04 November 2015

Komunikasi Gaduh

 Oleh: Firdaus*


Kalimat atas petunjuk bapak presiden…, sangat populer di masa pemerintahan Orde Baru,  terutama ketika Menteri Penerangan Republik Indonesia dijabat Harmoko.  Kalimat itu diucapkan ketika  memberikan penjelasan seputar keputusan dan kebijakan pemerintah atau melaporkan hasil rapat kabinet, antara presiden dengan para pembantunya kepada masyarakat.
Pada rabu pertama setiap bulan, selepas siaran Dunia Dalam Berita di TVRI. Ketika itu  ada program  Laporan Khusus Rapat Kabinet Terbatas.  Program tersebut dirasakan banyak orang “mengganggu” kenikmatan  menonton satu-satunya siaran televisi  ketika itu, karena materi dan formatnya acaranya tidak menarik, tapi sangat disukai ayah  saya.
 “Kita menjadi tahu persoalan bangsa dan program pembangunan,” kata ayah saya, ketika saya tanya kenapa beliau bisa menikmati siaran tersebut.
Apa pun alasan beliau, bagi saya tetap saja tidak menarik. Saya hanya bisa menyimpulkan dua hal dari program tersebut. Pertama, rapat kabinet dipimpin presiden. Kedua, setelah rapat kabinet, maka akan ada penjelasan dari Menteri Penerangan Harmoko atau dari Mensesneg Moerdiono. Apa isinya, saya tak pernah mau tahu, sebab  tak menarik  untuk ditonton.
Saya juga selalu menandai, kalau pun bukan pada program khusus tersebut, jika sudah  Harmoko  tampil di depan layar tv, maka biasanya saya akan mematikan tv (hitam putih), sekalian untuk menghemat accu. Ketika itu, rumah saya belum dialiri listrik.
Kehadiran Harmoko dimasa itu, sudah bisa ditebak. Keduanya pasti akan menginformasikan apa-apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan pemerintah. Muaranya sangat jelas, semua yang disampaikan tersebut adalah hal-hal mengembirakan dan menghadirkan harapan untuk anak-anak bangsa. Ketika itu, bangsa ini seperti tidak menghadapi masalah sedikit pun. Yang (mungkin) jadi masalah adalah kalimat menurut petunjuk bapak presiden yang disampaikan Harmoko, atau kalimat terbata-bata yang yang cenderung diselingi huruf O dari Moerdiono.
Selepas masa kepemimpinan presiden Soeharto, nyaris tak pernah lagi saya menemukan format program tersebut. Kalau pun ada informasi seputar rapat kabinet atau sejenisnya, format dan kemasannya sudah semakin diperbaiki. Televisi pun sudah semakin banyak menghiasi setiap sisi ruang penduduk Indonesia. Satu sama lain saling berlomba memberikan format yang lebih baik.
Puluhan tahun kemudian, saya kemudian justru memberikan acungan jempol untuk  program “atas petunjuk bapak presiden” tersebut. Program itu “telah berhasil” memenangkan sebuah pertarungan besar. Pemerintahan ketika itu, telah memainkan dan menguasai peran komunikasi secara gemilang. Praktek Komunikasi Pembangunan benar-benar dikuasai secara sempurna.
Dalam konsep teoritis Komunikasi Pembangunan (Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya; Drs Zulkarimein Nasution M, Sc) disebutkan, komunikasi dapat berperan maksimal dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam artian sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta semua teknik penyampaian gagasan dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan.
Lalu coba bandingkan pencapaian komunikasi pembangunan pemerintahan orde baru dengan komunikasi pembangunan yang dilakukan pemerintahan pascareformasi, khususnya pada masa Kabinet Kerja. Apa yang terjadi?
Kabinet Kerja telah gagal menyalurkan Komunikasi Pembangunan-nya, kemudian efeknya menjadi lebih buruk karena  terjadinya Ledakan Komunikasi Massa. Collin Chery menyebutkan,  Ledakan Komunikasi Massa ini terjadi karena adanya revolusi komunikasi (Daniel Lerner), Masyrakat Pascaindustri (Daniel Bell), Abad Komunikasi atau Gelombang Ketiga (The Third Wave), cirinya adalah penggunaan alat komunikasi sebagai media yang sangat penting dalam tata pergaulan manusia. Globalisasi telah memporakporandakan sebuah negara ke dalam kampung global. (Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia; hal 37).
Ledakan komunikasi massa akan membawa implikasi geografis dan geometris. Implikasi geografis artinya, suatu daerah (negara) pada akhirnya akan terseret arus pada jaringan komunikasi dunia. Implikasi geometris adalah berlipatnya jumlah lalu-lintas pesan yang dibawa dalam sistem komunikasi yang jumlahnya berlipat-lipat. (Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia; hal 37)
Lalu lintas pesan yang jumlahnya berlipat-lipat tersebut, menghadirkan persoalan baru yang tidak pernah disadari. Akibat lalu lintas pesan yang sangat banyak itu, terjadilah komunikasi yang bersileweran, tak jelas, rancu dan saya menyebutnya sebagai  Komunikasi Gaduh, atau komunikasi yang gaduh atau kegaduhan komunikasi. Komunikasi Gaduh tersebut sangat menonjol di tubuh kabinet sekarang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, kata gaduh berarti rusuh, gempar, ribut atau huru-hara. Kata gaduh sangat cocok disandingkan di belakang kata komunikasi, (lengkapnya Komunikasi Gaduh) untuk menggambarkan komunikasi yang tak berkejelasan, komunikasi yang kacau sehingga membingungkan penerima informasi.
 Ciri nyata dari Komunikasi Gaduh adalah simpang-siurnya informasi di suatu tempat (kelompok massa, komunitas, lembaga, daerah, negara) dari satu orang atau lebih.
Sifat Komunikasi Gaduh, tidak tahu dan disengaja.  Tidak tahu,  terjadi karena ketidaktahuan dan atau berlebih atau berkurangnya data, fakta yang disampaikan ke permukaan. Disengaja, terjadi karena  dilakukan secara sadar dan disetting untuk menutupi, mengalihkan perhatian, mengalihkan isu, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Amati dan dalami apa yang terjadi saat ini. Sejumlah fakta terbentang, Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia masih memiliki hutang kepada IMF. Pernyataan presiden dibantah SBY. Mantan presiden ke 6 Indonesia itu mengatakan, tahun 2006, Indonesia sudah melunasi hutang ke IMF.   Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto setali tiga uang dengan Jokowi, Katanya,  hutang Indonesia ke IMF masih ada. Pernyataan Seskab dibantah  Jusuf Kalla. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hutang ke IMF sudah lunas.   
Sejak MA menerima gugatan Partai Golkar yang diketuai Abu Rizal Bakrie,  Menkumham Yasona Laoly, seakan  hilang dari peredaran. Padahal sebelumnya, sang menteri sangat pro-aktif. Keputusan Menpora Imam Nahrowi membekukan PSSI, dinilai banyak kalangan sebagai langkah keliru dan dianggap tak mengerti persoalan. Langkah tersebut merupakan intervensi yang terlalu dalam. PSSI merupakan salah satu top organisasi olahraga di bawah binaan KONI.
Pembekuan PSSI ketika kompetisi sedang berjalan, bukan semata menghentikan kompetisi, tetapi mengacaukan tatanan kehidupan orang banyak yang bergantung di sepakbola secara mendadak. Contoh kecil saja, Semen Padang FC yang sudah terlanjur datang ke Jawa Timur, mengalami kerugian materil lebih dari Rp 100 juta, belum lagi jika dihitung sektor ikutan yang lain.
Imbauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin agar umat yang menjalani ibadah puasa menghormati orang tak berpuasa. Tak perlu ada larangan untuk menutup rumah makan dan restoran, telah menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Apakah imbauan itu juga akan berlaku disaat Nyepi. Jika selama ini Bandara Ngurah Rai, Bali, ditutup selama Nyepi untuk penerbangan mana pun, apakah nanti juga harus menghormati orang-orang yang tidak Nyepi, lalu membiarkan operasional bandara tetap harus dijalankan?
Atau, apakah ketika jelang dan selama natal akan ada juga imbauan Menteri Agama, supaya hotel-hotel dan restoran-restoran tak perlu memajang pohon natal atau atribut natal lainnya demi menghormati orang yang tidak natal?
Imbauan dan kebijakan itu  sangat mengganggu. Selama ini, keberagaman dan toleransi telah berjalan sangat baik. Tak ada persinggungan. Justru imbauan itu tak ubahnya seperti membangunkan harimau sedang tidur.
Kondisi sebangun juga dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Imbauan agar tidak menggunakan pengeras suara di masjid dan mushalla, juga menghadirkan persoalan baru, padahal yang selama ini berjalan tidak pernah bermasalah. Pernyataan JK juga disikapi Dewan Geraja Indonesia yang tidak mempersoalkan bunyi dari pengeras suara di masjid dan mushalla tersebut.
Masih seputar speaker dari JK, terulang kembali. Ketika insiden Talikora, di Papua, muncul. JK langsung menyebutkan, insiden pembakaran masjid dan kedai saat umat Islam Salat Idul Fitri, disebabkan oleh speaker. Beberapa hari kemudian, pernyataan itu seakan diralatnya kembali. Perihal pemicu insiden Talikora ini juga ada perbedaan pandangan antara Menkopolhukam Tedjo Edy Purdijatno dengan Kapolri Badrodin Haiti.
Beberapa kasus di atas, adalah bukti nyata  kegaduhan komunikasi. Kegaduan komunikasi di atas, sebenarnya bentuk komunikasi gaduh  lanjutan di tubuh Kabinet Kerja. Diawal terbentuknya kabinet ini, sudah terjadi kegaduhan komunikasi yang  membingungkan rakyat.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana presiden Jokowi  mengumumkan para pembantunya di halaman Istana Negara. Jokowi berulang kali mengungkapkan; lari, lari, lari! Pesan tersebut memberikan isyarat, sang presiden ingin agar anggota kabinetnya segera bertindak dan bergerak cepat.
Hasilnya, sangat luar biasa. Dua pekan setelah  dilantik, tiga program sekaligus diluncurkan. Program yang kemudian diplesetkan banyak kalangan menjadi “tiga kartu sakti” bernama  KIS, KIP dan KKS, sepertinya ini adalah program dengan rekor tercepat yang pernah direalisasikan. Dalam dua pekan setelah pelantikan, Presiden telah merealisasikan janji kampayenya untuk menerbitkan tiga kartu tersebut.
Persoalan justru muncul dari setelah ketiga kartu sakti tersebut dikeluarkan. Seperti dikutip dari Ismedia, Rozaq Asyhari dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia melihat ada keganjilan dalam penerbitan kartu-kartu tersebut; setidak ada tigal hal yang patut dipertanyakan; Pertama, dari mana pos anggarannya diperoleh, sedangkan para menteri belum ada yang rapat dengan DPR. Semua anggaran yang digunakan dari APBN kan harus dibahas dan ditetapkan bersama antara pemberintah dan DPR. Apalagi program ini disebut untuk 1,289 juta masyarakat miskin, dengan total anggaran sebesar Rp6,44 triliun, ini kan bukan angka yang main-main. Semakin membingungkan ketika ada menteri yang menyebutkan sudah ada posting anggarannya, ini dapatnya dari mana dan kapan di bahas dengan DPR?
Kedua, hal aneh lainnya adalah mekanisme penganggaran macam apa yang dipergunakan. Kok bisa hanya dalam dua pekan saja, uang bisa dibagi-bagi langsung ke masyarakat. Bukankah penggunaan anggaran tersebut harus sesuai dengan alur dan prosedur keuangan negara, yang bisa dikatakan hampir mustahil direncanakan dan dieksekusi hanya dalam dua pekan.
Keanehan ketiga menurut mahasiswa program doktor (S3) Fakultas Hukum UI ini adalah siapakah operatornya, dan bagaimana mekanisme pengadaannya. Pengadaan kartu dan lain sebagainya   harus dilakukan dengan mekanisme tender, untuk program sebesar ini  tidak bisa digunakan mekanisme penunjukan langsung, sangat tidak mungkin hal ini dilakukan hanya dalam waktu dua pekan saja.
Kondisinya lebih parah ketika diperhatikan secara seksama sejumlah pesan yang disampaikan para pembantunya, pascadiluncurkannya tiga kartu sakti pada 3 November 2014. Kartunya sudah dibagikan kepada masyarakat. Sehari setelah diluncurkan, Menteri koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyatakan masih menyiapkan landasan hukum program yang diluncurkan. Keesokan harinya, Mensesneg Pratikno  menyatakan Penerbitan kartu KIS, KIP dan KKS sama sekali tidak memakan Anggaran Negara (APBN), melainkan dari tanggung jawab sosial sejumlah BUMN. Menurut Mensesneg dana itu berasal dari dana CSR BUMN. Tapi untuk tahun berikutnya baru dana dari APBN karena terkait anggaran.
Empat hari kemudian, Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan, KIS anggarannya di BPJS, KIP  anggaran pendidikan di Diknas,  kalau KJS itu di bawah Depsos anggarannya 5 Triliun. Menurut Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Program tiga kartu sakti ini berlaku tanggal 7 November 2014. Artinya,  sudah berlaku seminggu, karena sudah berlaku, sudah ada yang memanfaatkannya, sudah tersebar kartunya.
Tanggal 8 November 2014, Eva Sundari Politisi PDIP menyatakan,  sumber tiga kartu Sakti bukan dari dana CSR seperti yang diungkapkan Mensesneg Pratikno. Eva membantah pernyataan Mensesneg. Menurut Eva, pendanaan itu berasal dari APBN Perubahan 2014 pada zaman Pak SBY. Payung hukumnya adalah UU SJSN, UU BPJS dan Perpres.
Tiga hari setelah pernyataannya dipublikasikan media,  Mensesneg Pratikno  menyatakan  pendanaan tiga Kartu Sakti itu berasal dari APBN-P, lalu Pratikono mengatakan statemen terdahulu bahwa dana ketiga kartu tersebut dari CSR BUMN, bukanlah pernyataan darinya.
Dipandang dari sudut komunikasi, semua pesan yang dibeberkan para pembantu presiden dan politisi tersebut sangat membingungkan masyarakat.
Dalam konteks ini, seharusnya pesan yang disampaikan seragam, sebab membawa pesan yang sama dari sumber yang sama. Kenapa pesannya bias dan senjang?
Kesenjangan efek yang ditimbulkan oleh kekeliruan cara-cara komunikasi ini, setidaknya dapat diperkecil dengan menjalankan empat dari tujuh langkah, berdasarkan pandangan  Rogers dan Andhika (1979) dalam Pembangunan Komunikasi-nya Drs Zulkarimein Nasution, M.Sc, diantaranya;  mencakup prinsip-prinsip penggunaan pesan yang dirancang khusus untuk khalayak yang spesifik, mengkomunikasikan pesan bagi golongan yang tidak dituju namun tetap bermanfaat bagi golongan yang hendak dijangkau, melokalisir penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak, memanfaatkan saluran tradisional.
Terhadap kesimpangsiuran informasi yang dikomunikasikan kabinet kerja ini, ada persoalan mendasar lainnya; jangan-jangan pesan yang disampaikan itu sengaja dicari-cari untuk membuat kesan bahwa perintah pertama dari presiden; lari, lari, lari, sudah dilakukan. Apakah itu menabrak rambu-rambu atau tidak, itu diurus belakangan. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan.
Sekiranya semua persoalan itu murni karena ketidaktahuan, atau berlebih atau berkurangnya data, maka wajib bagi komponen kabinet kerja untuk belajar, mendalami dan memastikan bahwa yang disampaikannya benar-benar sudah benar. Jangan pernah menyampaikan ketidakpastian kepada rakyat. Jika  disengaja,  dilakukan secara sadar dan disetting untuk menutupi, mengalihkan perhatian, mengalihkan isu, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka pantas untuk dipertanyakan. Kenapa harus dilakukan?
Mudah-mudaha,  Komunikasi Gaduh yang terjadi saat ini, tidak atas petunjuk bapak presiden?*

*) Penulis adalah seorang wartawan  kini menetap di Padang


CATATAN:
Tulisan ini dimuat di kolom KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi 25 Juli 2015. Bisa dilihat juga di http://www.koran.padek.co/read/detail/32755

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...