Cerpen: Firdaus Abie
Tidak! Aku tidak menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang. Kalau ketahuan Abak atau Mande, keduanya pasti berang[2].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?
Biasanya, malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande, Uni Ira dan Ardi, melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah. Masih lekat dalam ingatan ku, Abak biasanya tak banyak omong. Lebih banyak memperhatikan kami sembari menonton berita di tv. Jika ada canda kami yang keliru, baru suara beliau menghentikan kami sejenak. Nasehatnya membawa kami menembus malam. Penuh wibawa.
Mande dan Uni Ira seakan berlomba dengan malam membereskan bengkalaian kerja. Rumah harus rapi dan bersih malam itu juga. Hidangan untuk besok, juga sudah harus disediakan. Besok tak ada lagi waktu untuk berkemas.
Pagi-pagi, jelang azan Subuh, biasanya Abak dan Mande sudah bangun. Kemudian kami semua dibangunkan. Salat Subuh dulu. Setelah itu, beres-beres untuk berangkat Salat Id ke lapangan.
Sebelum berangkat, biasanya, tanpa dikomandoi, Aku, Uni Ira dan Ardi, bersimpuh berharap maaf dari Abak dan Mande. Aku genggam erat tangannya dengan kedua tanganku. Ku jatuhkan kepalaku dalam pelukan orang yang sangat ku cintai. Kasih dan sayangnya benar-benar sempurna.
Ku ingat masa itu, masa lalu. Ketika masih kanak-kanak, awalnya Aku hanya menganggap bahwa yang Aku lakukan bersama uni Ira dan Ardu hanya ritual belaka. Ketika usia makin bertambah, Aku baru menyadari bahwa itu adalah sebuah keharusan.
Pernah suatu ketika, saat masih duduk di bangku SMA, aku terlambat bangun. Wujud kemarahan Abak dan Mande, aku ditinggalkan. Aku baru bangun ketika semua sudah akan berangkat Salat Id. Ketika Aku selesai mandi, semua sudah berangkat. Aku tak sempat mendapatkan maaf darinya.
Akhirnya Aku Salat Id di masjid dekat rumah saja. Tekadku sudah bulat, Aku harus meminta maaf terlebih dahulu kepada Abak dan Mande, baru kepada orang lain. Beruntung ketika sampai di masjid, salat segera dilaksanakan. Sebelum ceramah usai, aku sudah bergerak pergi, lalu menunggu Abak dan Mande di rumah dalam balutan resah.
*
Besok lebaran. Gema takbir hilang dipulun[3] hujan. Cuaca dingin di kota kecil atas bukit, terasa panas mengalir di sudut kota. Menghadirkan resah, dibungkus gelisah. Aku menangis? Ah, menangiskah aku?
Tidak! Aku tidak menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang. Kalau ketahuan abak atau mande, keduanya pasti berang[4].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah Aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?
Tak mungkin kesempatan itu bisa kudapati lagi. Ini lebaran ke-enam tanpa keduanya. Abak sudah pergi lima belas tahun silam. Kepergian Abak membawa duka mendalam. Ketika itu, aku beradik kakak masih kecil. Masih membutuhkan figur Abak untuk membimbing dan membiayai kehidupan.
Ketika itu, Uni Ira baru kelas III SMP. Aku kelas I SMP. Ardi baru kelas IV SD. Ketika Abak meninggal, aku tak di rumah. Ketika itu Aku mengikuti pelatihan bagi pelajar di Bogor. Aku jadi utusan provinsi. Sepulang dari Bogor, Aku terkejut melihat kondisi rumah yang tidak biasanya. Ternyata Abak sudah pergi untuk selamanya, dua hari sebelumnya.
”Kami tak tahu harus menghubungi ke mana? Ketika dihubungi ke tempat pelatihanmu, katanya pelatihan sudah selesai. Mungkin ketika itu kamu sedang dalam perjalanan darat Bogor ke Padang,” kata Mande menyabarkan.
Aku, Uni Ira dan Ardi kemudian dibesarkan Mande seorang diri. Mande sangat tegar mengambil-alih kemudi perahu keluarga. Hantaman gelombang dihadangnya. Terpaan badai dilaluinya.
Tiga puluh tahun dikayuhnya perahu itu tanpa menyerah demi menyeberangkan anak-anaknya ke dermaga impian. Tiga puluh tahun dihadangnya terpaan badai tanpa sedikit pun tergoyahkan. Mande adalah sosok yang kuat. Tegar. Tegas dan selalu dekat dengan kehidupan agama. Mande kemudian menyusul abak. Ia tak mampu melawan takdir. Tak kuasa menolak kekuasaan sang penguasa alam. Mande meninggal dunia seiring komplikasi penyakit di usia tuanya.
*
Biasanya, malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande, Uni Ira dan Ardi, melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah.
Ini lebaran ke enam tanpa Abak dan Mande. Mande pergi setelah tiga puluh tahun sejak kepergian Abak untuk selamanya.
Di sudut kota, aku menerawang. Pikiranku menembus kepekatan malam menuju pulang. Pulang? Ah, pulang ke mana? Waktu telah menggerus kebersamaan dulu. Uni Ira sudah pindah ke Semarang. Uni ikut suaminya. Ketika Mande masih ada, uni sering pulang. Setidaknya sekali setahun. Kalau pulang, biasanya sebelum puasa, baru jelang lebaran suaminya menyusul.
Aku harus pulang, menjemput kenangan ke rumah, tempat dulu kami berbagi rasa, tempat dulu kami menjalani kehidupan yang penuh suka dan duka. Tapi, adakahkah kenangan itu tersisa di sana? Rasanya tidak.
Besok lebaran. Gema takbir hilang dipulun hujan. Aku ingin menjemput masa lalu, namun adakah tertinggal di rumah yang tak pernah kami tempat bersama?
Ah, aku tak bisa menyimpan tangis di sudut kota ini. Ada aliran panas di sudut mata disaat cuaca dingin ini. *
Lubuaksikapiang, 19 – 21 September 2009.
[1] Diselimuti, ditutup
CATATAN: Cerpen ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 28 Agustus 2011
Besok
lebaran. Gema takbir hilang dipulun[1] hujan. Cuaca dingin di
kota kecil atas bukit, terasa panas mengalir di sudut kota. Menghadirkan resah,
dibungkus gelisah. Aku menangis?
Tidak! Aku tidak menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang. Kalau ketahuan Abak atau Mande, keduanya pasti berang[2].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?
Biasanya, malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande, Uni Ira dan Ardi, melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah. Masih lekat dalam ingatan ku, Abak biasanya tak banyak omong. Lebih banyak memperhatikan kami sembari menonton berita di tv. Jika ada canda kami yang keliru, baru suara beliau menghentikan kami sejenak. Nasehatnya membawa kami menembus malam. Penuh wibawa.
Mande dan Uni Ira seakan berlomba dengan malam membereskan bengkalaian kerja. Rumah harus rapi dan bersih malam itu juga. Hidangan untuk besok, juga sudah harus disediakan. Besok tak ada lagi waktu untuk berkemas.
Pagi-pagi, jelang azan Subuh, biasanya Abak dan Mande sudah bangun. Kemudian kami semua dibangunkan. Salat Subuh dulu. Setelah itu, beres-beres untuk berangkat Salat Id ke lapangan.
Sebelum berangkat, biasanya, tanpa dikomandoi, Aku, Uni Ira dan Ardi, bersimpuh berharap maaf dari Abak dan Mande. Aku genggam erat tangannya dengan kedua tanganku. Ku jatuhkan kepalaku dalam pelukan orang yang sangat ku cintai. Kasih dan sayangnya benar-benar sempurna.
Ku ingat masa itu, masa lalu. Ketika masih kanak-kanak, awalnya Aku hanya menganggap bahwa yang Aku lakukan bersama uni Ira dan Ardu hanya ritual belaka. Ketika usia makin bertambah, Aku baru menyadari bahwa itu adalah sebuah keharusan.
Pernah suatu ketika, saat masih duduk di bangku SMA, aku terlambat bangun. Wujud kemarahan Abak dan Mande, aku ditinggalkan. Aku baru bangun ketika semua sudah akan berangkat Salat Id. Ketika Aku selesai mandi, semua sudah berangkat. Aku tak sempat mendapatkan maaf darinya.
Akhirnya Aku Salat Id di masjid dekat rumah saja. Tekadku sudah bulat, Aku harus meminta maaf terlebih dahulu kepada Abak dan Mande, baru kepada orang lain. Beruntung ketika sampai di masjid, salat segera dilaksanakan. Sebelum ceramah usai, aku sudah bergerak pergi, lalu menunggu Abak dan Mande di rumah dalam balutan resah.
*
Besok lebaran. Gema takbir hilang dipulun[3] hujan. Cuaca dingin di kota kecil atas bukit, terasa panas mengalir di sudut kota. Menghadirkan resah, dibungkus gelisah. Aku menangis? Ah, menangiskah aku?
Tidak! Aku tidak menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang. Kalau ketahuan abak atau mande, keduanya pasti berang[4].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah Aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?
Tak mungkin kesempatan itu bisa kudapati lagi. Ini lebaran ke-enam tanpa keduanya. Abak sudah pergi lima belas tahun silam. Kepergian Abak membawa duka mendalam. Ketika itu, aku beradik kakak masih kecil. Masih membutuhkan figur Abak untuk membimbing dan membiayai kehidupan.
Ketika itu, Uni Ira baru kelas III SMP. Aku kelas I SMP. Ardi baru kelas IV SD. Ketika Abak meninggal, aku tak di rumah. Ketika itu Aku mengikuti pelatihan bagi pelajar di Bogor. Aku jadi utusan provinsi. Sepulang dari Bogor, Aku terkejut melihat kondisi rumah yang tidak biasanya. Ternyata Abak sudah pergi untuk selamanya, dua hari sebelumnya.
”Kami tak tahu harus menghubungi ke mana? Ketika dihubungi ke tempat pelatihanmu, katanya pelatihan sudah selesai. Mungkin ketika itu kamu sedang dalam perjalanan darat Bogor ke Padang,” kata Mande menyabarkan.
Aku, Uni Ira dan Ardi kemudian dibesarkan Mande seorang diri. Mande sangat tegar mengambil-alih kemudi perahu keluarga. Hantaman gelombang dihadangnya. Terpaan badai dilaluinya.
Tiga puluh tahun dikayuhnya perahu itu tanpa menyerah demi menyeberangkan anak-anaknya ke dermaga impian. Tiga puluh tahun dihadangnya terpaan badai tanpa sedikit pun tergoyahkan. Mande adalah sosok yang kuat. Tegar. Tegas dan selalu dekat dengan kehidupan agama. Mande kemudian menyusul abak. Ia tak mampu melawan takdir. Tak kuasa menolak kekuasaan sang penguasa alam. Mande meninggal dunia seiring komplikasi penyakit di usia tuanya.
*
Biasanya, malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande, Uni Ira dan Ardi, melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah.
Ini lebaran ke enam tanpa Abak dan Mande. Mande pergi setelah tiga puluh tahun sejak kepergian Abak untuk selamanya.
Di sudut kota, aku menerawang. Pikiranku menembus kepekatan malam menuju pulang. Pulang? Ah, pulang ke mana? Waktu telah menggerus kebersamaan dulu. Uni Ira sudah pindah ke Semarang. Uni ikut suaminya. Ketika Mande masih ada, uni sering pulang. Setidaknya sekali setahun. Kalau pulang, biasanya sebelum puasa, baru jelang lebaran suaminya menyusul.
Begitu pun
Ardi. Ketika ia kuliah di Bandung, setidaknya sekali dua hari ia menelpon
mande. Ia sangat manja. Kalau musim libur, ia tak pernah mengambil semester
pendek. Ia lebih memilih untuk pulang dan kemudian bermanja-manja dengan mande.
Aku harus pulang, menjemput kenangan ke rumah, tempat dulu kami berbagi rasa, tempat dulu kami menjalani kehidupan yang penuh suka dan duka. Tapi, adakahkah kenangan itu tersisa di sana? Rasanya tidak.
Kami baru
bisa merealisasikan sebuah rumah impian keluarga setelah empat tahun Mande
pergi. Rumah ini menjadi mimpi panjang kami sejak dulu. Uni Ira, Aku dan Ardi
baru bisa patungan untuk membeli rumah dan kemudian dijadikan sebagai rumah tua
kami setelah Abak dan Mande meninggal.
Ketika Abak
dan Mande meninggal, jenazahnya disemayamkan di rumah kontrakan. Sejak usaha Abak
bangkrut, rumah yang dibangun untuk kehidupan kami terpaksa dijual untuk
membayar hutang. Lalu kami mengontrak dari satu rumah ke rumah yang lain.
Berpindah-pindah rumah. Berganti-ganti tempat tinggal.
Besok lebaran. Gema takbir hilang dipulun hujan. Aku ingin menjemput masa lalu, namun adakah tertinggal di rumah yang tak pernah kami tempat bersama?
Ah, aku tak bisa menyimpan tangis di sudut kota ini. Ada aliran panas di sudut mata disaat cuaca dingin ini. *
Lubuaksikapiang, 19 – 21 September 2009.
Padang, 23 Agustus 2011
[1] Diselimuti, ditutup
[2] Marah
[3]
Diselimuti, ditutup
[4] Marah
CATATAN: Cerpen ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 28 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment