Oleh: Firdaus*
Seorang kawan tersenyum sumbing. Ada perasaan yang disimpannya. Katanya, ada
dua persoalan mendasar yang membuatnya tersenyum sumbang itu.
Pertama, “mana para anggota dewan
yang katanya terpanggil hendak membangun kampung halamannya dulu?” tanyanya.
Saya agak bingung.
Ia pun kemudian membeberkan,
sejak ada keputusan bahwa jika anggota dewan maju ke bursa Pilkada, maka ia
harus mundur dari jabatannya. Keputusan itu membawa imbas besar, ternyata anggota dewan yang yang semula digadang-gadangkan akan
bertarung, ternyata harus berpikir ulang, kemudian membatalkan rencana
keikutaan mereka.
“Kalau memang terpanggil, ya, berjuanglah!
Kenapa justru takut melepaskan jabatan
yang ada sekarang?” tanyanya. Itu pula yang kemudian membuat kawan saya
tersebut tersenyum sumbing, menyindir para wakil rakyat tersebut.
Kondisi ini bertolak belakang
jika dibandingkan dengan suasana Pilkada dua atau tiga periode sebelumnya.
Ketika itu, tak ada aturan yang mengatur para wakil rakyat tersebut, sehingga
mereka tetap ikut “tebak-tebak buah manggis” tersebut. Jika menang, akan dapat
“hadiah”, namun jika gagal, ia tetap bisa melanggang untuk duduk di kursi
empuk.
Kedua, “hasil Pilkada kali ini
bisa menghadirkan dua persoalan, satu; terbeli kucing dalam karung, dua;
partisipasi pemilih yang mengkuatirkan,” katanya.
Kening saya berkerut. Sejak kapan
ia menjadi pengamat politik Pilkada? Pikir saya dalam hati. Kemudian pikiran
itu saya tumpahkan padanya. Ia tersenyum..
Katanya, dua persoalan dibahasan
keduanya ini bagian dari buntut peraturan terbaru yang diundangkan. Ia pun
kemudian membeberkan sejumlah kliping koran kepada saya. Koran yang
diklipingnya tak hanya terbitan Sumbar, tetapi juga terbitan di luar Sumbar.
Intinya, suasana per-pilkada-an terasa hambar. Sangat dingin.
Suasana dingin ini disebabkan
karena terlalu banyaknya rambu-rambu kampanye bagi para calon. Publikasi,
sosialisasi mereka dibatasi dan diatur sehingga sangat minim sekali. Bandingkan
dengan suasana Pilkada sebelumnya, sosialisasi dilakukan sangat gencar oleh
para calon.
Gencarnya kampanye memang tak
menjamin pasangan calon akan menang, namun setidaknya akan memberikan
pengetahuan kepada masyarakat perihal calon yang akan berlaga. Setidaknya
kampanye yang gencar tersebut membuat calon terkenal dan dikenal oleh
masyarakat, sekali pun yang bersangkutan nyaris tak pernah hadir di tengah-tengah
masyarakat.
Bukti konkrit terhadap hal di
atas, banyak contoh yang bisa disebutkan. Contoh itu bertebaran dari tingkat
kabupaten dan kota, provinsi hingga ke tingkat pusat. Ada banyak calon yang
bisa mendapatkan suara rakyat karena dikenal melalui poster dan baliho, namun
tak pernah berjumpa rakyat yang diwakilinya.
Tapi, apa jadinya jika calon
kepala daerah yang akan dipilih tidak dikenal dan tidak diketahui masyarakat,
sementara masayrakat “harus” juga memberikan hak suaranya di Desember 2015. Siapa
yang akan dipilih?
Kawan saya tersebut membeberkan
sejumlah koran terbitan Sumbar. Di Posmetro Padang, ternyata masyarakat
menyebutkan sejumlah nama menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, padahal
nama-nama tersebut tidak ikut dalam pencalonan. Harian Umum Rakyat Sumbar sejumlah persoalan dibeberkan, Deklarasi
Pilkada Cuma Seremoni. Banyak yang Bingung. Peraturan Kampanye Tidak Detail,
dan banyak persoalan lainnya.
Tak hanya itu, integritas para calon tersebut patut
dipertanyakan. Ada sembilan pasangan calon kepala daerah yang tidak datang atau
kehadiran mereka tidak lengkap saat deklarasi, padahal deklarasi Pilkada
tersebut adalah rangkaian agenda resmi KPU. Bisa dibayangkan, ketika mereka
masih berstatus calon saja, sudah tidak hadir pada agenda resmi.
Dikuatirkan sosialisasi dan
kampanye para calon yang dibiayai negara dengan anggaran yang fantastis,
dikuatirkan tidak akan sampai pada sasaran sesungguhnya. Sejak sekarang sudah
harus dipersiapkan langkah dan tindakan nyata mengantisipasi turunnya partisipasi
pemilih.
Jangan sampai ternyata;
masyarakat terbeli kucing dalam karung, lantaran minimnya sosialisasi berbiaya
mahal ini, kemudian minyak habis samba tak lamak karena ketidakmampuan KPU
memaksimalkan anggaran sosialisasi dan kampanye sebagaimana mestinya.
Semoga saja pesta demokrasi ini
bukan pesta basa-basi. *
No comments:
Post a Comment