Oleh: Etiana Julianti - Ketapang, Kalimantan Barat
Saya Etiana Yulianti. Pernah bekerja dibanyak tempat. Tapi entah mengapa, sejak bekerja
di Wardah (PT Paragon Technologi and Innovation), saya benar-benar menikmatinya. Alhamdulillah, rezeki selama di Wardah sangat membantu keluarga saya.
Proses waktu berjalan tanpa saya
sadari. Tak terasa, tujuh tahun berjalan. Saya
menyadarinya ketika dapat kabar, saya akan diberangkatkan umrah oleh
perusahaan. Di PT Paragon
Technologi and Innovation, karyawan yang sudah bekerja selama tujuh tahun diberangkat umrah gratis. Masya
Allah. Sungguh nikmat luar biasa yang tak pernah terbersit bagi saya.
Impian
untuk bisa beribadah
ke Tanah Suci memang ada dalam keinginan
saya, tapi sama sekali tak
pernah saya bayangkan bisa ke sana. Jangan ke untuk biaya ke Tanah Suci, penghasilan saya selama bekerja
tak pernah ditabung
karena untuk kebutuhan saya bersama keluarga dan orang
tua. Apalagi ayah saya sudah tiga kali keluar masuk rumah sakit. Ketika itu, belum ada BPJS. Biaya rumah sakit harus dibayar
tunai.
Sebelum sakit, ayah saya seorang penjual ikan. Selama beliau sakit, tidak bisa jualan sama sekali. Saya masih bersyukur karena sudah bekerja, sehingga gaji saya bisa untuk berobat ayah. Tak masalah. Harapan saya, semoga ayah lekas sembuh.
Ketika diberitahu bahwa saya akan
berangkat umrah, tahun 2019, tak terbayangkan
sama sekali. Tentu saya dan keluarga sangat senang mendengarnya. Namun ada kekuatiran dalam diri saya. Ketika itu, saya sedang hamil. Saya kuatkan
tekad, saya harus tetap bisa berangkat.
Saya berpikir, tentu akan lebih bagus
jika saya berangkat umrah bersama janin anak
yang saya kandung. Semua kebutuhan administrasi saya urus. Saya urus
pembuatan paspor. Saya urus
pelaksanaan suntik maningitis.
Rencana dan keinginan pada kita, tapi
keputusan tetap dari sang pemilik alam, Allah. Saya belum diizinkanNya melalui proses panjang
dan sangat sulit. Saya mengalami kesulitan mengurus paspor, tidak mendapatkan surat keterangan dokter, rumitnya proses suntik maningitis. Saya
semakin berontak ketika dua orang teman sekantor
saya di Ketapang sudah siap untuk berangkat, sementara urusan saya belum selesai.
Ketika
rasa kesal, marah dan kecewa dalam diri saya memuncak,
tiba-tiba seseorang yang tidak
saya kenal justru bisa menenangkan saya.
“Jika memang rezeki kita, ia tidak akan
ke mana. Jika bukan rezeki kita, nasi yang mau
kita suap juga bisa tumpah dari tangan sendiri. Itulah namanya takdir Allah.
Jika kita ikhlas, rencana Allah pasti akan lebih indah,” katanya menyadarkan saya.
Sejak
itu saya mulai tenang, lalu berlahan menata hati, menata diri. Saya disadarkannya. Saya mulai merasa tenang. Mendekati hari
keberangkatan kedua teman saya
tersebut, saya justru merasakan kondisi saya semakin lemah. Bawaan saya mau tidur saja.
“Sekiranya dipaksakan berangkat juga,
percuma saja jauh-jauh jika hanya untuk tidur,”
kata suami yang semakin menguatkan saya untuk mengikhlaskan semua yang terjadi.
Beberapa hari kemudian, saya bertemu
Mbak Fiman dan Mbak Gesha, keduanya pimpinan
yang mengurus B.A di Ketapang. Beliau mengatakan, kalau saya tak bisa pergi.
Saya akhirnya benar-benar bisa melupakannya.
Proses
persalinan kemudian saya jalani. Saat selesai melahirkan, jatuh tempo kontrak saya pun berakhir. Saya pun kemudian
mengira, tidak akan diperpanjang. Tapi takdir Allah berkata lain. Saya masih
diberi kesempatan bekerja
di Wardah. Alhamdulillah.
Setahun kemudian, tepatnya Januari
2020, saya diberangkatkan umrah oleh perusahaan. Rencana keberangkatan tersebut,
kembali sangat mengejutkan saya. Pasalnya sebulan
sebelum berangkat, saya merasakan kondisi
berat dan malas saja untuk
mendirikan salat dan ibadah lainnya.
Tiga
hari sebelum berangkat, saya mencurahkan semua rasa yang ada pada tetangga
yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Saya ceritakan tentang kemalasan saya, termasuk
sudah sering melalaikan perintahNYA.
“Ini adalah bagian dari ujian yang
diberikan Allah, kak. Alhamdulillah, ujian itu
diberikan ketika kakak masih di Indonesia. Apa jadinya jika sudah berangkat
ke Tanah Suci, lalu masih juga malas
beribadah di sana. Perbanyak memohon ampunan kepada Allah, Kak,” katanya.
Hari berikutnya, saya bertemu teman satu tim yang umurnya lebih tua dari saya. Ia berpesan agar saya selalu memperbanyak
istigfar, memohon maaf kepada orang tua, suami, anak saudara dan karib kerabat. Semua pesan itu saya laksanakan.
Sebelum meninggalkan kampung halaman di
Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, persoalan
lain pun muncul. Saya merasa sangat galau karena tidak ada persiapan sama sekali. Saya tidak memiliki tabungan sama
sekali, sementara baju muslimah yang saya miliki sangat terbatas. Belum lagi tas dan koper
untuk barang-barang.
Disaat kebingungan, Saya hubungi teman
yang pernah pernah umrah sebelumnya. Ia
mengabarkan, semua persiapan dan perbekalan kita sudah disiapkan oleh Paragon. Termasuk
perlengkapan ibadah dan dua kopernya.
Ketika ia berangkat
umrah, perbekalan itu sudah
diterimanya jauh-jauh hari karena semua barang-barang tersebut dikirimkan ke BA sebulan sebelumnya. Saya
makin bingung, kok hari semakin dekat, barang-barang tersebut tak sampai kepada saya?
Akhirnya saya memberanikan diri bertanya kepada Mbak Izaz. Saya jelaskan
kepada beliau, bahwa di grup semua calon jamaah umrah dari Paragon
untuk mengemasi kebutuhan
dan mempersiapkan perbekalan. Termasuk dua koper yang belum sampai
pada saya.
Katanya, sudah dikirim. Akhirnya
saya cek ke gudang toko. Beberapa jam kemudian,
saya menemukan koper tersebut yang isinya tidak utuh lagi. Saya memang mendapatkan dua koper, buku panduan,
sajadah dan tas kecil. Tapi tak ada mukena, padahal saya sangat
berharap mendapatkan mukena.
Uang
sudah tidak ada lagi, haruskah
saya membeli mukena?
Akhirnya saya membeli
mukena polos yang harganya lebih murah. Saya persiapkan perbekalan seadanya. Dalam pikiran saya, bagaimana dengan suami dan anak
saya nanti? Satu- satunya bayangan, saya akan mencari pinjaman.
Saat itu juga, saya berdoa kepada
Allah, “hamba benar-benar ingin beribadah di
Tanah Suci. Tak ada keinginan lain. Ya, Allah, hamba bermohon ya Allah.
Bantulah hamba, ya Allah. Mudahkanlah urusan hamba,”
Berulang kali doa sederhana
itu saya ucapkan.
Selang beberapa saat di antaranya,
Allah mengirimkan pertolongannya dengan cara
yang tak terduga. Sore hari, seorang tetangga datang bersilaturrahmi ke
rumah. Ia memberikan uang untuk saya. Tak lama di antaranya, bapak mertua juga memberi saya uang.
Alhamdulillah, saya tak perlu lagi mencari
pinjaman untuk bekal dan
pegangan selama diperjalanan.
Dua
hari sebelum berangkat ke Jakarta, datang orang kantor
ke Ketapang. Semua B.A dipanggil satu persatu
ke Hotel Aston. Ketika saya menghadap, kepada saya disampaikan bahwa kontrak kerja saya diputus.
Saya bingung. Saya merasa tidak pernah melakukan
kesalahan apa pun. Nilai saya bagus. Kerja bagus. Absen tak masalah.
Saya juga merasa
tak pernah ada masalah dengan
orang-orang kantor.
Tapi, pernyataan mereka sungguh
mengejutkan. Mereka mengatakan kepada saya, setinggi
apa pun penjualan Kak Ety, tak akan berpengaruh terhadap perusahaan. Oh, saya benar-benar tersentak.
Bukan bermaksud menghitung-hitung yang
telah berlalu, saya memulai Wardah di Ketapang
dari nol, sejak Wardah belum ada apa-apanya di mata masyarakat. Saya berjuang
untuk bisa memperkenalkan dan menjual produk ini. Tahu-tahu
ini yang disampaikan kepada saya; setinggi apa
pun penjualan saya, tak ada artinya di depan perusahaan.
Saya pulang dengan perasaan hancur.
Saya tidak meminta penghargaan apa pun dalam
menjalankan usaha selama ini. Saya bekerja sepenuh hati, menjual Wardah, kemudian
saya menerima gaji untuk kehidupan
keluarga saya. Itu saja sudah membahagiakan saya. Mengapa kontrak
saya diputus tanya dijelaskan apa masalah saya.
Oh, terlalu kejam!
Dalam kondisi hati dan perasaan hancur,
saya tetap berangkat umrah. Saya sangat kesal
kepada pimpinan di kantor, mengapa kabar buruk ini disampaikan saat saya akan berangkat. Mengapa tidak
setelah saya kembali dari Tanah Suci?
Kendati begitu, saya tetap berangkat umrah.
Berangkat dalam kondisi
perasaan yang hancur,
namun saya tetap berniat dalam hati dan bersungguh-sungguh untuk menunaikan ibadah
sebaik-baiknya, namun tetap ada rasa beratnya pikiran saya karena akan hilang pekerjaan sekembali dari Tanah
Suci. Begitu luar biasa nikmat ujian yang diberikan Allah kepada saya.
Keesokan harinya, saya berangkat
meninggalkan Ketapang menuju Jakarta setelah
transit di Pontianak.
Sesampai di Pontianak, saya dijemput
Mbak Iszaz. Beliau mengurus saya seperti seseorang
yang bersalah terhadap saya. Malamnya, saya kirim pesan singkat, mengajak bertemu untuk menyampaikan mengapa kontrak
saya diputus, sementara nilai ujian belum
keluar. Ia mengatakan, tidak bisa karena sibuk. Saya sampaikan, kapan pun selesai
kerja, saya tunggu. Saya tunggu
hingga Subuh, tak ada
kabar darinya.
Benar mereka datang selepas Subuh,
namun untuk menjemput dan mengantarkan saya
ke Bandara di Pontianak. Kami satu mobil, tapi
ia tak mau bicara. Hingga detik ini, tak pernah ada penjelasan apa pun dari mereka.
Sesampai di Jakarta, hati saya mulai
goyah karena baru sadar bahwa saya belum mendaftarkan paket
telepon dari Tanah
Suci ke Indonesia, sementara yang lain sudah.
Semalam menginap di Jakarta, lalu
bertemu dan bersilaturrahmi dengan rombongan
Kloter 14 Jamaah Paragon. Saya sangat
berharap, bu Nurhayati, sang owner yang sangat baik hati, punya waktu mengunjungi kami. Jika beliau datang, saya akan sampaikan keluh kesah yang ada di hati.
Tapi sampai kami bergerak menuju Bandara Soeta,
tak ada bu Nur ---sapaan akrab beliau--- melepas kami. Jadwal beliau sangat padat di
pabrik.
“Saya Seperti
Terlahir Kembali...”
Ketika hendak berangkat dari Jakarta ke Madinah, saya hendak mendaftarkan di gerai selular yang ada di Bandara Soeta. Disaat hendak menarik uang bonus dari toko yang keluar hari itu, saya dipanggil Mbak Indah, salah seorang yang mengurus perjalanan dari PT Paragon Technologi and Innovation.
Ia mengingatkan, jangan terpisah dari
rombongan, nanti tertinggal. Saya terkejut, lagi setengah
berlari mengejar rombongan
umrah Kloter 14 dari PT Paragon Technologi and Innovation yang terus
berjalan menuju bording ke Madinah.
Ketika diumumkan bahwa pesawat sudah
mendarat di Bandar Udara Internasional Pangeran
Muhammad bin Abdulaziz atau Bandara Madinah, hati saya bergetar. Air mata berlinang. Ucapan syukur tak
henti-hentinya saya ucapkan. Tak ternilai rasa yang saya rasakan saat itu. Saya yang orang miskin, banyak dosa,
sering melalaikan salat, tidak
memiliki tabungan apa pun, hanya membawa sedikit uang untuk bekal di jalan, ternyata
sudah diperjalankan Allah melalui
Wardah hingga ke Madinah.
Bergetar seluruh persendian saya ketika
pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Saya merasakan nikmat Allah yang sangat luar biasa. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Saya dan rombongan sampai di Madinah
Kamis, 16 Januari 2020, dinihari. Salat Subuh
langsung ke Masjid Nabawi di Madinah. Bergetar tubuh ini ketika bersujud di masjid yang dibangun
Baginda Rasulullah bersama
sahabatnya. Saya tak pernah membayangkan bisa berada di tempat suci ini. Selepas
Subuh, saya masih
di Masjid Nabawi hingga
selesai Duha. Ketika hendak kembali ke hotel, ada gerai selular tak jauh dari masjid. Saya mampir membeli paket
agar bisa menelpon ke keluarga di Ketapang. Alhamdulillah,
saya mendapatkan harga murah dibandingkan jika membeli paket di Indonesia.
Keesokan harinya, selepas Salat Duha, saya dan rombongan
berkesempatan beribadah di Raudah, taman surga antara
mimbar dan rumah Nabi Besar Muhammad
S.A.W. Saya tak mampu membendung air
mata. Doa panjang dan beragam pinta saya sampaikan di sana. Saya curhat kepada Allah sambil menangis.
Sabtunya, selepas Zuhur, saya bersama rombongan
Kloter 14, meninggalkan Madinah dengan perasaan sedih. Tiga hari di Madinah, terasa
sangat singkat sekali. Malahan ketika
bus yang membawa kami bergerak meninggalkan Madinah, beberapa di antara kami bertanya kepada Ustad Azzam
dan Ustad Hakim yang membimbing dan mendampingi kami.
“Mengapa hanya tiga hari saja kita di sini, Pak Ustad?”
tanya beberapa di antaranya.
Kedua
ustad tersebut hanya
menjawab dengan senyuman.
Sekitar setengah jam perjalanan dari
Madinah menuju arah ke Makkah, rombongan jamaah
Kloter 14 sampai di Dzul Hulaifah atau Bir Ali. Di
sini proses umrah dimulai. Setiap
yang melakukan umrah dari Madinah, maka harus melaksanakan Miqat di Bir Ali. Jaraknya sekitar 450 kilometer dari Makkah.
Jika
telah miqat dan ihram, jamaah masuk menuju masjid setelah
berwudu. Laksanakan salat sunah sebelum menuju Makkah. Semua
larangan harus dipatuhi agar umrah
sah. Di antara ketentuannya, laki-laki tidak boleh menggunakan pakaian
berjahit, seperti celana dalam. Tidak boleh berkata
yang tidak baik, tidak boleh melakukan hubungan
suami istri.
Sampai di Makkah, saya dan rombongan
langsung ke hotel di Tower Zamzam. Selama
ini saya hanya melihat gambar atau video Tower Zamzam yang menjulang tinggi.
Ketinggiannya 601 meter dengan 76 lantai dan memiliki 858 kamar.
Setelah makan meletakkan barang-barang di hotel, saya bersama rombongan
menuju Masjidil Haram. Sesampai di dalam masjid, kami langsung
dianjurkan Salat Tahiyatul Masjid,
kemudian melaksanakan Salat Magrib dan Salat Isya dijadwal Salat Isya.
Setelah selesai salat, kami melangkah
lebih ke dalam. Masya Allah. Allahu Akbar. Seketika
air mataku jatuh berderai. Tak tertahan. Saya terpana. Saya berdiri di depan Ka‟bah. Selama ini hanya terlihat dari
video dan gambar-gambar saja. Allah Maha Besar sudah memberikan kesempatan pada saya.
Sebelum meninggalkan Tanah Suci, kami kembali melaksanaan umrah. Rombongan
melalukan miqat di Ji‟rannah. Tawaf Wada‟ dilakukan tengah malam, sekitar pukul dua dinihari. Setelah itu
dilanjutkan ibadah sunah lainnya hingga Subuh
dan Duha. Menjelang lepas siang, Kloter 14 Jamaah Paragon bergerak dari
Makkah menuju Jeddah. Terbang dari
Bandara King Abdul Aziz selepas Isya menuju Bandara Soeta di Jakarta.
Saya benar-benar menikmati ibadah selama
di Tanah Suci.
*
Sekembali dari
Tanah Suci, saya mendapatkan kenyataan bahwa pekerjaan saya tak berlanjut. Masa kerja saya di Wardah,
tak diperpanjang, sesuai dengan kabar yang saya dapatkan sesaat sebelum saya berangkat. Saya tak tahu apa
alasannya. Sama sekali tak diberitahu oleh pimpinan saya.
Terus terang,
saya sakit hati sekali, terutama sekali pada orang yang memutus rezeki saya di Wardah. Padahal
selama ini, saya selalu memenuhi
target yang dibebankan.
Malahan jika sebelumnya roteting dua toko, tapi berhasil saya jadikan satu toko. Dalam kurun waktu satu bulan, saya berhasil membukukan omset Rp 20 juta pada satu
toko tersebut.
Saya
mengingat waktu-waktu yang telah berlalu.
Setiap tahun, selalu berganti pimpinan di kantor cabang Pontianak.
Beberapa di antaranya tetap mempertahankan karyawan
lama yang kinerjanya bagus, seperti yang pernah dipesankan Buk Nurhayati, sang pemilik perusahaan. Kata beliau, umur tak jadi masalah jika penampilan dan penjualan masih oke. Tapi situasi berubah
ketika ada pimpinan baru. Sangat
banyak aturan yang dikeluarkannya,
sehingga kami mulai terusik.
Pergantian pimpinan di Pontianak
semakin membuat suasana kerja semakin tidak enak lagi. Tekanan demi tekanan terus dilakukan kepada kami. Peraturan semakin
sangat ketat. Suatu ketika, kami dites ulang. Sales pun dipaksa dengan
orderan yang semakin berlipat ganda.
Orderan tersebut terkadang tidak masuk akal lagi. Disaat stok kami masih ada, kami terus paksa untuk
order barang. Jika kami order, tentu stok semakin
menumpuk.
Pernah suatu ketika, disaat kepala toko
tak ditempat, masih dipaksakan untuk
order barang. Tentu saja tak
mungkin dilakukan, tapi kami justru diancam diadukan kepada Kepala
Sales.
Sekembali dari Tanah Suci, awalnya
memang ada perasaan sakit hati yang teramat besar.
Saya sulit untuk move on. Suami dan keluarga saya terus memotivasi. Kata mereka, jalani saja hidup ini. Semua
skenario kehidupan sudah diatur Allah. Rezeki
akan datang dari pintu-pintu tak terduga.
Tak lama setelah pulang umrah, wabah
Covid-19 datang menyerang. Banyak sektor terimbas
wabah ini. Termasuk berbagai produk, salah satunya penjualan Wardah juga anjlok
di Ketapang.
Disaat situasi ekonomi tak menentu itu,
Allah berkehendak lain. Saya dijodohkan pada sebuah
produk kosmetik lain, Inez
Cosmetics. Allah menunjukkan kekuasaannya.
Di balik semua peristiwa yang menimpa,
saya mengambil hikmahnya. Rahasia
Allah selalu indah akhirnya, jika kita menjalaninya dengan penuh
ketabahan dan selalu berserah dir kepadaNYA.
Kendati sesungguhnya cobaan tersebut
sangat berat, namun Allah memberikan kekuatan tak terhingga, buktinya saya diberi kekuatan untuk melalui dan menjalankannya.
Sejak kembali dari umrah, saya merasa diri ini jauh lebih baik. Saya seakan terlahir kembali. Kekuatan dan
kekuasaan Allah benar-benar nyata saya rasakan
dalam diri pribadi dan
keluarga.
Pelajaran berharga lainnya yang saya petik, kita tidak bisa meminta
keadilan kepada sesama
manusia, tidak akan pernah bisa meminta
pertolongan kepada manusia. Hanya
kepadaNYA semua itu bisa kita lakukan. Curhatlah selalu kepada Allah, pasti didengar
dan diberkahinya.
Pada kesempatan ini, saya juga
mendoakan semoga Bu Nurhayati, dan Pak Salman
Subangkat selalu diberikan
kesehatan terbaik serta terhindar dari laporan “ABS” bawahan.
No comments:
Post a Comment