Cerpen:
Firdaus Abie
Aku
tertegun. Terpana. Mama menyebut nama itu lagi, lalu memintaku untuk
mencarinya. Mencari sampai bertemu dan harus jemput terbawa.
“Mama
ingin bicara dengannya,” pinta mama, terbata-bata.
Mama
mengulangi permintaannya. Aku tak kuasa
mendengar, apalagi mengabulkannya. Terlalu sulit bagiku. Bagaikan minta sisiak ke limbek, minta kokok ke
harimau. Aku bergegas ke kamar, mengunci pintu, lalu melemparkan tubuh ke
kasur. Kucoba menahan tangis, tapi air mata jatuh berderai sekalipun aku
benamkan sedalam-dalamnya ke bantal.
Mama
menyebut nama lelaki lagi itu, padahal aku
sudah menguburnya, membenamkan di palung laut terdalam di Samudera
Hindia. Kenapa mama memunculkan nama itu kembali? Mimpi apa
yang membuat mama menghadirkan namanya? Nama yang membuat aku terluka, bagaikan
diiris-iris sembilu berbisa. Luka mengelepuh, mengelupasi hati.
Ini
ketiga kali mama menyebut namanya secara tiba-tiba. Tiga puluh tahun silam,
ketika aku baru saja pulang dari asrama, mama menyambut dengan sebuah
pertanyaan, “kenapa sudah lama Sandi tak main ke rumah?”
Pertanyaan
yang berat untuk kujawab dengan jawaban sesungguhnya, tapi aku paksakan
diri menggoda mama, “mama kangen dia?”
tanyaku manja.
Mama tak langsung menjawab serangan balikku, tapi melepas
sore menjelang magrib, mama mengajukan
pertanyaan serupa; kenapa sudah lama Sandi tak main ke rumah?
“Apakah
kalian bertengkar?” pertanyaan mama bagaikan petir menyambarku.
Aku
terkejut. Oh, mama telah salah menduga. Sandi bukan siapa-siapaku. Aku juga
bukan siapa-siapa baginya, kecuali hanya
seorang teman. Tak lebih. Ia tak pernah menganggap kehadiranku. Tak pernah tahu
perhatianku padanya. Tak pernah tergoda pancinganku. Tak pernah melirikku lebih
dari sekedar teman.
Tak
pernah aku berdandan cantik kalau tidak untuknya. Tak pernah aku memperbaiki
diri untuk seorang lelaki mana pun, kalau bukan untuknya. Tapi kenapa ia tak tertarik? Ia dingin. Sedingin pagi di Alahanpanjang.
Kali
kedua, dua puluh enam tahun silam. Ketika terhempas dalam keputusasaan, aku
bagaikan sapi yang ditusukan tali ke hidung, lalu pasrah saja menerima pinangan
juragan coklat. Aku tak berpikir panjang, padahal belum dua purnama aku
mengenalnya.
“Tundalah
dulu, dua atau tiga tahun ke depan,” pinta mama.
“Kenapa
harus ditunda, Ma?” tanyaku.
“Tunggulah
Sandi,”
“Ia
entah dimana, Ma”
“Carilah.
Carilah. Ia pasti masih di kota ini,”
Aku
turuti permintaan mama. Aku coba mencari kabar. Tapi aku harus mencari kemana?
Kota kecil ini begitu besar untuk mencari orang yang tak jelas rimbanya. Kota
kecil ini begitu besar untuk mencari jarum ditumpukan jerami.
Sehari,
tiga pekan, dua bulan berlalu. Aku berharap, jejak masa lalu mengantarkanku membawanya pulang. Kuseret langkah optimis, penuh percaya diri.
Aku berharap, ia masih di sana.
“Sebulan
setelah menikah, ia mengundurkan diri,” kata seorang perempuan muda, tidak
terlalu cantik, ketika kutanyai tentang lelaki yang kucari.
Aku
mendapatkan tempat kerjanya, setelah keluar masuk dua toko, satu tukang pangkas
rambut dan rumah makan. Aku mendatangi tempat-tempat tersebut dari informasi
mulut ke mulut, tempat ia pernah bekerja. Tapi di tempat ia terakhir, perempuan ini mengaku tak tahu.
Ia tak tahu dimana Sandi sekarang. Dalam
ketidakpastian itu, kutinggalkan juga
secarik kertas, berisi alamat dan teleponku. Aku berpesan, kalau suatu
saat ia kembali, atau menelpon, tolong dikabarkan; aku menunggunya.
Ketika
hari berlalu, kucoba juga untuk menanyai kabar kepada perempuan yang kukenal di
kantor tersebut. Setiap bertanya, selalu jawabnya tak ada kabar. Aku semakin
putus asa. Mama terus saja menyabarkanku. Bersabarlah. Sabarlah. Tunggu agak
dua atau tiga tahun lagi. Jangan tergesa-gesa. Kata Mama, ia lelaki sempurna.
Aku
jadi bertanya-tanya. Jika memang ia lelaki sempurna, kenapa tak tahu ada yang
merindukannya. Ada yang memendam rasa
untuknya. Rasa yang kubawa sejak mula mengenalnya. Rasa yang juga dipunyai Mama.
Rasa yang juga dimiliki Uni Teti, Uni Aad dan Uda Dhani.
Aku
mendambakan sebelum Mama dan Kakakku menyukainya, tetapi aku menyimpan rapat-rapat. Aku tak mau disebut
perempuan gata. Di adat negeriku, berpantang anak perawan mengungkapkan
rasa pada lelaki lebih dahulu. Di negeriku, anak perawan harus punya rasa malu,
walau rasa itu dibeberkan kepada Ibu.
Aku menyimpan rasa bahagia ketika Mama dan kedua uniku meminta agar membawanya
jadi bagian keluarga besar kami.
Waktu
terus berlalu, aku tak pernah tahu di mana ia berada. Kalaulah aku tahu di mana
rimbanya, akan kucari sampai bertemu. Kubawa pulang bertemu Mama. Semakin aku
mencari, semakin aku merindu.
Juragan
coklat yang hendak meminang, kuabaikan. Aku masih berharap mencari lelakiku. Ku
rangkai doa-doa panjang tentangnya. Kusebut namanya dalam diam, dalam rindu,
dalam lagu berbalut pilu. Lirih,
selirih dendang Ari Lasso. Lagu yang selalu kudendangkan setiap hari, berbalut
rindu. Aku memanggilmu, dalam hati lirih. Aku menangis, mengenangmu. Segala
tentangmu.
Dua
tahun berselang, ia tak kunjung datang. Tak pernah ada kabar. Aku sudah putus
asa. Jika pun ia sudah menikah dan datang padaku, aku akan terima ia apa
adanya. Tak kuhiraukan statusku berikutnya. Ia cinta pertamaku. Sosok impian Mama
untuk anaknya, dambaan kakak perempuanku untuk adiknya.
Kuterima
pinangan juragan coklat. Aku berharap, sebelum juragan coklat itu menjabat
tangan ayah di hadapan kadi nikah, lelaki itu datang agak sejenak, lalu aku
mengajaknya menuntaskan hasrat yang
sudah lama kupendam. Hanya dia yang kuimpikan sepanjang hari. Aku berharap ia
datang. Aku tak tidur semalaman, berharap telepon berdering untukku.
Sepekan
selepas ijab kabul, aku berharap ia menjadi tamu istimewa. Kulepaskan pandangan
sejauh mata memandang, menatap ke pintu masuk, berdoa sepanjang waktu agar ada
dia di antara undangan yang datang; kaulah hidupku, hidup dan matiku!
**
Ah,
perasaanku bercampur aduk. Mama menatapku dalam. Ada bening di sudut kedua mata
mama, “benarkan, apa yang Mama katakan dulu?” kata Mama seakan memukulkan godam
raksasa ke kepalaku.
“Tapi,
Ma. Aku sudah menunggu dalam ketidakpastian. Iya kalau dia datang, kalau
tidak?” balasku.
Sesungguhnya,
ada sesak menyanak di dadaku. Ia datang disaat yang tidak tepat. Aku sudah
mengandung enam bulan, jelang setahun pernikahanku. Mama menerimanya ramah, aku
menyambutnya dalam gelisah. Tanganku menggigil saat menjabat salamnya.
“Selamat,
semoga kelak bayinya jadi anak yang saleh,” katanya. Ia tampak lebih muda dari
usia.
Benar,
ia masih di kota ini. Ketika ku kabari bahwa aku pernah mencari ke kantornya,
ia terkejut. Merujuk ke waktu, ia masih bekerja di sana, tapi tak tahu siapa
perempuan yang aku maksudkan. Katanya, di kantornya hanya ada tiga orang
perempuan, itu pun sudah berusia baya.
Katanya,
kehadirannya ke rumah, kali ini, justru karena pesan yang aku tinggalkan. Ia
menerima pesan tersebut dua hari lalu. Ia mendapat tugas belajar ke Yogjakarta
selama dua tahun lebih.
Aku
terpana.
“Ia
datang jugakan? Ia masih mau ke sini,
masih mau bicara walau kamu sudah hamil,” kata Mama menahan geram kepadaku,
saat Sandi sudah pergi. Ia juga masih sendiri.
“Mama
menyalahkaku?” tanyaku mendesak.
Mama
diam.
“Kenapa
Mama diam? Apakah ini salahku, Ma?”
Tak
ada jawaban.
“Jawablah,
Ma. Apakah ini salahku? Kenapa Mama tak menyalahkannya juga?”
Ketika
anakku lahir, Mama mengusulkan agar aku memberikan nama lelaki yang dikaguminya. Aku menolak. Aku tak ingin mas Hendra tahu
kalau aku menggunakan nama lelaki yang
pernah kudambakan. Aku tak ingin nama itu justru membuatku terpuruk, selamanya
mengingat lelaki yang tak pernah peduli padaku.
Lamunan
panjangku dibuyarkan Uni Aad. Ia ke kamarku, lalu meminta aku untuk menemui
mama di kamar. Katanya, sejak aku meninggalkan Mama tadi, beliau tak
henti-hentinya meratap.
“Mama
mengkuatirkanmu,” bujuk uni Aad.
Aku
menyeka butiran bening yang sedari tadi berjatuhan di pipi. Kutemui Mama di
kamarnya. Beliau menatapku nanar, lalu merangkuh tubuhku. Aku jatuh dalam
pelukannya. Mama mengusap kepala hingga punggungku berulangkali.
“Mama
hanya mendambakan yang terbaik untukmu,” bisiknya.
Aku
tercenung. Mama masih mengungkit masa lalu, masa yang tak mungkin kuraih ketika
itu, juga tak mungkin kugapai saat ini. Aku sudah milik mas Hendra, sudah
melahirkan tiga putri cantik yang kini beranjak remaja untuknya.
“Aku
bahagia bersama mas Hendra. Aku bahagia
dengan anak-anakku, Ma. Aku tak merasa kekurangan dengan keluarga kecilku,”
beberku dalam dekapannya.
“Kamu
tidak sedang berdustakan? Mama tak pernah mengajarimu berbohong” kata Mama
sembari merenggangkan dekapannya.
Aku
tertegun mendapati pertanyaan Mama. Raut keriput wajah tuanya menatapku dalam.
Dalam sekali. Seakan palu hakim memvonis seorang tersangka yang telah bersalah.
Kupeluk Mama erat. Kudekap tubuh kurusnya.
“Aku
yang salah, Ma,” bisikku meraung dalam pelukannya.
“Kenapa?”
tanya uni Teti dan uni Aad serempak.
Aku
menatap ketiganya, terutama Mama. Ku tak kuat. Kupalingkan pandangan dari Mama,
namun wajah berharap Mama terlihat jelas. Aku paham. Sejak awal Mama tak suka
mas Hendra.
Ketidaksukaan
Mama bukan karena lebih duluan mengenal Sandi. Bukan karena itu. Kali pertama
Sandi ke rumah, mengantarkan pulang karena terlalu malam menyelesaikan acara
kampus, Mama langsung menggodaku.
“Kelihatannya
ia lelaki yang sempurna,” kata Mama, tapi ketika itu aku mengabaikan karena
terlalu capek dan mengantuk.
Ketika
sebulan kemudian, ia datang lagi, menjemputku. Mama mempersilakannya masuk. Tak
biasanya begitu. Selama ini, Mama hanya memperbolehkan teman lelaki hanya
sampai di teras saja. Calon Uni Teti dan Uni Aad baru diperkenankan masuk
setelah ada kata sepakat keluarga, setelah mereka bertunangan dan menunggu
jadwal pernikahan.
Perlakuan
Mama kepada Sandi, sempat diprotes ketiga kakakku, tetapi Mama tak
menghiraukan. Ia menggunakan hak preogratifnya. Mama yakin, Sandi lelaki yang
bertanggungjawab, baik, pengertian dan mendekati tipe sempurna. Ia sosok
dambaan mama untukku. Kata mama, pasti banyak orang tua lain yang
mendambakannya.
Sebelum
Sandi ke rumah, pernah ada Dika, tapi Mama tak suka. Ada Biyan, tapi Mama
enggan. Jangankan melayani mereka
bicara, membukakan pagar saja beliau tak
mau. Berbeda jika Sandi yang tiba.
“Ia
tak pernah tahu kalau anak Mama ini suka padanya. Ia tak pernah peduli kalau
ada yang mencintainya,” kataku. Berderai air mata tak bisa ditahan. Gejolak
emosiku menerobos ke masa lalu.
Ia
sosok yang kudamba. Sejak awal mengenalnya, aku langsung menyukainya. Di perjalanan
waktu, aku semakin tahu, ia sosok yang benar-benar ku impikan. Bermimpi menyandarkan kepala di bahunya, berangan
menyandarkan kepala di dadanya yang lapang, lalu berbagi kisah. Berbimbingan tangan,
menyatu, menyongsong kehidupan beranak bercucu, kelak.
Kuteluri
cerita tentang dia. Aku sakit hati. Ia sudah ada yang punya. Ia justru kena
hati kepada temanku sendiri. Kata temanku, mereka sudah jadian sebelum aku
sempat menautkan hati padanya. Apa kurang diriku?
Sakit
hati kulampiaskan dengan memikat temannya. Heru menerima kehadiranku. Aku berharap, Sandi
cemburu. Sampai akhirnya Heru bosan dan meninggalkanku, aku tak pernah bisa
memikat Sandi. Sepanjang hari ku memanggilnya, dalam hati.
Mama
terpana.
“Sudahlah,”
katanya, “Mama tahu apa yang kamu rasakan saat ini, tapi
sudahlah. Semua sudah berlalu. Mama yakin kamu tak akan pernah bisa
melupakannya. Tapi kamu harus ingat, kamu harus
melanjutkan hidup bersama keluarga kecilmu. Disampingmu ada suami dan
anak-anakmu,” mama mendekapku.
Tetesan
air mata terus berjatuhan. Mama merasakan semua rasa yang kumiliki. Aku tak
bisa mendustai hati. Namanya masih kusimpan rapat.
“Semua
salahku, Ma,” bisikku.
“Mama
ingin bertemu Sandi, sekali saja!” pinta mama mengulang permintaannya.
Aku
terdiam. Aku harus mencari kemana lagi? Ketika aku mulai melupakan, namanya
menjadi angan ketika mama mengajukan permintaan.
Aku
tak pernah bisa membawanya bertemu mama, sampai beliau tiada, menghadap
penciptaNya.
Aku
tak pernah bisa membawanya pulang. Aku hanya bisa memanggilnya; memanggilmu,
dalam hati, lirih. *
*Padang, 30
September 2018
Catatan:
Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 19 Januari 2020
No comments:
Post a Comment