Oleh: Firdaus
Sumbar memiliki banyak pengalaman
buruk di pentas olahraga nasional. Di antara yang masih lekat dalam pikiran;
hengkangnya Nurhayati bersaudara ke Yogjakarta, memupus harapan tambang medali di balap sepeda. Pindahnya
sejumlah lifter Sumbar ke Jawa Tengah, jelang PON XIII/1993 karena iming-iming
bonus di Jawa Tengah yang sangat menggiurkan, Rp 25 juta untuk satu medali
emas. Bonus tertinggi pada masa itu. Yang paling buruk, berada di posisi paliang pincik (urutan ke 26 dari 26
provinsi) pada PON XV/2000, pascalepasnya Timor Timur dari Indonesia.
Setelah kejadian buruk itu, semua
orang angkat bicara. Beragam pandangan meluncur bagaikan sembilu mengiris.
Berbagai pendapat muncul kepermukaan bagaikan belati yang menghunjam jantung.
Muaranya mengarah kepada satu titik, tidak peduli.
Berjibun pendapat itu pun kemudian hilang berlahan. Suara-suara keresahan, kegelisahan terhadap dunia olahraga Sumbar terkubur bersama waktu, sejalan dengan ketidakmampuan untuk memaksa pemilik kekuasaan dan pemegang kebijakan untuk peduli pada olahraga.
Ketika para atlet Sumbar gagal
mempersembahkan prestasi, maka
suara-suara itu kembali terdengar. Suara-suara itu tidak mampu mengubah takdir karena kegagalan itu
sudah terjadi. Berbeda halnya jika wujud kepedulian itu disuarakan ketika keberpihakan
pemilik kebijakan tidak mengalokasikan kebijakannya untuk olahraga.
Saat ini, misalnya. Pernyataan
Wakil Ketua Umum II KONI Sumbar Handrianto, patut untuk menjadi perhatian
serius bagi semua kalangan. Bendera Hitam sudah pantas dikibarkan untuk mengabarkan
bahwa kematian olahraga di Sumbar sudah dimulai.
Kata Handrianto, seperti ditulis Padang Ekspres, beberapa hari lalu, bila
tak memiliki anggaran, lebih baik kantor KONI Sumbar ditutup saja,
atau silahkan pemerintah saja
yang mengelola olahraga.
Pemprov dan DPRD Sumbar merupakan
oraganisasi yang memiliki undang-undang dan pemerintah bertanggung jawab dan
berkewajiban untuk mendanai dan melakukan pembinaan. Tapi sayang, tahun
ini anggaran yang diberikan dari APBD melalui dana bansos setiap tahunnya tidak
ada untuk KONI Sumbar. Padahal anggaran KONI wajib ada setiap tahunnya
berdasarkan Undanmg-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional.
Di Indonesia, KONI Sumbar satu-satunya
yang tidak mendapatkan dana pada tahun ini. Padahal lembaga ini milik
pemerintah dan memiliki undang-undang sendiri yang mengatur. KONI berbeda
dengan LSM atau lembaga sosial yang lain.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan,
menjelaskan, Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran
keolahragaan melalui anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sedangkan Pasal 4 dari Peraturan
Pemerintah tersebut berbunyi Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan dengan
prinsip kecukupan dan berkelanjutan sesuai dengan prioritas rencana pembangunan
keolahragaan.
Untuk sumber dan alokasi
pendanaan berdasarkan pasal 5 ayat 2 mengatakan sumber pendanaan keolahragaan
dari pemerintah daerah berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Tidak adanya dana Bansos terhadap
KONI Sumbar menjadikan permasalahan yang sangat besar. Mulai dari tersendatnya
pembayaran operasional kantor dan gaji karyawan, hingga ke pendanaan terhadapt
atlet-atlet Sumbar.
Meskipun KONI memiliki dana
Rp.5,2 Miliar melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), tapi dana itu merupakan
dana penunjang kegiatan. “Tidak bisa
digunakan untuk pembayaran honor para atlet maupun honor para pegawai kantor
KONI ini,” ungkap Handrianto.
Jika dihitung mundur sesuai
jadwal umum, maka PON XIX/2016 hanya tersisa dua tahun lagi, atau hanya sekitar
setahun lagi untuk Kejurnas Pra PON atau Porwil. Waktu yang singkat untuk sebuah program yang besar. Artinya, ketiadaan
dana seperti yang diungkapkan Handrianto merupakan masalah besar untuk
persiapan atlet Sumbar.
Benar ada pernyataan bijak; uang
bukanlah segala-galanya. Hanya saja, pernyataan bijak itu bisa tidak sejalan
dengan realita. Mungkinkah berlatih terus menerus tanpa diimbangi dengan gizi
yang cukup? Dari mana mendapatkan gizi? Gizi didapatkan dengan jalan dibeli.
Membelinya dengan uang. Atau, gizi didapatkan dengan cara dikelola sendiri,
misalnya diternakkan sendiri, ditanam sendiri?
Pupuk atau pakannya dari mana?
Dibeli atau dibuat sendiri? Jika dibuat sendiri, bahan-bahannya didapatkan dari
mana? Diusahakan sendiri atau dibeli? Kalau diusahakan sendiri, maka waktu yang
ada sudah terpakai habis untuk mengelolanya. Mana lagi untuk berlatih? Jika
dibeli, uangnya dari mana? Butuh uang-kan?
Realita hari ini semakin tak bisa
diterima akal jika dikaitkan dengan apa yang dikumandangkan Pemprov Sumbar,
pada Rabu, 6 Maret 2013. Ketika itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno melaunching
Sumatera Barat siap menjadi tuan rumah
Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI tahun 2004,
di Balai Sidang Bung Hatta Kota Bukittinggi, di sela-sela pembukaan Musyawarah Olahraga Provinsi
(Musorprov) KONI Sumbar.
Menurut Irwan Prayitno ketika
itu, Pemprov Sumbar sangat serius untuk menjadikan Sumbar sebagai tuan rumah
PON XXI pada tahun 2024 mendatang. Sebagai langkah awal, pembangunan venue
berkelas nasinal akan dimulai di Kabupaten Dharmasraya, yang juga sebagai tuan
rumah Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Sumbar XIII tahun 2024 mendatang.
Keinginan gubernur tersebut mendapat dukungan dari seluruh kabupaten dan kota
di Sumbar.
Keinginan besar tersebut,
ternyata tak sebanding dengan kenyataan yang sedang berjalan. Jika
dianalogikan, maka analoginya; seseorang sangat mendambakan berteduh di rumah
besar yang belum dimiliki. Ketika hujan datang, ia tak memikirkan hujan
tersebut, pikirannya hanya ada untuk rumah megah tersebut. Lantaran tak
menghiraukan hujan, ia biarkan dirinya berhujan-hujan. Kemudian ia sakit dan terkapar sebelum sempat
membangun rumah besar tersebut.
Artinya, bukan tidak mungkin
atlet yang ada sekarang, akan hengkang
dari Sumbar karena keberadaan mereka tidak dipedulikan. Setelah itu, prestasi
olahraga Sumbar kembali terpuruk ke jurang yang paling dalam.
Jika hal ini terjadi, biasanya
semua orang akan ribut kembali. Ah, ternyata kita hanya memiliki nafsu besar
saja. *
CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi
Minggu, 23 Maret 2014
No comments:
Post a Comment