Oleh: Firdaus
Puasa sudah masuk.
Hari ini, merupakan hari pertama puasa, sesuai anjuran pemerintah.
Muhammadiyah sudah melaksanakan sejak Sabtu.
Satariyah melaksanakan mulai besok. Yang pasti, masing-masing memiliki
dalilnya.
Puasa kali ini, ada dua agenda istimewa sebagai
tambahan, yakni Piala Dunia yang sedang berlangsung dan Pilpres yang masih
menjalani masa kampanye. Lainnya, tentu agenda ibadah Ramadan rutin, seperti
tahun-tahun sebelumnya.
Bagi pelajar di Kota Padang, puasa kali ini merupakan
tahun ke 11 pelaksanaan Pesantren Ramadan. Pada pesantren kali ini, Pemko
Padang mendanai kegiatan keagamaan ini senilai Rp 2 miliar. Gratiskah para
peserta pesantren? Tidak! Pemko Padang masih mentolerir panitia di setiap
mushala atau masjid untuk memungut biaya pendaftaran Rp 15 ribu, namun
kenyataan di lapangan biaya pendaftarannya berkisar Rp 20 ribu sampai Rp 40
ribu.
Pada pesantren kali ini, konon berbagai terobosan dilakukan, di antaranya menggabungkan kegiatan keagamaan dengan teknologi, di antaranya menggunakan IT secara sehat dan islami sehingga prilaku menyimpang dalam penggunaan teknologi dapat diminimalisir.
Pesantren Ramadan yang digagas Walikota Padang
(ketika itu) Fauzi Bahar, awalnya menimbulkan pro dan kontra. Masa libur
anak-anak selama Ramadan dinilai dikorbankan untuk berkegiatan, sehingga ketika
itu banyak kalangan yang memperkirakan anak-anak akan kelelahan dan membuka
peluang besar bagi mereka untuk tidak berpuasa.
Pertanyaan-pertanyaan lain pun menggelinding.
Sejumlah guru yang harus libur di saat muridnya libur, ternyata diberi tugas
untuk mengawasi anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya dengan ikut berperan
aktif di mushala dan masjid tempatnya tinggal.
Terobosan yang mulanya didukung dan ditentang
tersebut, ternyata berlahan dan pasti, terus mendapatkan tempat di
tengah-tengah masyarakat. Tak hanya sejumlah daerah di Sumbar, tetapi konsep
yang sama atau sudah dipertajam, juga dilaksanakan di sejumlah daerah lainnya
di Indonesia.
Jika saja dihubung-hubungkan, maka masa pesantren
Ramadan yang kini berlangsung 15 hari (tahun-tahun sebelumnya mencapai 22 atau
24 hari) tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pendidikan agama
yang didapatkan di sekolah.
Mari kita hitung. Rata-rata pendidikan agama di
sekolah hanya dua jam pelajaran (satu jam pelajaran hanya 45 menit) seminggu. Satu
tahun ada 52 minggu. Jika dikurangi dengan
libur semester dan libur panjang, empat minggu saja, maka sisanya 48
minggu. Itu sama artinya, 96 jam
pelajaran, atau 4320 menit. Berarti sama dengan 72 jam.
Waktu belajar di pesantren ramadan, rata-rata 5,5 jam
perhari. Jadwal tersebut meliputi saat subuh, materi setiap tingkatan dan isya
serta tarawih. Totalnya 82,5 jam. Secara
efektivitas waktu, rentang 15 hari tersebut ternyata melebihi waktu belajar
setahun atau dua semester. Aspek lainnya, materi di sekolah, biasanya meliputi
75 persen teori, 25 persen praktek. Di pesantren Ramadan justru sebaliknya,
lebih banyak praktek dibandingkan teori.
Nilai lain yang didapatkan dari pesantren ramadan, anak-anak
tetap bisa berinteraksi dengan lingkungan. Kondisi saat ini, jika pada
hari-hari biasa di luar ramadan, interaksi anak-anak di lingkungannya mulai
berkurang, karena jadwal sekolah serta
berbagai les mau pun ekskul yang bejibun. Sejak dini, anak-anak sudah
dibiasakan untuk berkegiatan di mushala atau masjid. Kehadiran anak-anak di
mushala atau masjid, biasanya juga diikuti orang tua.
Di balik berderetnya kebaikan yang terkandung dalam
pesantren ramadan, agaknya ada satu persoalan yang belum tersentuh secara utuh.
Sebelum semua guru terlibat secara aktif
untuk mengawasi pesantran ramadan tersebut, sesuai ketentuan yang sudah
ditetapkan. *
CATATAN: Tulisan
ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu,
28 Juni 2014
No comments:
Post a Comment