Inmemoriam Osman
Jang Qiray, Produser Multitalenta Padang TV:
Kebersihan hati telah mengubah segalanya
Mari gotong royong membersihkan rak
yang sudah lama tidak kita lihat dan jamah
Oleh: Firdaus - Padang
Informasi dari
Firman Wan Ipin, Menejer Iklan Rakyat Sumbar, membuat saya tersentak. Awalnya
saya sempat tak percaya, tapi seketika itu juga saya meyakini infomasi tersebut. Wan Ipin memang sering becanda, tapi saya tahu ia tak akan pernah becanda sampai
hal-hal yang keterlaluan.
Osman Jang Qiray (baju putih) dalam sebuah kesempatan |
“Sekarang jenazah
masih di rumah sakit, saya bersama Imunk (Defri Mulyadi, Manager Marketting dan Produksi Padang TV) dan kawan-kawan Padang
TV di rumah sakit,” katanya melanjutkan, sebelum saya sempat bertanya.
Begitu hubungan
komunikasi putus, masuk telpon dari Fathan Zulfan, Kepala Departemen Kerjasama
Padang TV. Saya sudah menduga apa yang akan
disampaikannya.
“Bie, prod Osman
sudah duluan, jenazahnya masih di Rumah Sakit M Djamil,” katanya.
Di lingkungan Padang
TV dan Padang Ekspres Group, Osman Jang Qiray memang sering disapa dengan
panggilan akrab prod, singkatan dari produser, posisi yang ditempatinya.
Selang beberapa
detik kemudian, hp saya kembali berdering. Kali ini, Rita Gusveniza, General
Manager Padang TV, yang menghubungi. Dari balik gagang hp, saya mendengar suara
tangis terisak-isak.
“Sabar, buk GM.
Sabar. Kita ikhlaskan kepergian Osman, sehingga memudahkan jalannya,” jawab
saya, walau sesungguhnya ia belum sempat mengatakan apa pun, namun tangisan itu
sudah menjadi media penyampai kabar bagi saya. Lalu hubungan komunikasi
terputus.
Ketika saya sampai
di rumah duka, rumah mertua Osman, tempatnya menetap sejak menikah, tahun 2010,
di Aur Duri, Kecamatan Padang Timur, suasana sudah ramai. Tak hanya karyawan
Padang TV, Padang Ekspres Group, mau pun warga di lingkungan tersebut, tetapi
juga kawan-kawan mendiang semasa hidup dari berbagai lapisan.
Tak lama
berselang didapat kabar, jenazah
disemayamkan di rumah orang tuanya, di Patenggangan, Air Tawar, Kecamatan
Padang Utara. Saat itu juga, semua bergegas ke Air Tawar. Saat sampai di rumah
duka, di kawasan pinggiran pantai Air Tawar, suasana juga tak kalah ramai.
Kedatangan jenazah di rumah orang tuanya
disambut gerimis. Gerimis kembali turun saat jenazah hendak dibawa ke Masjid
Afdhal, untuk disalatkan, keesokan harinya.
Kepergian Osman yang
juga akrab disapa Jang Qiray, menyentak
banyak orang. Ia pergi dalam usia muda, 37 tahun, disaat banyak orang butuh
dirinya, saat kreativitasnya semakin menjadi-jadi.
Kabar duka kepergiannya
bergerak sangat cepat. Satu sama lain saling mengabari. Komunikasi telpon
saling bersahutan. Kabar dari berbagai media sosial pun bergerak cepat. Ucapan
duka meluncur deras. Ucapan duka datang
dari berbagai lapisan.
Di berbagai laman
media sosial, kabar duka juga seakan saling bersahutan. Beranda facebook,
twitter dan media sosial lainnya mengabarkan kepergian Osman Jang Qiray. Tak
sedikit yang merasa kehilangan, termasuk grup WA Tukang Ota Paten (TOP) 100
juga mengabarkan, sekali pun Osman Jang Qiray bukan anggota grup tersebut.
Saking mendalamnya
rasa duka kehilangan produser ini, jurnalis CNN Indonesia John Nedy Kambang
mengabarkan di WA grup Forum Editor,
peserta Konferensi Jurnalis TV Internasional, di Palembang – Sumsel,
mengheningkan cipta untuk melepas kepergian Osman.
Saya mengenal
Osman sejak ia bergabung dengan Padang
TV, sekitar September 2007. Ketika itu, ia berada di divisi program, sedangkan
saya di redaksi. Ketika saya ditugaskan
menjadi Pemimpin Redaksi sekaligus merangkap Manager Program Padang TV,
Februari 2008, hingga Oktober 2008, dan kembali menjadi Manager Program Padang TV,
Juni-Desember 2009, saya bersentuhan langsung dengan lelaki humoris dan tak
banyak ulah ini.
Sejak awal ia di
Padang TV, Manager Program (ketika itu) Abdullah Khusairi, mempercayakan
program bernuansa lokal kepadanya. Setelah itu, sekalipun terjadi pergantian
manager program, sampai kepada Dasrul, Manager Program saat ini, Jang Qiray
tetap dipercaya menangani program bernuansa lokal. Ia termasuk produser awal di
Padang TV dan sekaligus memiliki andil besar meletakkan pondasi program
berkontens lokal.
Sejak mengenal dan
bekerjasama dalam satu tim kerja, banyak nilai positif dalam keseharian Osman. Setidaknya,
dalam catatan saya, alumni SMKI (SMK 7
Padang) ini merupakan sosok yang sangat penyabar dan tak pernah mengeluh.
Berapa pun berat
tugas yang diberikan kepadanya, apalagi jika kemudian ditambah beban baru
sebelum ia menyelesaikan pekerjaan awal, Osman tak akan pernah menolak, tak
akan pernah mengeluh. Ia akan menerima dengan senang hati, kemudian berlahan
menyelesaikannya dengan amat baik.
Kesehariannya selalu
dipenuhi dengan suasana keceriaan. Sekali pun mengenal dan bersahabat
dengannya, namun nyaris tak seorang pun yang akan tahu persoalan atau masalah
yang dihadapinya, sebab ia sangat piawai
menyimpan masalahnya, sehingga terlihat ia seakan tak pernah punya
masalah. Serumit apa pun keadaan
dirinya, atau masalah yang sedang dihadapi, maka tak seorang pun yang tahu.
Ketika ia ditugaskan
dibagian MCR di Padang TV, ia menerima penugasan tersebut dengan lapang dada.
Katanya kepada saya, setelah beberapa bulan kemudian, dimana pun ditugaskan, ia
menjadikan semuanya sebagai tantangan. Banyak ilmu dan pengalaman yang
didapatkannya di tempat baru tersebut. Penempatan tersebut tentu punya hikmah
tersendiri. Penempatan seorang staf tentu didasarkan pertimbangan matang dari
pimpinan.
“Ia tak pernah
terlihat murung atau sedih sedikit pun,” beber Noly Andrianus, mantan produser
Padang TV yang juga sahabatnya semasa kuliah di STSI (kini ISI) Padangpanjang.
“Jang Qiray sahabat
terbaik yang saya miliki. Tak pernah mengeluh, tak pernah menyerah,” kata Joni
Andra, Koreografer Tari Kontemporer Indonesia, dalam isak tangis yang berat,
ketika menelpon saya, mengabarkan berpulangnya Osman.
Terakhir kali
bertemu, saat Jang Qiray sengaja menemui saya di kantor perwakilan Rakyat Sumbar di Padang, sebelum lebaran
haji. Ia mengabarkan, diminta untuk kembali ke program. Ketika itu, ia tak mau.
Katanya, cukup di MCR saja. Banyak pelajaran dan hikmah yang didapatkannya di
tempat baru tersebut. Disaat saya menyinggung sejumlah program Padang TV, ia
terdiam.
“Ini saat dan
kesempatan bagi prod untuk kembali memberikan warna pada tv kita, Padang TV”
kata saya, “jika prod masih mencintai Padang TV, prod harus memberikan warna
secara langsung pada programnya,” sambung saya.
Diskusi ketika itu
sangat panjang. Setelah itu, ia meninggalkan kantor Rakyat Sumbar tanpa ada
keputusan. Sejak itu, sampai saya mendapatkan kabar kepergian Jang Qiray untuk selamanya, kami tak pernah lagi
berjumpa, namun jauh sebelum ia pergi,
saya mendapat kabar kalau Jang
Qiray sudah kembali ke program.
Di dunia
pertelevisian Sumatera Barat, atau mungkin pertelevisian Indonesia, barangkali hanya
Osman Jang Qiray yang memiliki kemampuan paling komplit. Ia multitalenta. Tak
hanya seorang memiliki kemampuan sebagai seorang produser dan sutradara, bisa
menjadi host, memiliki kemampuan akting, bisa menyanyi, menguasai teknik
kamera, menjadi kameramen, membuat film dokumenter, menguasai teknik produksi
televisi hingga pasca-produksi.
“Ia juga menguasai kemampuan editing video
sangat baik,” kata Fathan Zulfan, sahabat Osman Jang Qiray, yang pernah menjadi
Kepala Departemen Produksi Padang TV, “dalam kapasitas entertain di panggung,
ia memiliki goyangan yang sangat khas, Goyang Sampan,” sambungnya.
*
Ketika jenazahnya
dilepas untuk disalatkan dan kemudian dimakamkan, tokoh masyarakat Patenggangan
menyebutkan, Osman Jang Qiray adalah sosok anak muda yang sangat dibanggakan
dikagumi warga. Ia sosok anak muda kreatif, pekerja keras dan tidak pernah lupa
pada lingkungannya. Pergaulannya yang luas di luar, tetapi tidak membuat ia
sombong dan lupa pada lingkungannya.
Saat itu pula saya
teringat kisah masa lalunya. Osman pernah mengungkapkan, panggilan Jang Qiray
sebenarnya bukan berasal dari nama panggung. Panggilan itu sudah ada sejak ia
masih kecil. Panggilan itu merupakan “gala” sejak kecil di lingkungan tempat
tinggalnya. Ia dipanggil dengan “gala” tersebut lantaran, saat itu, dipandang
sebelah mata. Panggilan kecil itu, kemudian terus dibawanya ketika ia
bersekolah di SMKI, saat kuliah di STSI Padangpanjang sampai kemudian ia hadir
di Padang TV. Ia tak mau menanggalkan panggilan tersebut.
“Saya tak akan
pernah lupa tempat dimana berpijak dulu,” katanya, suatu ketika, menyinggung
sapaan akrabnya tersebut.
Afrizal Harun, dosen
Seni Teater ISI Padangpanjang, tinggal
di kontrakan yang sama dan satu “genk” semasa kuliah, menulis inmemoriam Osman
di sumbarsatu.com. Ia menggambarkan
kegigihan Osman menjalani kehidupan, mulai mempersiapkan beberapa nomor lagu
yang akan dinyanyikan di atas bus NPM, ANS di Minang Plaza untuk ngamen. Saat tamat STSI dan menjadi pengangguran, ia tetap
aktif membantu kegiatan-kegiatan di
kampus maupun di luar kampus. Tahun 2006-2007, Osman bertarung di Jakarta sebagai tim artistik di
beberapa Production House (PH), pernah terlibat sebagai tim artistik pimpinan
Murtono dalam film “Trophy Buffalo” sutradara Vanni Jamin.
Rutinitas tak
menentu sebagai kru artistik dalam produksi film layar lebar, FTV dan Sinetron
di Jakarta, Osman juga hidup sebagai sopir angkot Pasar Minggu di Jakarta,
pernah beberapa lama tidur di terminal karena tidak ada sanak saudara yang bisa
dijadikan sebagai tempat untuk berbagi cerita.
Tahun 2007, ia
kembali ke Padangpanjang dan tinggal dikontrakan ketika kuliah dulu.
Atas inisiatif pak Adi Krishna dan Uda Rustim, Osman membuat film
dokumenter Elo Pukek. Proses Syuting dilakukan di belakang rumahnya tepi
pantai Jalan Gajah II Lapor Padang. Film tersebut dan beberapa sertifikat
lainnya sebagai modal bagi Osman untuk melamar di Padang TV. Saat itu, Padang TV baru berdiri.
Setelah diterima
bekerja di Padang TV, inilah langkah awal bagi Osman untuk berhadapan dengan
dunia broadcast yang belum ia geluti secara mendalam. Namun, ia bukanlah tipe
yang mudah patah semangat.
Ia diterima langsung
sebagai produser. Kehadirannya menambah gairah program Padang TV. Ia
melanjutkan program Kaliliang Kampuang, yang
sebelumnya dipegang Raymond Moza, dengan sentuhannya tersendiri. Kalau pun
kemudian presenternya gonta-ganti; Yuang Kandua, hingga Ajo Enek, roh Kaliliang Kampuang-nya tetap menjadi icon Jang Qiray. Begitu
pun ketika ia menggawangi program Dendang Minang. Presenternya sempat gonta-ganti, mulai dari Udin Liok, Upiak Sijontiak,
Da Coga, One Cantik Ceklabiah, Ajo Enek, Siti Manih, Malin Tirih, hingga Ari
Kamek, namun Jang Qiray tetap eksis mengawal programnya. Begitu pun dengan
program Galatiak Rang Mudo, serta ia turut
memberikan sentuhan luar biasa terhadap Masak
Sakampuang.
Perihal Masak Sakampuang, saya teringat
“legenda” yang tak mungkin terlupakan sepanjang hidup kru saat itu. Ketika rapat Jumat, dua hari
sebelum proses produksi di Timbalun, Bungus Teluk Kabung, semua konsep sudah
dipersiapkan sedemikian rupa. Skedul sudah disusun.
Sabtu sore, semua
kru sudah chek in di penginapan
Pondok Caroline. Saat itu, Refi Yuliana, sang produser, meminta agar Jang Qiray
turut menjadi talent mendampingi Raymond Moza untuk mengimbangi icon Masak Sakampuang; Yuang Tagiah (Jony
Andra) dan Imun Kamek (Dewi Nanda). Saat
rapat Jumat, Raymond Moza sudah diplot menjadi banci yang sok gaul. Hanya
saja, saat itu, Refi Yuliana tak memberitahu peran yang akan dimainkan Jang
Qiray.
Selesai syuting dan
produksi materi inti Masak Sakampuang
di Timbalun, proses selanjutnya dilakukan di pinggir pantai. Ceritanya, saat
itu, Yuang Tagiah dan istrinya Imun Kamek pulang dari Masak Sakampuang.
Kedua berjalan
pulang menyusuri pantai, namun kemudian keduanya terkejut melihat seorang banci
sok gaul (Raymond Moza) menjerit minta tolong. Temannya tenggelam di laut. Sosok
yang tenggelam itu juga seorang banci. Banci
yang tenggelam tersebut berambut panjang,
dikepang dua dan menggunakan daster.
“Prod menjadi banci,
berteman dengan bang Raymond. Prod harus menggunakan kostum ini,” kata Refi
Yuliana, sang produser, dan Misrinawati, Sekretaris Program dan Produksi Padang
TV, sambil memberikan daster berwarna hijau dan kutang (bra) berwarna hitam
kepada lelaki kelahiran 5 Maret 1978 ini.
Ketika semua orang terkejut
dan disambut tawa ngakak, Jang Qiray terlihat tenang, seakan tak ada masalah. Ia menerima permintaan tersebut dan kemudian
memainkan perannya dengan sangat total. Ratusan orang yang menyaksikan proses syuting
di pantai Caroline saat itu, justru memberikan respon luar biasa terhadap
totalitas penampilan Jang Qiray. Selesai pengambilan gambar, justru Jang Qiray
yang diserbu penonton, bukan icon Masak
Sakampuang.
Selain kegigihan dan
totalitasnya, saya juga teringat obsesi
sang produser jauh sebelum ia menikah. Ia bertekad memperbaiki rumah orang
tuanya terlebih dahulu, “sebelum menikah, saya harus bisa memperbaiki rumah
amak terlebih dahulu,” katanya, suatu ketika.
Benar saja.
Obsesinya diwujudkan jauh sebelum ia menikah, “tak banyak yang bisa perbuat
untuk keluarga,” katanya merendah, padahal menurut keluarganya, Jang Qiray
adalah sosok yang dibanggakan keluarganya.
Kerendahan hati dan
kesabarannya itu pula yang membuat Hadia Wahyuni, anak Aur Duri, jatuh hati. Sejak
mengenal gadis tersebut, kemudian melangkah dan bersepakat untuk membina
mahligai rumah tangga, Jang Qiray justru semakin lebih baik. Ada perubahan
hebat, tingkat kesabaran, ketenangan dan kreativitasnya semakin luar biasa.
Pernikahannya dengan Hadia Wahyuni memberikan seorang putri cantik, Nadira,
kini berusia 3 tahun.
*
Kebersihan hati telah mengubah segalanya
Mari gotong royong membersihkan rak
yang sudah lama tidak kita lihat dan jamah
Rangkaian kalimat di
atas merupakan pesan singkat yang dikirimkan Osman. Pesan itu masuk ke hp saya
pada 27 Mei 2009, pukul 03.27 WIB. Pesan itu dikirimkannya ketika saya dalam perjalanan darat dari Padang ke
Bandarlampung, mengikuti pertemuan
pemimpin redaksi se-Jawa Pos Group.
Saat itu, saya masih
menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Padang Ekspres,
namun beberapa hari sebelum sms tersebut
masuk ke hp saya, manajemen mengamanahkan saya menjadi Wakil General Manager
merangkap Manager Program Padang TV, terhitung 1 Juni 2009.
Sejak pesan singkat
itu saya terima, saya tak pernah menghapusnya. Hingga kini, pesan itu masih ada
di hp saya; Kebersihan hati telah
mengubah segalanya/ Mari gotong royong membersihkan rak yang sudah lama tidak
kita lihat dan jamah.
Tapi, sejak Kamis,
19 November 2015, Jang Qiray tak akan bisa lagi untuk ikut bergotong-royong
membersihkan rak yang sudah lama tidak dilihat dan dijamah tersebut. Ia telah
pergi untuk selamanya, bersama hatinya yang bersih.
Saya hanya bisa
membalas sms itu dengan seuntai goresan, yang saya tahu; ia tak akan pernah
tahu. Tak akan pernah membacanya karena saya menulisnya setelah ia pergi untuk
selamanya.
Jang Qiray. Kau antarkan kisah jadi indah. Kau
dendangkan perih jadi canda, lalu kau pergi dan tak kembali. Kami hanya bisa
menangis di sini, melepas kau pergi dengan doa. Semoga engkau sampai ke surga.
Selamat jalan
sahabat. Selamat jalan guru!*
Catatan:
Tulisan ini juga dimuat di Padang Ekspres dan Harian Umum Rakyat Sumbar, edisi Senin, 23 November 2015
No comments:
Post a Comment