Catatan: Firdaus
Apalah
artinya sebuah nama…
Benarkah tidak
penting hakikat sebuah nama? Barangkali Willliam
Shakespeare, ilmuwan asal Prancis, menganggap bahwa identitas tidak penting.
Sesuaikah “paham” yang dianutnya itu dengan kita?
Semasa hidup,
nabi Muhammad SAW pernah meminta umatnya untuk memberikan nama anak-anaknya
dengan nama yang baik. Nama adalah bagian dari doa, dan sekaligus menjadi
identitas diri.
Di ranah
Minang, identitas sangat mutlak. Tak bisa ditawar-tawar. Identitas adalah
cerminan citra diri seseorang atau suatu bangsa. Bagi seorang anak di Ranah
Minang, lekat dengan identitas dirinya tersebut. Ketek banamo, gadang bagala.
Tapi apa
jadinya jika identitas itu disamarkan atau sampai kabur? Inilah persoalan yang
jamak terjadi di Sumbar. Sejak dua puluh sampai tiga puluh tahun belakangan,
identitas daerah sudah banyak yang kabur. Berubah tak karuan. Identitas daerah
yang biasanya tercermin dari nama daerah, berubah tanpa makna. Ada juga yang
berubah dengan identitas yang mengindonesia.
Tak sedikit
pula yang hilang di jalan karena
ketidakpedulian terhadap identitas tersebut.
Kaburnya identitas itu, mulanya tidak disengaja. Hanya
karena ingin gagah-gagahan, nama yang ada pun dipermak untuk diindonesiakan. Sejak itu,
Identitas yang
kehilangan makna itu, di antaranya dengan mengganti sebagian yang tidak sesuai.
Jadilah Parak Laweh menjadi Parak Lawas.
Nama aslinya, Parak Laweh bermakna bahwa kawasan itu dulunya berasal dari
sebuah perkebunan atau ladang yang sangat besar atau luas. Ketika diganti
menjadi Parak Lawas, makna justru menjadi rancu. Kata Lawas justru berarti
lama.
Daerah yang
dulunya Parak Karambia. Karambia berarti kelapa. Kemudian karena ingin dianggap
gagah lantaran berbahasa Indonesia, namanya berganti menjadi Parak Kerambil.
Adakah arti kerambil sama dengan kepala? Kenapa tidak Parak Kelapa saja?
Ada juga
perubahan ke bahasa Indonesia yang tidak mengubah makna. Limau Manih berganti
menjadi Limau Manis. Hal ini disebabkan manih berarti manis. Pertanyaannya,
kenapa kata limau tidak diganti menjadi jeruk?
Begitu juga
dengan Simpang Ampek. Nama ini belakangan berganti menjadi Simpang Empat. Kalau
memang harus diganti, kenapa knapa tidak jadi perempatan saja? Aia Bangih menjadi Air Bangis. Adakah makna
bangis?
Sejak
perubahan yang dilakukan karena maksud gagah-gagahan, sejak itu pula terjadi
kerancuan yang luar biasa. Nama daerah dengan identitasnya sudah kabur. Keadaan
ini tentu mengaburkan pula sejarah keberadaan daerah bersangkutan. Tak banyak
yang sadar. Tak banyak pula daerah yang peduli dengan persoalan ini.
Ketika
ketidakpedulian terus berlangsung, ternyata angin segar berhembus dari
Simpangampek yang sempat berganti menjadi Simpang Empat. Bupati Pasaman Barat H
Baharuddin R memprakarsai untuk
mengembalikan nama-nama daerah yang sudah centang
parenang berganti dengan nama-nama yang dikombinasikan.
Pengembalian nama daerah ke identitas
asli itu pun diatur dengan aturan hukum yang jelas dan pasti, sejalan
keberadaan Perda Nagari yang sudah disahkan DPRD Pasaman Barat.
Kehadiran Perda Nagari itu sekaligus
mengembalikan nama-nama daerah di Pasaman Barat ke nama aslinya. Simpang Empat
dikembalikan menjadi Simpang Ampek. Silaping kembali jadi Silapiang, Tanjung
Aur kembali ke Tanjuang Aua, Ujung Gading kembali jadi Ujuang Gadang, Suka
Menanti menjadi Suko Mananti, Padang Tujuh menjadi Padang Tujuah dan
lain-lainnya. Semua kembali ke asalnya.
Pengembalian nama-nama itu, akan lebih
tepat lagi jika diikuti dengan penulisan sesuai
kaidah yang benar. Sesuai panduan penulisan nama-nama daerah, perihal
penulisan nama daerah tersebut memiliki rumusan sederhana.
Rumusannya, jika nama daerah tersebut
terdiri dari dua suku kata, maka penulisannya harus digabungkan, kecuali ada
penunjuk arah. Misalnya, Ujuang Gadiang harus ditulis menjadi Ujuanggadiang.
Simpang Ampek ditulis jadi Simpang Ampek. Padang Tujuah ditulis Padangtujuah.
Lubuak Aluang ditulis jadi Lubuakaluang. Jika ada penunjuk arah mata angin,
sekali pun dua suku kata, maka tetap ditulis terpisah. Pasaman Barat tetap
ditulis jadi Pasaman Barat.
Jika terdiri dari tiga suka kata atau
lebih, maka tetap ditulis seperti sesuai dengan suku kata tersebut. Linggo Sari
Baganti tetap ditulis Linggo Sari Baganti. Tidak ada suku kata yang
digabungkan. Padangpanjang Timur tetap ditulis Padangpanjang Timur, tidak
Padang Panjang Timur karena pada hakikatnya Padangpanjang sudah menjadi satu
kesatuan, sama halnya dengan Bukittinggi (seharusnya Bukiktinggi,---red) yang
berasal dari kata Bukik dan Tinggi.
Yang pasti, Pemkab Pasaman Barat yang
dinahkodai H Baharuddin R telah melakukan terobosan bernilai besar dalam upaya
meletakkan kerangka dasar pemahaman dan hakikat identitas bagi masyarakat
Pasaman Barat pada umumnya, generasi muda pada khususnya.
Menariknya lagi, kerangka dan kebijakan
itu justru dimunculkan dan kemudian didukung sepenuhnya oleh wakil rakyat
disaat orang lain (daerah lain) tidak pernah memperhatikan persoalan ini.
Tak berlebihan jika apresiasi sampaikan
kepada Bupati Baharuddin, wakil bupati dan DPRD untuk terobosan cerdas dalam
bentuk kepedulian ini.*
No comments:
Post a Comment