Oleh: Firdaus*
Kalimat atas petunjuk bapak presiden…, sangat
populer di masa pemerintahan Orde Baru, terutama
ketika Menteri Penerangan Republik Indonesia dijabat Harmoko. Kalimat itu diucapkan ketika memberikan penjelasan seputar keputusan dan
kebijakan pemerintah atau melaporkan hasil rapat kabinet, antara presiden dengan
para pembantunya kepada masyarakat.
Pada rabu pertama
setiap bulan, selepas siaran Dunia Dalam
Berita di TVRI. Ketika itu ada
program Laporan Khusus Rapat Kabinet Terbatas.
Program tersebut dirasakan banyak orang “mengganggu”
kenikmatan menonton satu-satunya siaran
televisi ketika itu, karena materi dan
formatnya acaranya tidak menarik, tapi sangat disukai ayah saya.
Apa pun alasan beliau,
bagi saya tetap saja tidak menarik. Saya hanya bisa menyimpulkan dua hal dari
program tersebut. Pertama, rapat kabinet dipimpin presiden. Kedua, setelah
rapat kabinet, maka akan ada penjelasan dari Menteri Penerangan Harmoko atau
dari Mensesneg Moerdiono. Apa isinya, saya tak pernah mau tahu, sebab tak menarik untuk ditonton.
Saya juga selalu
menandai, kalau pun bukan pada program khusus tersebut, jika sudah Harmoko tampil di depan layar tv, maka biasanya saya
akan mematikan tv (hitam putih), sekalian untuk menghemat accu. Ketika itu,
rumah saya belum dialiri listrik.
Kehadiran Harmoko dimasa
itu, sudah bisa ditebak. Keduanya pasti akan menginformasikan apa-apa yang
sudah, sedang dan akan dilakukan pemerintah. Muaranya sangat jelas, semua yang
disampaikan tersebut adalah hal-hal mengembirakan dan menghadirkan harapan
untuk anak-anak bangsa. Ketika itu, bangsa ini seperti tidak menghadapi masalah
sedikit pun. Yang (mungkin) jadi masalah adalah kalimat menurut petunjuk bapak presiden yang disampaikan Harmoko, atau
kalimat terbata-bata yang yang cenderung diselingi huruf O dari Moerdiono.
Selepas masa
kepemimpinan presiden Soeharto, nyaris tak pernah lagi saya menemukan format
program tersebut. Kalau pun ada informasi seputar rapat kabinet atau
sejenisnya, format dan kemasannya sudah semakin diperbaiki. Televisi pun sudah
semakin banyak menghiasi setiap sisi ruang penduduk Indonesia. Satu sama lain
saling berlomba memberikan format yang lebih baik.
Puluhan tahun kemudian,
saya kemudian justru memberikan acungan jempol untuk program “atas petunjuk bapak presiden”
tersebut. Program itu “telah berhasil” memenangkan sebuah pertarungan besar.
Pemerintahan ketika itu, telah memainkan dan menguasai peran komunikasi secara
gemilang. Praktek Komunikasi Pembangunan benar-benar dikuasai secara sempurna.
Dalam konsep teoritis
Komunikasi Pembangunan (Komunikasi
Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya; Drs Zulkarimein Nasution M,
Sc) disebutkan, komunikasi dapat berperan maksimal dalam pelaksanaan
pembangunan. Dalam artian sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya
dan cara, serta semua teknik penyampaian gagasan dan keterampilan-keterampilan
pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan
kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju
dapat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan
yang disampaikan.
Lalu coba bandingkan
pencapaian komunikasi pembangunan pemerintahan orde baru dengan komunikasi
pembangunan yang dilakukan pemerintahan pascareformasi, khususnya pada masa
Kabinet Kerja. Apa yang terjadi?
Kabinet Kerja telah
gagal menyalurkan Komunikasi Pembangunan-nya, kemudian efeknya menjadi lebih
buruk karena terjadinya Ledakan
Komunikasi Massa. Collin Chery menyebutkan,
Ledakan Komunikasi Massa ini terjadi karena adanya revolusi komunikasi
(Daniel Lerner), Masyrakat Pascaindustri (Daniel Bell), Abad Komunikasi atau
Gelombang Ketiga (The Third Wave), cirinya adalah penggunaan alat komunikasi
sebagai media yang sangat penting dalam tata pergaulan manusia. Globalisasi telah
memporakporandakan sebuah negara ke dalam kampung global. (Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia; hal 37).
Ledakan komunikasi
massa akan membawa implikasi geografis dan geometris. Implikasi geografis
artinya, suatu daerah (negara) pada akhirnya akan terseret arus pada jaringan
komunikasi dunia. Implikasi geometris adalah berlipatnya jumlah lalu-lintas
pesan yang dibawa dalam sistem komunikasi yang jumlahnya berlipat-lipat. (Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia;
hal 37)
Lalu lintas pesan yang
jumlahnya berlipat-lipat tersebut, menghadirkan persoalan baru yang tidak
pernah disadari. Akibat lalu lintas pesan yang sangat banyak itu, terjadilah komunikasi
yang bersileweran, tak jelas, rancu dan saya menyebutnya sebagai Komunikasi Gaduh, atau komunikasi yang gaduh
atau kegaduhan komunikasi. Komunikasi Gaduh tersebut sangat menonjol di tubuh
kabinet sekarang.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, kata gaduh berarti rusuh, gempar,
ribut atau huru-hara. Kata gaduh sangat cocok disandingkan di belakang kata
komunikasi, (lengkapnya Komunikasi Gaduh) untuk menggambarkan komunikasi yang
tak berkejelasan, komunikasi yang kacau sehingga membingungkan penerima informasi.
Ciri nyata dari Komunikasi Gaduh adalah simpang-siurnya
informasi di suatu tempat (kelompok massa, komunitas, lembaga, daerah, negara)
dari satu orang atau lebih.
Sifat Komunikasi Gaduh,
tidak tahu dan disengaja. Tidak tahu, terjadi karena ketidaktahuan dan atau berlebih
atau berkurangnya data, fakta yang disampaikan ke permukaan. Disengaja, terjadi
karena dilakukan secara sadar dan
disetting untuk menutupi, mengalihkan perhatian, mengalihkan isu, demi mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
Amati dan dalami apa
yang terjadi saat ini. Sejumlah fakta terbentang, Presiden Jokowi mengatakan,
Indonesia masih memiliki hutang kepada IMF. Pernyataan presiden dibantah SBY.
Mantan presiden ke 6 Indonesia itu mengatakan, tahun 2006, Indonesia sudah
melunasi hutang ke IMF. Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto setali tiga uang dengan Jokowi,
Katanya, hutang Indonesia ke IMF masih
ada. Pernyataan Seskab dibantah Jusuf
Kalla. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hutang ke IMF sudah lunas.
Sejak MA menerima
gugatan Partai Golkar yang diketuai Abu Rizal Bakrie, Menkumham Yasona Laoly, seakan hilang dari peredaran. Padahal sebelumnya,
sang menteri sangat pro-aktif. Keputusan Menpora Imam Nahrowi membekukan PSSI,
dinilai banyak kalangan sebagai langkah keliru dan dianggap tak mengerti
persoalan. Langkah tersebut merupakan intervensi yang terlalu dalam. PSSI
merupakan salah satu top organisasi olahraga di bawah binaan KONI.
Pembekuan PSSI ketika
kompetisi sedang berjalan, bukan semata menghentikan kompetisi, tetapi
mengacaukan tatanan kehidupan orang banyak yang bergantung di sepakbola secara
mendadak. Contoh kecil saja, Semen Padang FC yang sudah terlanjur datang ke
Jawa Timur, mengalami kerugian materil lebih dari Rp 100 juta, belum lagi jika
dihitung sektor ikutan yang lain.
Imbauan Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin agar umat yang menjalani ibadah puasa menghormati orang
tak berpuasa. Tak perlu ada larangan untuk menutup rumah makan dan restoran,
telah menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Apakah imbauan itu juga akan
berlaku disaat Nyepi. Jika selama ini Bandara Ngurah Rai, Bali, ditutup selama
Nyepi untuk penerbangan mana pun, apakah nanti juga harus menghormati
orang-orang yang tidak Nyepi, lalu membiarkan operasional bandara tetap harus
dijalankan?
Atau, apakah ketika
jelang dan selama natal akan ada juga imbauan Menteri Agama, supaya hotel-hotel
dan restoran-restoran tak perlu memajang pohon natal atau atribut natal lainnya
demi menghormati orang yang tidak natal?
Imbauan dan kebijakan
itu sangat mengganggu. Selama ini,
keberagaman dan toleransi telah berjalan sangat baik. Tak ada persinggungan.
Justru imbauan itu tak ubahnya seperti membangunkan harimau sedang tidur.
Kondisi sebangun juga
dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Imbauan agar tidak menggunakan pengeras
suara di masjid dan mushalla, juga menghadirkan persoalan baru, padahal yang
selama ini berjalan tidak pernah bermasalah. Pernyataan JK juga disikapi Dewan
Geraja Indonesia yang tidak mempersoalkan bunyi dari pengeras suara di masjid
dan mushalla tersebut.
Masih seputar speaker
dari JK, terulang kembali. Ketika insiden Talikora, di Papua, muncul. JK
langsung menyebutkan, insiden pembakaran masjid dan kedai saat umat Islam Salat
Idul Fitri, disebabkan oleh speaker. Beberapa hari kemudian, pernyataan itu
seakan diralatnya kembali. Perihal pemicu insiden Talikora ini juga ada
perbedaan pandangan antara Menkopolhukam Tedjo Edy Purdijatno dengan Kapolri
Badrodin Haiti.
Beberapa kasus di atas,
adalah bukti nyata kegaduhan komunikasi.
Kegaduan komunikasi di atas, sebenarnya bentuk komunikasi gaduh lanjutan di tubuh Kabinet Kerja. Diawal
terbentuknya kabinet ini, sudah terjadi kegaduhan komunikasi yang membingungkan rakyat.
Masih segar dalam
ingatan, bagaimana presiden Jokowi mengumumkan
para pembantunya di halaman Istana Negara. Jokowi berulang kali mengungkapkan;
lari, lari, lari! Pesan tersebut memberikan isyarat, sang presiden ingin agar
anggota kabinetnya segera bertindak dan bergerak cepat.
Hasilnya, sangat luar
biasa. Dua pekan setelah dilantik, tiga
program sekaligus diluncurkan. Program yang kemudian diplesetkan banyak
kalangan menjadi “tiga kartu sakti” bernama
KIS, KIP dan KKS, sepertinya ini adalah program dengan rekor tercepat
yang pernah direalisasikan. Dalam dua pekan setelah pelantikan, Presiden telah
merealisasikan janji kampayenya untuk menerbitkan tiga kartu tersebut.
Persoalan justru muncul
dari setelah ketiga kartu sakti tersebut dikeluarkan. Seperti dikutip dari Ismedia, Rozaq Asyhari dari Pusat
Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia melihat ada keganjilan
dalam penerbitan kartu-kartu tersebut; setidak ada tigal hal yang patut
dipertanyakan; Pertama, dari mana pos anggarannya diperoleh, sedangkan para
menteri belum ada yang rapat dengan DPR. Semua anggaran yang digunakan dari
APBN kan harus dibahas dan ditetapkan bersama antara pemberintah dan DPR.
Apalagi program ini disebut untuk 1,289 juta masyarakat miskin, dengan total
anggaran sebesar Rp6,44 triliun, ini kan bukan angka yang main-main. Semakin
membingungkan ketika ada menteri yang menyebutkan sudah ada posting
anggarannya, ini dapatnya dari mana dan kapan di bahas dengan DPR?
Kedua, hal aneh lainnya
adalah mekanisme penganggaran macam apa yang dipergunakan. Kok bisa hanya dalam
dua pekan saja, uang bisa dibagi-bagi langsung ke masyarakat. Bukankah
penggunaan anggaran tersebut harus sesuai dengan alur dan prosedur keuangan
negara, yang bisa dikatakan hampir mustahil direncanakan dan dieksekusi hanya
dalam dua pekan.
Keanehan ketiga menurut
mahasiswa program doktor (S3) Fakultas Hukum UI ini adalah siapakah
operatornya, dan bagaimana mekanisme pengadaannya. Pengadaan kartu dan lain
sebagainya harus dilakukan dengan
mekanisme tender, untuk program sebesar ini tidak bisa digunakan mekanisme penunjukan
langsung, sangat tidak mungkin hal ini dilakukan hanya dalam waktu dua pekan
saja.
Kondisinya lebih parah
ketika diperhatikan secara seksama sejumlah pesan yang disampaikan para
pembantunya, pascadiluncurkannya tiga kartu sakti pada 3 November 2014.
Kartunya sudah dibagikan kepada masyarakat. Sehari setelah diluncurkan, Menteri
koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyatakan
masih menyiapkan landasan hukum program yang diluncurkan. Keesokan harinya,
Mensesneg Pratikno menyatakan Penerbitan
kartu KIS, KIP dan KKS sama sekali tidak memakan Anggaran Negara (APBN),
melainkan dari tanggung jawab sosial sejumlah BUMN. Menurut Mensesneg dana itu
berasal dari dana CSR BUMN. Tapi untuk tahun berikutnya baru dana dari APBN
karena terkait anggaran.
Empat hari kemudian,
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan, KIS anggarannya di BPJS, KIP anggaran pendidikan di Diknas, kalau KJS itu di bawah Depsos anggarannya 5
Triliun. Menurut Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Program tiga kartu sakti ini
berlaku tanggal 7 November 2014. Artinya,
sudah berlaku seminggu, karena sudah berlaku, sudah ada yang
memanfaatkannya, sudah tersebar kartunya.
Tanggal 8 November
2014, Eva Sundari Politisi PDIP menyatakan, sumber tiga kartu Sakti bukan dari dana CSR
seperti yang diungkapkan Mensesneg Pratikno. Eva membantah pernyataan
Mensesneg. Menurut Eva, pendanaan itu berasal dari APBN Perubahan 2014 pada
zaman Pak SBY. Payung hukumnya adalah UU SJSN, UU BPJS dan Perpres.
Tiga hari setelah
pernyataannya dipublikasikan media,
Mensesneg Pratikno
menyatakan pendanaan tiga Kartu
Sakti itu berasal dari APBN-P, lalu Pratikono mengatakan statemen terdahulu bahwa
dana ketiga kartu tersebut dari CSR BUMN, bukanlah pernyataan darinya.
Dipandang dari sudut
komunikasi, semua pesan yang dibeberkan para pembantu presiden dan politisi
tersebut sangat membingungkan masyarakat.
Dalam konteks ini,
seharusnya pesan yang disampaikan seragam, sebab membawa pesan yang sama dari
sumber yang sama. Kenapa pesannya bias dan senjang?
Kesenjangan efek yang
ditimbulkan oleh kekeliruan cara-cara komunikasi ini, setidaknya dapat
diperkecil dengan menjalankan empat dari tujuh langkah, berdasarkan
pandangan Rogers dan Andhika (1979)
dalam Pembangunan Komunikasi-nya Drs Zulkarimein Nasution, M.Sc,
diantaranya; mencakup prinsip-prinsip
penggunaan pesan yang dirancang khusus untuk khalayak yang spesifik,
mengkomunikasikan pesan bagi golongan yang tidak dituju namun tetap bermanfaat
bagi golongan yang hendak dijangkau, melokalisir penyampaian pesan bagi
kepentingan khalayak, memanfaatkan saluran tradisional.
Terhadap
kesimpangsiuran informasi yang dikomunikasikan kabinet kerja ini, ada persoalan
mendasar lainnya; jangan-jangan pesan yang disampaikan itu sengaja dicari-cari
untuk membuat kesan bahwa perintah pertama dari presiden; lari, lari, lari,
sudah dilakukan. Apakah itu menabrak rambu-rambu atau tidak, itu diurus
belakangan. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan.
Sekiranya semua
persoalan itu murni karena ketidaktahuan, atau berlebih atau berkurangnya data,
maka wajib bagi komponen kabinet kerja untuk belajar, mendalami dan memastikan
bahwa yang disampaikannya benar-benar sudah benar. Jangan pernah menyampaikan
ketidakpastian kepada rakyat. Jika
disengaja, dilakukan secara sadar
dan disetting untuk menutupi, mengalihkan perhatian, mengalihkan isu, demi
mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka pantas untuk dipertanyakan. Kenapa harus
dilakukan?
Mudah-mudaha, Komunikasi Gaduh yang terjadi saat ini, tidak
atas petunjuk bapak presiden?*
*) Penulis adalah
seorang wartawan kini menetap di Padang
CATATAN:
Tulisan
ini dimuat di kolom KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi 25 Juli
2015. Bisa dilihat juga di http://www.koran.padek.co/read/detail/32755
No comments:
Post a Comment