Oleh: Firdaus
Kejadian di dua tempat berbeda,
sepekan ini, sangat menyentak. Peristiwa itu sekaligus mengingatkan saya pada masa lalu. Masa ketika
masih kanak-kanak. Antara percaya dan tidak percaya bercampur aduk menjadi
satu, namun yang terjadi sepekan ini adalah kejadian nyata.
Dimasa itu, ketika ada
perselisihan dalam saat bermain, terutama ketika ada yang merasa dicurangi ---mungkin
karena memajukan gundunya, menyembunyikan kelereng yang sedang dimainkan, memparo karet atau gambar-gambar dan
kemudian disembunyikan---, maka yang merasa dicurangi akan “menuntut” yang
dituduh untuk membuktikan bahwa ia tidak curang.
“Mau sumpah di bawah Al Qur’an?”
gertak yang merasa dicurangi.
Pada periode berikutnya,
tantangan untuk bersumpah lebih diperkeras. Bagi mereka yang berbuat curang,
ditantang untuk bersumpah menginjak Al Qur’an. Hop! Ancaman itu manjur.
Jangankan melakukannya, mendengar saja sudah membuat bulu tengkuk berdiri.
Benar-benar menakutkan jika hal itu terjadi.
Sekali pun dimasa itu saya dan
kawan-kawan tergolong banyak parangai, namun sedikit banyaknya
tetap tahu kalau Al Qur’an tak boleh disepelekan. Pelajaran dan pemahaman yang
diberikan selama mengaji di surau, saya rasa cukup mampu untuk membentengi
diri. Tidak semau-maunya terhadap Al Qur’an.
Jika masih ada di antara kami
yang tetap “ngotot” untuk berprilaku curang, jahat dan menang sendiri, maka
biasanya kami akan memberondongnya dengan kalimat yang lebih menghunjam. Kami
akan menyebutnya sebagai orang yang tak beragama; urang indak baugamo.
Jika itu sudah ditujukan pada
seorang kawan, maka ketika itu juga ia akan ditinggalkan oleh yang lain. Semua
akan kembali seperti sedia kala jika ia menyadari kesalahannya dan meminta maaf
kepada yang main ketika itu. Setelah itu semuanya kembali seperti semula.
Tudahan sebagai urang indak baugamo ---sekali pun
tuduhan sesaat dan hanya pada saat permainan yang dicurangi ketika itu saja---
namun tetap saja menjadi bumerang bagi yang curang, sekaligus senjata bagi yang
lain agar tak dicurangi.
Dua ancaman itu sangat kuat untuk
membentengi permainan agar tak ada yang curang. Saya sempat berpikir, sampai
kapan pun tak akan ada yang berani menginjak Al Qur’an untuk bersumpah
---kecuali bersumpah di bawah Al Qur’an--- dan hidup tanpa tuntunan agama.
Kebiasaan saat di surau sangat mengagungkan Al Qur’an. Dipegang dengan tangan
kanan, didekapkan di dada. Usai mengaji, setelah menutup Al Qur’an, juga tak
lupa mencium dan kemudian meletakan sejenak di kening.
Dugaan saya meleset 30-an tahun
kemudian. Kejadian di SMAN 1 Bonjol, Kabupaten Pasaman, dan keputusan salah
seorang PNS di Dharmasraya untuk menganut paham atheis (anti tuhan), sangatlah
mengejutkan. Sangat menyentak.
Di sekolah itu, seorang guru yang
merasa diolok-olok sejumlah siswa, ternyata menghukum siswanya dengan perintah
bersumpah dengan cara menginjak Al Qur’an. Sebuah sumpah sangat keterlaluan
yang diajukan seorang pendidik. Sekali pun semuanya takut menginjak Al Qur’an,
namun karena merasa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan sang guru, mereka
dipaksa untuk tetap bersumpah dengan cara menginjak Al Qur’an sembari tetap
memakai sepatu. Konon sejak kejadian, tunas muda bangsa itu mengalami trauma.
Kejiwaan mereka terguncang.
Di tahun 1999 lalu, negeri ini
juga dikejutkan kejadian buruk terkait agama. Seorang pelajar MAN di Padang
dibaptis untuk pindah agama ke
Kristen. Konon salah seorang aktor
kristenisasi itu juga putra daerah. Sejak kejadian itu, di beberapa tempat di
Sumbar, mencuat persoalan kristenisasi.
Pertanda apakah ini? Sebuah
persoalan besar ternyata sudah menghadang di depan mata. Jika dianalogikan,
ternyata api dalam sekam itu sudah membara. Berlahan sekam yang ada sudah mulai
gosong. Itu artinya, bukan tidak mungkin persoalan-persoalan lain, mungkin
lebih buruk lagi, akan dan sedang berlangsung dalam kehidupan masyarakat,
terutama di lapisan akar rumput. Nilai-nilai kehidupan beragama di negeri ini
sudah terkikis.
Memang ilustrasi yang terjadi
sepekan ini hanya dua kejadian, tetapi bukan tidak mungkin persoalan yang lebih
parah akan dan sedang berlangsung. Bisa saja tidak muncul kepermukaan karena
belum terungkap. Sekali terungkap membuat semua terbelalak. *
No comments:
Post a Comment