Pesan singkat yang dikirim senior saya di dunia kewartawanan ketika berkiprah di Harian Semangat; Nofi Sastera, mengabarkan H Zainuddin Tamir Koto yang akrab dengan sapaan Zatako, meninggal dunia, membuat saya tersentak.
Telah lama saya tak jumpa Pak Haji ----sapaan akrab saya pada H Zatako--. Cukup lama juga tak dengar kabar tentang beliau. Terakhir kali berjumpa ----saya tak ingat lagi jadwalnya--- namun yang saya ingat, terakhir kali bertemu beliau di Stadion Teladan Medan. Ketika itu Semen Padang menjadi tamu PSMS pada Divisi Utama Liga Indonesia.
Yang saya ingat ketika itu, Semen
Padang menuntaskan pertandingan dengan kemenangan. Wajah wartawan olahraga
senior itu tampak berseri-seri. Saya pun menggodanya, “wartawan Medan kok
senang timnya kalah?” kata saya.
“Saya wartawan yang menetap di
Medan, tapi darah saya masih darah rang Minang,” jawabnya.
Itulah pertemuan terakhir. Setelah
itu, saya tak pernah lagi jumpa Pak Haji. Kabarnya pun tak pernah saya
dapatkan, sampai kemudian saya mendapatkan kabar duka, kepergian pak haji untuk
selamanya.
Bagi saya, yang memulai karir
kewartawanan dari liputan olahraga, sosok pak haji adalah sosok unik, menarik
dan patut dijadikan sebagai teladan. Saya mengenalnya jauh sebelumnya saya
menjadi wartawan. Saya mengenal pak haji dari berita-berita olahraganya yang
dimuat berbagai harian terbitan Padang, sejak tahun 1980-an.
Ketika pertama kali bertemu dan
memperkenalkan diri padanya, juga di lapangan hijau. Hanya saja, saya tak tahu
pasti kejadian itu. Yang saya ingat adalah, saya ketika itu meliput partai
pertandingan PSP Padang, saat laga divisi II PSSI.
No comments:
Post a Comment