23 November 2015

Pergi Membawa Hatinya yang Bersih

 Inmemoriam Osman Jang Qiray, Produser Multitalenta Padang TV:


Kebersihan hati telah mengubah segalanya
Mari gotong royong membersihkan rak
yang sudah lama tidak kita lihat dan jamah

Oleh: Firdaus - Padang

Informasi dari Firman Wan Ipin, Menejer Iklan Rakyat Sumbar, membuat saya tersentak. Awalnya saya sempat tak percaya, tapi seketika itu juga saya  meyakini infomasi tersebut.  Wan Ipin memang sering becanda, tapi  saya tahu ia tak akan pernah becanda sampai hal-hal yang keterlaluan. 
Osman Jang Qiray (baju putih) dalam sebuah kesempatan
“Sekarang jenazah masih di rumah sakit, saya bersama Imunk (Defri Mulyadi, Manager Marketting dan Produksi Padang TV) dan kawan-kawan Padang TV di rumah sakit,” katanya melanjutkan, sebelum saya sempat bertanya.
Begitu hubungan komunikasi putus, masuk telpon dari Fathan Zulfan, Kepala Departemen Kerjasama Padang TV. Saya sudah menduga apa yang akan  disampaikannya.
“Bie, prod Osman sudah duluan, jenazahnya masih di Rumah Sakit M Djamil,” katanya.
Di lingkungan Padang TV dan Padang Ekspres Group, Osman Jang Qiray memang sering disapa dengan panggilan akrab prod, singkatan dari produser, posisi yang ditempatinya.
Selang beberapa detik kemudian, hp saya kembali berdering. Kali ini, Rita Gusveniza, General Manager Padang TV, yang menghubungi. Dari balik gagang hp, saya mendengar suara tangis terisak-isak.
“Sabar, buk GM. Sabar. Kita ikhlaskan kepergian Osman, sehingga memudahkan jalannya,” jawab saya, walau sesungguhnya ia belum sempat mengatakan apa pun, namun tangisan itu sudah menjadi media penyampai kabar bagi saya. Lalu hubungan komunikasi terputus.
Ketika saya sampai di rumah duka, rumah mertua Osman, tempatnya menetap sejak menikah, tahun 2010, di Aur Duri, Kecamatan Padang Timur, suasana sudah ramai. Tak hanya karyawan Padang TV, Padang Ekspres Group, mau pun warga di lingkungan tersebut, tetapi juga kawan-kawan mendiang semasa hidup dari berbagai lapisan.
Tak lama berselang  didapat kabar, jenazah disemayamkan di rumah orang tuanya, di Patenggangan, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara. Saat itu juga, semua bergegas ke Air Tawar. Saat sampai di rumah duka, di kawasan pinggiran pantai Air Tawar, suasana juga tak kalah ramai. Kedatangan  jenazah di rumah orang tuanya disambut gerimis. Gerimis kembali turun saat jenazah hendak dibawa ke Masjid Afdhal, untuk disalatkan, keesokan harinya.
Kepergian Osman yang juga akrab disapa Jang Qiray,  menyentak banyak orang. Ia pergi dalam usia muda, 37 tahun, disaat banyak orang butuh dirinya, saat kreativitasnya semakin menjadi-jadi.
Kabar duka kepergiannya bergerak sangat cepat. Satu sama lain saling mengabari. Komunikasi telpon saling bersahutan. Kabar dari berbagai media sosial pun bergerak cepat. Ucapan duka meluncur deras.  Ucapan duka datang dari berbagai lapisan.
Di berbagai laman media sosial, kabar duka juga seakan saling bersahutan. Beranda facebook, twitter dan media sosial lainnya mengabarkan kepergian Osman Jang Qiray. Tak sedikit yang merasa kehilangan, termasuk grup WA Tukang Ota Paten (TOP) 100 juga mengabarkan, sekali pun Osman Jang Qiray bukan anggota grup tersebut.
Saking mendalamnya rasa duka kehilangan produser ini, jurnalis CNN Indonesia John Nedy Kambang mengabarkan di WA grup Forum Editor, peserta Konferensi Jurnalis TV Internasional, di Palembang – Sumsel, mengheningkan cipta untuk melepas kepergian Osman.  
Saya mengenal Osman  sejak ia bergabung dengan Padang TV, sekitar September 2007. Ketika itu, ia berada di divisi program, sedangkan saya  di redaksi. Ketika saya ditugaskan menjadi Pemimpin Redaksi sekaligus merangkap Manager Program Padang TV, Februari 2008, hingga Oktober 2008, dan kembali  menjadi Manager Program Padang TV, Juni-Desember 2009, saya bersentuhan langsung dengan lelaki humoris dan tak banyak ulah ini.
Sejak awal ia di Padang TV, Manager Program (ketika itu) Abdullah Khusairi, mempercayakan program bernuansa lokal kepadanya. Setelah itu, sekalipun terjadi pergantian manager program, sampai kepada Dasrul, Manager Program saat ini, Jang Qiray tetap dipercaya menangani program bernuansa lokal. Ia termasuk produser awal di Padang TV dan sekaligus memiliki andil besar meletakkan pondasi program berkontens lokal.
Sejak mengenal dan bekerjasama dalam satu tim kerja, banyak nilai positif dalam keseharian Osman. Setidaknya, dalam catatan saya,  alumni SMKI (SMK 7 Padang) ini merupakan sosok yang sangat penyabar dan tak pernah mengeluh.
Berapa pun berat tugas yang diberikan kepadanya, apalagi jika kemudian ditambah beban baru sebelum ia menyelesaikan pekerjaan awal, Osman tak akan pernah menolak, tak akan pernah mengeluh. Ia akan menerima dengan senang hati, kemudian berlahan menyelesaikannya dengan amat baik.
Kesehariannya selalu dipenuhi dengan suasana keceriaan. Sekali pun mengenal dan bersahabat dengannya, namun nyaris tak seorang pun yang akan tahu persoalan atau masalah yang dihadapinya, sebab ia sangat piawai  menyimpan masalahnya, sehingga terlihat ia seakan tak pernah punya masalah.  Serumit apa pun keadaan dirinya, atau masalah yang sedang dihadapi, maka tak seorang pun yang tahu.
Ketika ia ditugaskan dibagian MCR di Padang TV, ia menerima penugasan tersebut dengan lapang dada. Katanya kepada saya, setelah beberapa bulan kemudian, dimana pun ditugaskan, ia menjadikan semuanya sebagai tantangan. Banyak ilmu dan pengalaman yang didapatkannya di tempat baru tersebut. Penempatan tersebut tentu punya hikmah tersendiri. Penempatan seorang staf tentu didasarkan pertimbangan matang dari pimpinan.
“Ia tak pernah terlihat murung atau sedih sedikit pun,” beber Noly Andrianus, mantan produser Padang TV yang juga sahabatnya semasa kuliah di STSI (kini ISI) Padangpanjang.
“Jang Qiray sahabat terbaik yang saya miliki. Tak pernah mengeluh, tak pernah menyerah,” kata Joni Andra, Koreografer Tari Kontemporer Indonesia, dalam isak tangis yang berat, ketika menelpon saya, mengabarkan berpulangnya Osman.
Terakhir kali bertemu, saat Jang Qiray sengaja menemui saya di kantor perwakilan Rakyat Sumbar di Padang, sebelum lebaran haji. Ia mengabarkan, diminta untuk kembali ke program. Ketika itu, ia tak mau. Katanya, cukup di MCR saja. Banyak pelajaran dan hikmah yang didapatkannya di tempat baru tersebut. Disaat saya menyinggung sejumlah program Padang TV, ia terdiam.
“Ini saat dan kesempatan bagi prod untuk kembali memberikan warna pada tv kita, Padang TV” kata saya, “jika prod masih mencintai Padang TV, prod harus memberikan warna secara langsung pada programnya,” sambung saya.
Diskusi ketika itu sangat panjang. Setelah itu, ia meninggalkan kantor Rakyat Sumbar tanpa ada keputusan. Sejak itu, sampai saya mendapatkan kabar kepergian Jang Qiray  untuk selamanya, kami tak pernah lagi berjumpa, namun jauh sebelum ia pergi,  saya  mendapat kabar kalau Jang Qiray  sudah kembali ke program.
Di dunia pertelevisian Sumatera Barat, atau mungkin pertelevisian Indonesia, barangkali hanya Osman Jang Qiray yang memiliki kemampuan paling komplit. Ia multitalenta. Tak hanya seorang memiliki kemampuan sebagai seorang produser dan sutradara, bisa menjadi host, memiliki kemampuan akting, bisa menyanyi, menguasai teknik kamera, menjadi kameramen, membuat film dokumenter, menguasai teknik produksi televisi hingga pasca-produksi.
 “Ia juga menguasai kemampuan editing video sangat baik,” kata Fathan Zulfan, sahabat Osman Jang Qiray, yang pernah menjadi Kepala Departemen Produksi Padang TV, “dalam kapasitas entertain di panggung, ia memiliki goyangan yang sangat khas, Goyang Sampan,” sambungnya.

*

Ketika jenazahnya dilepas untuk disalatkan dan kemudian dimakamkan, tokoh masyarakat Patenggangan menyebutkan, Osman Jang Qiray adalah sosok anak muda yang sangat dibanggakan dikagumi warga. Ia sosok anak muda kreatif, pekerja keras dan tidak pernah lupa pada lingkungannya. Pergaulannya yang luas di luar, tetapi tidak membuat ia sombong dan lupa pada lingkungannya.
Saat itu pula saya teringat kisah masa lalunya. Osman pernah mengungkapkan, panggilan Jang Qiray sebenarnya bukan berasal dari nama panggung. Panggilan itu sudah ada sejak ia masih kecil. Panggilan itu merupakan “gala” sejak kecil di lingkungan tempat tinggalnya. Ia dipanggil dengan “gala” tersebut lantaran, saat itu, dipandang sebelah mata. Panggilan kecil itu, kemudian terus dibawanya ketika ia bersekolah di SMKI, saat kuliah di STSI Padangpanjang sampai kemudian ia hadir di Padang TV.  Ia tak mau  menanggalkan panggilan tersebut.
“Saya tak akan pernah lupa tempat dimana berpijak dulu,” katanya, suatu ketika, menyinggung sapaan akrabnya tersebut.
Afrizal Harun, dosen Seni Teater ISI Padangpanjang,  tinggal di kontrakan yang sama dan satu “genk” semasa kuliah, menulis inmemoriam Osman di sumbarsatu.com. Ia menggambarkan kegigihan Osman menjalani kehidupan, mulai mempersiapkan beberapa nomor lagu yang akan dinyanyikan di atas bus NPM, ANS di Minang Plaza untuk ngamen.  Saat tamat STSI dan menjadi pengangguran, ia tetap aktif  membantu kegiatan-kegiatan di kampus maupun di luar kampus. Tahun 2006-2007, Osman  bertarung di Jakarta sebagai tim artistik di beberapa Production House (PH), pernah terlibat sebagai tim artistik pimpinan Murtono dalam film “Trophy Buffalo” sutradara Vanni Jamin.
Rutinitas tak menentu sebagai kru artistik dalam produksi film layar lebar, FTV dan Sinetron di Jakarta, Osman juga hidup sebagai sopir angkot Pasar Minggu di Jakarta, pernah beberapa lama tidur di terminal karena tidak ada sanak saudara yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk berbagi cerita.  
Tahun 2007, ia kembali ke Padangpanjang dan tinggal dikontrakan ketika  kuliah dulu.  Atas inisiatif pak Adi Krishna dan Uda Rustim, Osman membuat film dokumenter  Elo Pukek. Proses Syuting dilakukan di belakang rumahnya tepi pantai Jalan Gajah II Lapor Padang. Film tersebut dan beberapa sertifikat lainnya sebagai modal bagi Osman untuk melamar di Padang TV. Saat itu,  Padang TV baru berdiri.
Setelah diterima bekerja di Padang TV, inilah langkah awal bagi Osman untuk berhadapan dengan dunia broadcast yang belum ia geluti secara mendalam. Namun, ia bukanlah tipe yang mudah patah semangat.
Ia diterima langsung sebagai produser. Kehadirannya menambah gairah program Padang TV. Ia melanjutkan program Kaliliang Kampuang, yang sebelumnya dipegang Raymond Moza, dengan sentuhannya tersendiri. Kalau pun kemudian presenternya gonta-ganti; Yuang Kandua, hingga Ajo Enek, roh Kaliliang Kampuang-nya tetap menjadi icon Jang Qiray. Begitu pun ketika ia menggawangi program Dendang Minang. Presenternya sempat gonta-ganti, mulai dari Udin Liok, Upiak Sijontiak, Da Coga, One Cantik Ceklabiah, Ajo Enek, Siti Manih, Malin Tirih, hingga Ari Kamek, namun Jang Qiray tetap eksis mengawal programnya. Begitu pun dengan program Galatiak Rang Mudo, serta ia turut memberikan sentuhan luar biasa terhadap Masak Sakampuang.
Perihal Masak Sakampuang, saya teringat “legenda” yang tak mungkin terlupakan sepanjang hidup  kru saat itu. Ketika rapat Jumat, dua hari sebelum proses produksi di Timbalun, Bungus Teluk Kabung, semua konsep sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Skedul sudah disusun.
Sabtu sore, semua kru sudah chek in di penginapan Pondok Caroline. Saat itu, Refi Yuliana, sang produser, meminta agar Jang Qiray turut menjadi talent mendampingi Raymond Moza untuk mengimbangi icon Masak Sakampuang; Yuang Tagiah (Jony Andra) dan Imun Kamek (Dewi Nanda). Saat  rapat Jumat, Raymond Moza sudah diplot menjadi banci yang sok gaul. Hanya saja, saat itu, Refi Yuliana tak memberitahu peran yang akan dimainkan Jang Qiray.
Selesai syuting dan produksi materi inti Masak Sakampuang di Timbalun, proses selanjutnya dilakukan di pinggir pantai. Ceritanya, saat itu, Yuang Tagiah dan istrinya Imun Kamek pulang dari Masak Sakampuang.
Kedua berjalan pulang menyusuri pantai, namun kemudian keduanya terkejut melihat seorang banci sok gaul (Raymond Moza) menjerit minta tolong. Temannya tenggelam di laut. Sosok yang tenggelam itu juga seorang banci.  Banci yang tenggelam tersebut berambut panjang,  dikepang dua dan menggunakan daster.
“Prod menjadi banci, berteman dengan bang Raymond. Prod harus menggunakan kostum ini,” kata Refi Yuliana, sang produser, dan Misrinawati, Sekretaris Program dan Produksi Padang TV, sambil memberikan daster berwarna hijau dan kutang (bra) berwarna hitam kepada lelaki   kelahiran 5 Maret 1978 ini.  
Ketika semua orang terkejut dan disambut  tawa ngakak,  Jang Qiray terlihat tenang,  seakan tak ada masalah.  Ia menerima permintaan tersebut dan kemudian memainkan perannya dengan sangat total. Ratusan orang yang menyaksikan proses syuting di pantai Caroline saat itu, justru memberikan respon luar biasa terhadap totalitas penampilan Jang Qiray. Selesai pengambilan gambar, justru Jang Qiray yang diserbu penonton, bukan icon Masak Sakampuang.
Selain kegigihan dan totalitasnya, saya juga teringat  obsesi sang produser jauh sebelum ia menikah. Ia bertekad memperbaiki rumah orang tuanya terlebih dahulu, “sebelum menikah, saya harus bisa memperbaiki rumah amak terlebih dahulu,” katanya, suatu ketika.
Benar saja. Obsesinya diwujudkan jauh sebelum ia menikah, “tak banyak yang bisa perbuat untuk keluarga,” katanya merendah, padahal menurut keluarganya, Jang Qiray adalah sosok yang dibanggakan keluarganya.
Kerendahan hati dan kesabarannya itu pula yang membuat Hadia Wahyuni, anak Aur Duri, jatuh hati. Sejak mengenal gadis tersebut, kemudian melangkah dan bersepakat untuk membina mahligai rumah tangga, Jang Qiray justru semakin lebih baik. Ada perubahan hebat, tingkat kesabaran, ketenangan dan kreativitasnya semakin luar biasa. Pernikahannya dengan Hadia Wahyuni memberikan seorang putri cantik, Nadira, kini berusia 3 tahun.

*
Kebersihan hati telah mengubah segalanya
Mari gotong royong membersihkan rak
yang sudah lama tidak kita lihat dan jamah

Rangkaian kalimat di atas merupakan pesan singkat yang dikirimkan Osman. Pesan itu masuk ke hp saya pada 27 Mei 2009, pukul 03.27 WIB. Pesan itu  dikirimkannya ketika saya  dalam perjalanan darat dari Padang ke Bandarlampung, mengikuti pertemuan  pemimpin redaksi se-Jawa Pos Group.
Saat itu, saya masih menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Padang Ekspres, namun beberapa hari  sebelum sms tersebut masuk ke hp saya, manajemen mengamanahkan saya menjadi Wakil General Manager merangkap Manager Program Padang TV, terhitung 1 Juni 2009.
Sejak pesan singkat itu saya terima, saya tak pernah menghapusnya. Hingga kini, pesan itu masih ada di hp saya; Kebersihan hati telah mengubah segalanya/ Mari gotong royong membersihkan rak yang sudah lama tidak kita lihat dan jamah.
Tapi, sejak Kamis, 19 November 2015, Jang Qiray tak akan bisa lagi untuk ikut bergotong-royong membersihkan rak yang sudah lama tidak dilihat dan dijamah tersebut. Ia telah pergi untuk selamanya, bersama hatinya yang bersih.
Saya hanya bisa membalas sms itu dengan seuntai goresan, yang saya tahu; ia tak akan pernah tahu. Tak akan pernah membacanya karena saya menulisnya setelah ia pergi untuk selamanya.
Jang Qiray. Kau antarkan kisah jadi indah. Kau dendangkan perih jadi canda, lalu kau pergi dan tak kembali. Kami hanya bisa menangis di sini, melepas kau pergi dengan doa. Semoga engkau sampai ke surga.
Selamat jalan sahabat. Selamat jalan guru!*


Catatan:
Tulisan ini juga dimuat di Padang Ekspres dan Harian Umum Rakyat Sumbar, edisi Senin, 23 November 2015

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...