Oleh: Firdaus
Berakit-rakit dahulu..
Berenang-renang ke tepian..
Bersakit-sakit dahulu..
Bersenang-senang sendirian..
Maaf!
Kali ini saya
memplesetkan pantun yang sudah begitu populer di kalangan masyarakat. Rasanya
tak ada yang tak pernah menyampaikan, atau minimal mendengar pantun aslinya.
Lalu, kenapa saya plesetkan?
Maaf!
Sekali lagi, maaf!
Sepekan lalu saya jumpa teman lama. Sebenarnya saya
menganggap ia senior, sebab dari usia dan pengalaman, ia jauh di atas saya
dalam banyak hal. Saya yang bukan siapa-siapa, tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengannya.
Hanya saja, ia tak
mau diposisikan sebagai senior. Ia teman main sejak kecil, sehingga sehari-hari
ia menganggap saya sebagai teman, dan “memaksa” saya untuk tetap menganggap
dirinya sebagai seorang teman. Bukan sebagai senior, seperti yang saya rasakan.
Pertemuan sepekan
lalu sangat berarti bagi saya. Ketika sedang asyik bercerita tentang banyak
hal, tiba-tiba handponenya berdering. Ia angkat hp-nya, lalu mengucapkan salam
dan kemudian bicara panjang lebar.
Sekitar lima menit
bicara, tiba-tiba ia berdiri. Kemudian melangkah menjauh dari tempat semula
kami duduk. Lama ia bicara di hp-nya. Tekanan suaranya turun naik. Hanya saja,
saya tak bisa menyimak lebih detail apa yang dibicarakannya.
“Begitulah jika
sejak awal tak jelas aturan mainnya,” katanya begitu duduk kembali di tempat
duduknya semula.
Saya tak paham apa
maksudnya.
Kemudian ia bicara
panjang lebar. Katanya, barusan ia ditelpon sahabatnya. Sahabatnya tersebut
merasa dikerjai. Ia tak bisa berbuat banyak. Mau menarik diri sudah kepalang
tanggung. Tetap bertahan, harus kuat-kuat untuk menahan diri.
Cerita dari sang
teman, sahabatnya tersebut memulai usaha
patungan dengan kawan-kawannya, tujuh tahun silam. Mulanya, teman saya
tersebut melarang sahabatnya. Ia justru menganjurkan agar buka usaha sendiri, sebab ia memiliki
kekuatan modal untuk buka usaha. Kemudian bayar orang secara profesional, atau
tanggani sendiri.
Ia tak mau. Katanya,
usaha patungan ini dimaksudkan agar kebersamaan yang sudah terjalin selama ini
tetap berjalan, bisa berusaha bersama-sama. Kelebihan yang dimiliki
masing-masing bisa saling memperkuat.
Kemudian usaha itu
dijalankan secara bersama. Perjuangan membangun usaha sangat berat. Satu sama
lain tunggang-langgang.
Perjuangan berat itu membuahkan hasil. Memasuki tahun ke empat, prospek usaha terus
membaik. Tahun-tahun berikutnya terus membaik.
Hanya saja, prospek
membaik itu bertolak belakang dengan suasana kerja. Sejak usaha membaik,
suasana kerja di lingkungan sahabat teman saya itu cenderung memburuk. Rasa
kebersamaan menipis, kecurigaan mulai terjadi antara satu sama lain.
Hitung-hitung “pembagian” sudah mulai terasa.
“Inilah kecemasan
dan sekaligus alasan utama saya melarangnya. Ketika hendak memulai dulu,”
katanya.
Teman lama saya itu
pun kemudian membeberkan. Katanya, biasanya dalam sebuah kebersamaan hanya
terjalin baik disaat satu sama lain memiliki kepentingan seirama; keluar dari
kesulitan.
Pada saat-saat
sulit, satu sama lain saling bergandengan tangan, bahu-membahu dan bergerak
seirama untuk keluar dari kesulitan. Ketika sudah lepas dari kesulitan,
biasanya irama gendang sudah sumbang.
Analoginya, cobalah
perhatikan sekelompok orang menyeberangi sungai yang berair deras. Satu sama
lain berpegangan tangan untuk menguatkan satu sama lain. Ketika sudah sampai di
seberang, maka satu sama lain akan mengurus diri sendiri-sendiri.
Jika dihubungkan
dengan sebuah usaha yang dijalankan bersama, maka kecenderungan tak lagi untuk
mempertahankan atau meningkatkan usaha, tetapi saling berebut kekuasaan. Pola
panjat pinang pun dimainkan, menginjak kawan untuk bisa sampai ke atas dan
kemudian mengambil barang-barang yang tersedia. Juga saling mencurigai satu
sama lain. Tak lagi saling menghargai. Itulah; Berakit-rakit dahulu/ Berenang-renang ke tepian/ Bersakit-sakit dahulu/
Bersenang-senang sendirian..
Kemudian kawan lama
saya itu pun mengutip pesan bijak Confusius, seorang filsuf asal China.
Katanya; Dunia tidak dapat ditaklukkan dengan pedang, tetapi hanya dengan
kebijakan, keadilan, dan sikap saling percaya yang menyebabkan manusia secara
jujur serta tulus patuh dan bekerjasama dengan penguasa dan dengan sesama
manusia demi kebaikan semua.*
Catatan: Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU Padang Ekspres, edisi Minggu, 28 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment