru
terbaik. Ilmu dan pengalaman jurnalistik saya (Firdaus Abie) yang dituangkan
dalam buku ini dapat memperkaya pengetahuan jurnalistik guna menciptakan
wartawan-wartawan profesional. Wartawan yang bekerja tanpa itikad buruk,
mengedepankan fakta, akurat, mematuhi asas berimbang, menunjunjung tinggi etika
dan tidak menghakimi. Wartawan yang tulisannya mengedukasi, menghibur,
menginspirasi dan mengusung misi kebaikan dan perbaikan bagi masyararakat.
Akurasi menjadi hukum
besi yang wajib ditegakkan dan dijunjung tinggi oleh para wartawan. Ini bukan
semata menyangkut keakuratan substansi data, informasi dan penyajian atau
penulisannya. Akurasi bahasa juga tidak kalah pentingnya. Di sinilah pentingnya
wartawan menguasai pengetahuan mengenai pilihan kata atau diksi. Pilihan kata
yang tidak tepat dapat menimbulkan persepsi, aksi dan reaksi yang keliru. Dalam
persoalan tertentu yang sangat sensitif, seperti suku, agama, rasa dan antargolongan
(SARA), ketidakakuratan berbahasa bisa menimbulkan kekacauan sosial. Kekeliruan
semacam itu banyak diakibatkan oleh kekacauan logika bahasa yang dipergunakan
para jurnalis.
Buku ini, lanjut Aqua
Dwipayana dalam pengantarnya, selain berbagi ilmu dan pengalaman, tetapi saya
(Firdaus Abie) juga menyampaikan krik dari dalam terhadap kondisi SDM wartawan.
Bukan untuk menelanjangi, tetapi justru memberikan koreksi konstruktif.
Buku tersebut saya
serahkan secara simbolis kepada Ketua PWI Kab Kampar – Riau, Akhir Yani dan
Ketua DPRD Kab Agam Novi Irwan,
S.Pd., M.M, yang pernah menjadi anggota DPRD Kab Kampar – Riau, selama dua
periode.
Tiga sesi lainnya atas
permintaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat. Salah satu
di antaranya, Dinas Perpustakaan dan
Kearsipan Provinsi Sumatera Barat meneruskan permintaan dan undangan
Perpustakaan Nasional (Perpusnas)
Dua sesi berlangsung
dihari yang sama, Selasa 14 September 2021. Bertepatan dengan momentum
peringatan Hari Kunjung Perpustakaan. Peringatan Hari Kunjung
Perpustakaan berawal dari Ketetapan Presiden Soeharto kepada Kepala
Perpustakaan Nasional RI dengan surat nomor 020/A1/VIII/1995 pada tanggal 11
Agustus 1995. Berisi usulan pencanangan Hari Kunjung Perpustakaan, tanggal 14 September 1995.
Pada kesempatan tersebut, saya diminta untuk memberikan motivasi
terkait Kreativitas dan Motivasi dalam Pengembangan Perpustakaan, Minat Baca dan Menulis, serta Tetap Produktif Disaat
Pandemi. Sesi ini dihadiri Kepala Perpustakaan dan Kearsipan dari Kota dan
Kabupaten se-Sumbar, pengelola taman
bacaan, rumah baca, kepala sekolah, pustakawan, duta baca dan undangan lainnya.
Saya membeberkan sejumlah masalah dan tantangan
yang membaluti Perpustakaan, serta
menawarkan sejumlah langkah produktif untuk persoalan yang dihadapi.
“Kita harus berani
keluar dari kebiasaan yang selama ini terjadi,” saya mengajak.
Di antara opsi yang
saya tawarkan, salah satunya, jika ada pelajar yang bermasalah (misalnya
terlambat, tidak mengerjakan tugas), maka hukumannya “paksa” mereka “setor
bacaan” atau “setor isi buku” seperti halnya tahfiz “setor ayat”.
Disesi ini, saya
menyerahkan buku tiga judul sekaligus. Selain buku “Logika Bahasa Berita” (Kritik Atas Penggunaan Bahasa dalam Kegiatan
Jurnalistik), ada novel berbahasa Minang berjudul “Indak Talok Den Kanai Ati”,
keduanya karya saya. Setelah itu, Kumpulan Cerpen “Tasbih Untuk Papa” karya
Zhilan Zhalila, siswa binaan Bengkel Literasi Rakyat Sumbar, yang kini mahasiswi
Sastra Indonesia, FIB Unand – Padang.
Sesi kedua hari itu, motivasi
diberikan secara spesifik diberikan kepada pengelola taman bacaan dan
pustakawan. Peserta diberi bekal dan kiat praktis menulis, setelah itu
dibimbing hingga praktek menulis. Saya juga menyerahkan buku berjudul “30
Dongeng Pengantar Tidur Terbaik” karya Lala Khansa, mahasiswi Sastra Inggris,
FIB Unand – Padang.
“Senang dan
bahagia. Awalnya, saya sulit dan ragu
untuk menulis, namun setelah mengikuti petunjuk dan panduan praktis yang
diberikan, alhamdulillah, ternyata bisa. Motivasi yang diberikan narasumber dapat
membangun jiwa dan semangat menulis para peserta,” kata Doris Fitria, salah
seorang peserta yang juga Pustakawan Berprestasi Terbaik tingkat Sumbar.
Sehari berselang, tepatnya Rabu 15 September 2021, saya berbagi dengan pengelola perpustakaan kabupaten dan nagari di Sumatera Barat, melalui program Peer Learning Meeting (PLM) Provinsi Tahun 2021, Batch 2 - 4, dengan tema “Sharing Inovasi untuk Pengembangan Diri & Perpustakaan”, melalui Daring.
Peer Learning Meeting
(PLM) yang ditaja Perpustakaan Nasional tersebut merupakan kegiatan
berkesinambungan terkait Transformasi
Pelayanan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. Kegiatan ini merupakan bagian dari program prioritas
nasional untuk memperkuat peran
perpustakaan umum dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
yang Unggul melalui peningkatan kemampuan literasi untuk mewujudkan Indonesia
Maju.
Diskusi dipandu Warih Seto Murti, Pustakawan dari
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, mengalir sejumlah respon, pertanyaan dan
diskusi menarik. Di antaranya, salah seorang peserta menyebutkan, pihaknya
merasakan kekurangan buku, sesuai kebutuhan di daerahnya, namun buku-buku yang
mereka miliki tidak memadai.
“Masyarakat di nagari
kami butuh buku pertanian, ketersediaan buku kami sangat terbatas. Bagaimana
kami bisa memenuhi kebutuhan tersebut?” tanya Zul Arifin, Walinagari Bancah
Laweh.
Terhadap hal tersebut, saya memberikan saran. Sebelum mampu memenuhi kebutuhan secara
permanen, atau milik sendiri, opsi yang memungkinkan bisa dilakukan adalah
berkolaborasi dengan perpustakaan atau taman bacaan lain.
“Kita mungkin bisa
saling tukar buku antar perpustakaan atau taman baca dulu,” katanya memberikan
saran sederhana, yang kemudian disikapi peserta lain sebagai ide yang realistis
untuk dilakukan.
Persoalan lain yang
mengemuka, ada perpustakaan nagari dan komunitas yang memiliki bengkel dan
sanggar menulis, namun berlahan pesertanya terus menurun, sehingga belakangan
hilang satu persatu.
“Kami ingin membuka
kelas menulis lagi, apa yang bisa kami dapatkan untuk memancing minat baru bagi
mereka?” tanya Eka, peserta asal Pesisir Selatan.
“Lanjutkan yang sudah
dilakukan, kemudian kombinasikan dengan inovasi baru. Misalnya, antarkan agar
tulisan mereka bisa menembus media massa, tuntun mereka menghasilkan karya
bersama, lalu dibuatkan buku dari hasil-hasil karya mereka tersebut,” saya
menyarankan.
Pertemuan yang
berlangsung selama dua jam lebih tersebut, memberikan hal-hal baru bagi peserta
karena komunikasi langsung peserta dengan narasumber mau pun peserta dengan
peserta lain, sehingga satu sama lain berbagi pengalaman terhadap aktivitas
mereka di lapangan. *
No comments:
Post a Comment