Oleh: Firdaus Abie
Saya
merasa, tergolong orang yang beruntung. Alhamdulillah.
Ketika
diterima menjadi wartawan di Harian Umum Semangat, Padang, surat lamaran saya
ditolak, tapi saya justru diterima. Cara menerimanya, bagi saya tergolong aneh.
Saya tertegun. Sang Pemred tersebut mengembalikan berkas lamaran saya.
“Coba
bung ingat lagi. Saya tak pernah meminta lamaran menjadi wartawan, tetapi saya
hanya mengatakan, jika ada kemauan dan kemampuan, silakan datang ke sini. Itu
yang saya katakan, bung,” katanya sembari memaksaku untuk mengingat kembali apa
yang disampaikan, beberapa hari sebelumnya.
Ketika
itu, saya merupakan salah satu peserta Pelatihan Jurnalistik AMPI se-Sumatera
dan Jawa. Pelatihan berlangsung sepekan, di Padang, pertengahan tahun 1991.
Saya memperoleh kesempatan hebat,
menjadi salah seorang utusan DPD AMPI Sumatera Barat. Padahal, ketika itu, saya
baru tamat SMA. Belum mengenal AMPI, apalagi pengurusnya.
Dua
hari sebelum pelatihan berakhir, semua peserta dibawa kunjungan ke media cetak.
Ketika itu ke Haluan, Singgalang dan Semangat. Ketika di Semangat, Yanuar
Abdullah menawarkan kesempatan untuk menjadi wartawan, seperti saya jelaskan di
atas.
Saya
kemudian meninggalkan sang Pemred. Di kamera poket saya, ada beberapa foto
lepas yang langsung saya bawa ke studio untuk dicetak. Sambil menunggu foto
selesai, saya ke Pasar Raya. Mewawancara tentang harga Sembako.
Sekembali
dari Pasar Raya, foto yang saya cetak ternyata sudah selesai. Saya balik ke
kantor Semangat, tapi belum menemui Pak Yanuar Abdullah. Saya pinjam mesin
ketik, lalu hasil wawancara di Pasar Raya saya jadikan berita. Satu berita
selesai. Setelah itu saya buat berita lain.
Saya
menulis berita olahraga. Ketika itu, ada kejuaraan bulutangkis se-Kota Padang,
diadakan Pemuda Dalam Gaduang, Lubukbegalung, Padang, tempat saya tinggal.
Ketua Panitianya, Imran Icik yang juga Ketua RT saya. Saya juga salah seorang
panitia. Saya tulis berita kegiatan
tersebut. Sumber beritanya Pak Im.
Selesai
dua berita. Lalu saya masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.
“Sudah,
bung?” Pak Yanuar Abdullah menyambut saya.
“Sudah,
Pak,” jawab saya, lalu menyerahkan kedua berita dan foto lepas tersebut.
Dilihatnya
sejenak. Setelah itu ia menoleh ke ruangan tengah. Ruangannya dan ruangan
tengah hanya dibatasi kaca polos.
“Serahkan
ke bapak di dekat pintu itu,” katanya sembari menunjuk ke arah seseorang.
Saya
mengangguk, lalu menyerahkan dua berita dan beberapa foto lepas yang sudah
ditulis teksnya.
Sesampai
pada orang yang ditunjuk Pak Yanuar Abdullah, saya memberikan salam kepada
lelaki yang ditunjuk tersebut.
“Bang,
saya diminta Pak Yan menyerahkan berita ini ke abang,” sapa saya pada lelaki
tersebut. Belakangan saya baru tahu, beliau bernama Mafri Amir.
Saya
tak tahu pasti posisinya di redaksi Semangat ketika itu. Perkiraan saya, kalau
tak salah, beliau salah seorang Redaktur Pelaksana.
Ketika
saya menyerahkan naskah tersebut, Bang Mafri Amir menoleh ke ruangan Pemred.
Ternyata Pak Yanuar Abdullah masih berdiri. Ia memberikan kode kepada Bang
Mafri. Bang Mafri pun kemudian memeriksa naskah saya.
“Sia
namo wak?” tanya beliau, “tulih di siko,” katanya sembari menyerahkan kembali
naskah yang saya berikan.
Saya
menulis nama saya. Sesuai aslinya, Firdaus. Beberapa tahun kemudian, saya pakai
nama pena Firdaus Abie.
Besoknya,
ketika saya kembali ke Semangat, saya membolak-balik koran tersebut. Mencari-cari
apakah berita dan foto-foto saya dimuat? Ternyata, semuanya dimuat, walau ada
beberapa bagian yang diperbaiki.
Pada
akhir berita tersebut, tertera penggalan nama saya. Saya yakin, penggalan
tersebut adalah kode berita untuk setiap berita yang saya tulis. Tertera
seperti ini; (fir). Sedangkan untuk foto, sesuai nama lengkap saya; firdaus.
Beberapa
waktu kemudian, satu persatu wartawan dan semua awak redaksi Semangat datang.
Salah satu di antaranya lelaki yang menerima berita saya sehari sebelumnya.
“Mokasih, bang. Berita wak alah dimuat,” kata saya
kepadanya.
“Taruihlah
manulih. Jan lupo kode berita tu,” katanya.
Saya
mengangguk, sekaligus setuju menggunakan kode (fir) untuk seluruh berita-berita
yang saya tulis. Tujuh tahun kemudian, saya meninggalkan Semangat. Saya pindah
ke Padang Ekspres. Saya masih menggunakan kode (fir) tersebut.
Ketika
ditugaskan menahkodai Harian Umum Rakyat Sumbar, sejak 2010 hingga kini, jika
saya menulis berita, masih menggunakan kode (fir) tersebut disetiap akhir berita.
Kini,
senior yang memberikan ide untuk kode berita saya; (fir), Bang Mafri Amir,
sudah berpulang ke Rahmatullah, dalam usia 63 tahun.
Kabar
yang beredar Senin (27/12) pagi, Bang Mafri Amir meninggal dunia di RS Hermina
Ciputat. Selain menjadi wartawan, dulunya beliau juga dosen di IAIN Imam
Bonjol, dosen di UIN Jakarta, staf ahli di Deputi Menko Kesra, Asisten Staf
Khusus Wapres.
Beliau
seorang senior yang turut memberikan warna dalam langkah saya di dunia
jurnalistik. Seorang guru yang mengayomi. Beliau dikenal sangat menghormati
seniornya dan santun pada yuniornya.
Semoga
bang Mafri husnul khotimah, dan ditempatkan di sorga. *
No comments:
Post a Comment