30 November 2015

Pesta Demokrasi, Pesta Basa-basi?



Oleh: Firdaus*



Seorang kawan tersenyum sumbing.  Ada perasaan yang disimpannya. Katanya, ada dua persoalan mendasar yang membuatnya tersenyum sumbang itu.
Pertama, “mana para anggota dewan yang katanya terpanggil hendak membangun kampung halamannya dulu?” tanyanya. Saya agak bingung.
Ia pun kemudian membeberkan, sejak ada keputusan bahwa jika anggota dewan maju ke bursa Pilkada, maka ia harus mundur dari jabatannya. Keputusan itu membawa imbas besar, ternyata  anggota dewan yang  yang semula digadang-gadangkan akan bertarung, ternyata harus berpikir ulang, kemudian membatalkan rencana keikutaan mereka.
 “Kalau memang terpanggil, ya, berjuanglah! Kenapa justru takut melepaskan  jabatan yang ada sekarang?” tanyanya. Itu pula yang kemudian membuat kawan saya tersebut tersenyum sumbing, menyindir para wakil rakyat tersebut.
Kondisi ini bertolak belakang jika dibandingkan dengan suasana Pilkada dua atau tiga periode sebelumnya. Ketika itu, tak ada aturan yang mengatur para wakil rakyat tersebut, sehingga mereka tetap ikut “tebak-tebak buah manggis” tersebut. Jika menang, akan dapat “hadiah”, namun jika gagal, ia tetap bisa melanggang untuk duduk di kursi empuk.
Buntut dari ketidakikutsertaan mereka, suasana Pilkada terasa lebih dingin dibandingkan masa-masa sebelumnya. Cobalah lihat dan rasakan suasana di lingkungan kita. Bursa calon kepala daerah tidak semeriah periode sebelumnya.
Kedua, “hasil Pilkada kali ini bisa menghadirkan dua persoalan, satu; terbeli kucing dalam karung, dua; partisipasi pemilih yang mengkuatirkan,” katanya.
Kening saya berkerut. Sejak kapan ia menjadi pengamat politik Pilkada? Pikir saya dalam hati. Kemudian pikiran itu saya tumpahkan padanya. Ia tersenyum..
Katanya, dua persoalan dibahasan keduanya ini bagian dari buntut peraturan terbaru yang diundangkan. Ia pun kemudian membeberkan sejumlah kliping koran kepada saya. Koran yang diklipingnya tak hanya terbitan Sumbar, tetapi juga terbitan di luar Sumbar. Intinya, suasana per-pilkada-an terasa hambar. Sangat dingin.
Suasana dingin ini disebabkan karena terlalu banyaknya rambu-rambu kampanye bagi para calon. Publikasi, sosialisasi mereka dibatasi dan diatur sehingga sangat minim sekali. Bandingkan dengan suasana Pilkada sebelumnya, sosialisasi dilakukan sangat gencar oleh para calon.
Gencarnya kampanye memang tak menjamin pasangan calon akan menang, namun setidaknya akan memberikan pengetahuan kepada masyarakat perihal calon yang akan berlaga. Setidaknya kampanye yang gencar tersebut membuat calon terkenal dan dikenal oleh masyarakat, sekali pun yang bersangkutan nyaris tak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat.
Bukti konkrit terhadap hal di atas, banyak contoh yang bisa disebutkan. Contoh itu bertebaran dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi hingga ke tingkat pusat. Ada banyak calon yang bisa mendapatkan suara rakyat karena dikenal melalui poster dan baliho, namun tak pernah berjumpa rakyat yang diwakilinya.
Tapi, apa jadinya jika calon kepala daerah yang akan dipilih tidak dikenal dan tidak diketahui masyarakat, sementara masayrakat “harus” juga memberikan hak suaranya di Desember 2015. Siapa yang akan dipilih?
Kawan saya tersebut membeberkan sejumlah koran terbitan Sumbar. Di Posmetro Padang, ternyata masyarakat menyebutkan sejumlah nama menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, padahal nama-nama tersebut tidak ikut dalam pencalonan. Harian Umum Rakyat Sumbar sejumlah persoalan dibeberkan, Deklarasi Pilkada Cuma Seremoni. Banyak yang Bingung. Peraturan Kampanye Tidak Detail, dan banyak persoalan lainnya.
Tak hanya itu,   integritas para calon tersebut patut dipertanyakan. Ada sembilan pasangan calon kepala daerah yang tidak datang atau kehadiran mereka tidak lengkap saat deklarasi, padahal deklarasi Pilkada tersebut adalah rangkaian agenda resmi KPU. Bisa dibayangkan, ketika mereka masih berstatus calon saja, sudah tidak hadir pada agenda resmi.
Dikuatirkan sosialisasi dan kampanye para calon yang dibiayai negara dengan anggaran yang fantastis, dikuatirkan tidak akan sampai pada sasaran sesungguhnya. Sejak sekarang sudah harus dipersiapkan langkah dan tindakan nyata mengantisipasi turunnya partisipasi pemilih.
Jangan sampai ternyata; masyarakat terbeli kucing dalam karung, lantaran minimnya sosialisasi berbiaya mahal ini, kemudian minyak habis samba tak lamak karena ketidakmampuan KPU memaksimalkan anggaran sosialisasi dan kampanye sebagaimana mestinya.
Semoga saja pesta demokrasi ini bukan pesta basa-basi. *

Catatan: Naskah ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu  13 September 2015

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...