Oleh : Arbi Tanjung*
Pencang pencong gerak mulut membacanya.Geli sendiri dibuatnya
Judul : Indak Talok Den Kanai Ati
Penulis : Firdaus Abie
Penerbit : Rumah Kayu Pustaka (Padang)
Tahun Terbit : 2020
Halaman : xvi + 208
ISBN : 978-6006-0738-26-0
Karakter Paradise dalam novel berhasil menggiring pembaca untuk membayangkan tokoh-tokoh dalam sinema elektronik (sinetron) yang saban hari mendatangi ruang keluarga lewat layar kaca. Paradise, tokoh yang serba kekurangan secara materi. Namun, memiliki kepribadian yang patut dicontoh. Punya kemampuan khusus yang jarang dimiliki orang lain. Suka menulis, pemenang aneka lomba menulis, tulisan terbit di mading sekolah, dan media cetak. Mahir menulis surat cinta untuk orang lain.
Perawakannya tak menarik, kurus kerempeng. Berbaju seragam lapuk. Bercelana tum bok (ditempel-tempel). Masuk daftar kategori keluarga tak mampu, penyebutan lain untuk ‘miskin’ oleh pendata sensus. Demi ongkos kendaraan pergi sekolah, ia ikut bantu ayah bekerja di siang hari. Malam hari, berperan sebagai petugas ronda berbayar. Pendapatan dari pekerjaan itu hanya cukup untuk biaya ongkos pergi sekolah saja, sedangkan untuk pulang tetap harus berjalan kaki.
Perawakan dan nasib yang ditakdirkan padanya menjadi bahan cemoohan empuk oleh orang lain, terutama kawan di sekolah. Ia di bully, dikucilkan, tak dianggap ada. Tak dipedulikan. Lazimnya pengalaman anak remaja: ia juga jatuh cinta, sekaligus merasakan kecewa. Tiga kali jatuh cinta. Ketiganya ditolak. Dita menggantung jawaban tanpa penjelasan. Resti menolak dengan alasan umurnya lebih tua. Varistha lebih memilih tetap sebagai teman saja, sebab ia punya lelaki dambaan lain. Terakhir, ia memendam rasa tanpa berani mengungkapkannya pada Erika. Sampai ke ujung cerita.
Novel ini berisi cerita yang biasa-biasa saja. Tentang dunia remaja dengan segala pernak-perniknya. Namun, jadi istimewa ketika penuturan cerita menggunakan bahasa yang tak biasa: bahasa daerah. Bahasa Minangkabau jadi bahasa pengantar untuk 33 bagian isi buku. Sampai-sampai 3 dari 9 testimoni terhadap buku ini pun menggunakan bahasa yang sama: bahasa Minang (Lihat testimon Mak Kari, Sastry Y Bakrie dan Sri Gustinawati, hlm.vi-vii)
Sebagaimana yang diungkap penulis, tujuan novel ini diterbitkan untuk mengenalkan bahasa Minang kepada kaum muda dan mengingatkan yang tua-tua agar turut membantu melestarikannya. Novel ko untuak sado urang nan katuju mambaco, untuang-untuang dibaco pulo dek Rang Mudo kini. Rasonyo patuik sangaik Rang Mudo ari ko mambaco, sabab sambuah Rang Mudo Minang kini indak mangarati jo Bahaso Minang. Selain tu, lah saungguak gaek pulo kato-kato Bahaso Minang ko nan alah dipagunoan dek urang la-I (hlm.xiii).
Setumpuk Kemirisan dalam Cerita
Isi keseluruhan cerita dalam buku ini bagaikan sekumpulan ragam kemirisan. Kemirisan keadaan hidup yang kerap dijumpai dalam keseharian. Sejak dari halaman pertama, kemirisan telah dibentangkan. Betapa tidak! Pak Bodo (hlm.1-11), terang benderang menjadi potret kemirisan dunia pendidikan, terutama karakter pendidik. Sikap yang otoriter, komunikasi searah, hukum fisik yang dianggap sebagai satu-satunya jalan pengubah kepribadian, dari yang salah jadi baik.
Kemirisan lain yakni proses belajar yang penuh ancaman dan ketakutan. “Ibuk agiah wakatu duo ari lai untuak mancari Paradise. Kalau indak basobok, kalian sadonyo ibuk hukum” (hlm.38-39). “Waang carinyo sampai basuo”. Apo juo nan wa-ang pikian lai?Kok duo hari lai indak basuo tanggung risiko dek Ang” (hlm.42). Satiok jam baraja jo liau, kalaihnyo aniang sajo. Bantuak indak baurang se. Takauik dek kanai pilin pusek. Takuik dek dijamua baujan bapaneh (hlm.5)
Bahkan, fakta lingkungan sekitar sekolah yang kacau. Satiok pagi, sakola tu babaun gatah dek pabarik gatah nan indak jauah dari sakola. Baunnyo indak tabado. Aia di batang aia tu itam pakek, tu baluluak. Ampun mancaliaknyo (hlm.5)
Meminjam sebuah judul buku Orang Miskin Dilarang Sekolah. Ini juga tergambar secara baik dalam novel. Katiko tu, indak ado pitih mambali baju jo sarawa sakola. Lai dibali di koperasi sakola, tapi pitih indak cukuik, hanyo tabayia saparampek, tapi baju jo sarawa tu alun buliah dibaok pulang (hlm.33)
Jumlah 33 bagian isi buku juga sebuah kemirisan? Angka yang terkesan berbau religius ,seakan sarat unsur keilahiyahan (semisal jumlah zikir bagi umat Islam). Apalagi bila mau usil, mengaitkan angka 33 dengan nama tokoh utama: Paradise (Surga). Bukankah secara umum surga dipahami sebagai tempat kembali bagi orang-orang /hamba Tuhan yang selalu berbuat baik. Apakah ini sebuah kesengajaan atau tidak. Penulis buku (Firdaus Abie) yang lebih tahu.
Jatuh Tapai Usaha Ayah : Sebagai Catatan Saja
Bagi saya mungkin juga bagi pembaca lain, ada yang mengganjal dan meski saya catatkan terhadap buku ini. Pertama, pengulangan di beberapa bagian buku tentang narasi atas kejatuh tapaian usaha ayah Paradise. Ini tampak sebagai ‘nyinyir’ yang mengganggu kenikmatan pembacaan; kedua, banyak kosa kata bahasa yang terasa jauh masa /periode pemakaiannya, kini jarang terdengar, semisal: baleneang, dipiriak dlsb. Ini semacam pembangkit ‘gairah’ untuk melanjutkan pembacaan. Barangkali akan lebih ‘menyehatkan’ otot-otot wajah ketika membacanya.
Barangkali, catatan yang telah diantarkan ini, bisa menjadi ruang yang nantinya dapat kita diskusikan sembari mengopi.
*Penulis adalah Penggagas dan
pendiri Pasaman Boekoe (P-Boekoe), domisili di Bonjol, Pasaman. Resensi buku ini dimuat pada Harian Umum Rakyat Sumbar.
No comments:
Post a Comment