Umroh
Gratis Karyawan Paragon Technology and Innovation (8)
Kulihat
jam di selular. Ashar masih lama. Dua jam lagi. Kurebahkan tubuh di kasur.
Kutarik selimut. Kututupi semua tubuh, dari kepala hingga kaki. Tubuhku
menggigil kedinginan, padahal AC sudah dimatikan.
Obat
pribadi yang dibawa dari Padang, baru saja aku minum. Sebelum tidur, aku berdoa
dan sekaligus bermohon agar bisa bangun
sebelum Ashar. Aku ingin kembali ke Masjid Nabawi, masjid yang dibangun Nabi
Muhammad. Aku ingin kembali Ashar berjamaah di sana, lalu bertahan hingga Isya.
“Bang.
Bangun,” sebuah suara membangunkanku, “abang sudah Ashar?” tanya Risnanda,
rekan satu kamarku selama di Madinah.
Kulepaskan
selimut, “jam berapa, Pak Kiyai?” tanyaku.
“Hampir
jam lima,” kata lelaki yang umurnya lebih muda dariku, tapi kami di Jamaah
Umrah Paragon Kloter 14 menyapanya dengan panggilan Abi. Ada juga yang
memanggil dengan sebutan Pak Kiyai. Aku
memilih panggilan kedua, walau malam sebelum
berangkat ke Madinah, aku memanggilnya dengan panggilan, ustad.
Malam
itu, kami bertemu ketika hendak salat Isya di Wisma Haji dan Umrah, Mampang.
Aku mengajaknya berjamaah. Aku iqamah, ia menjadi imam. Salah satu makmum
lainnya, Eggi Rizal, anak muda asal Tasikmalaya. Kami baru tahu satu kloter
setelah bercerita usai salat berjamaah.
Aku
menduga, Abi tersebut panggilan anaknya kepada beliau. Isteri dari Risnanda, Party,
adalah seorang Paragonians ---sebutan untuk karyawan Paragon Technology and
Innovation. Ia bertugas di Kualatungkal, Jambi. Ia juga sudah lebih tujuh tahun
mengabdi di perusahaan tersebut. Di PT Paragon Technology and Innovation (di
antara produk yang dimilikinya; Wardah, Make Over, dll), karyawan yang bekerja
minimal tujuh tahun, memperoleh hadiah umrah gratis dari perusahaan. Eggi Rizal juga. Isterinya bertugas di
Tasikmalaya.
Aku terkejut ketika Pak Kiyai menyebut hampir jam
lima. Aku melihat, ia baru saja melepaskan peci dan mengganti gamisnya dengan
pakaian harian. Aku yakin, ia baru kembali dari masjid.
Tanpa
pikir panjang, aku segera bergegas. Setelah berwuduk, aku kembali ke kamar.
Kuganti pakaianku. Ketika itu juga, tubuhku kembali terasa dingin. Sangat
dingin. Aku menggigil. Kubatalkan
rencana ke masjid. Aku salat di kamar. Selepas itu, aku kembali minum
obat yang tadi aku minum sebelum tidur. Setelah ku dorong dengan air zam-zam,
aku kembali menarik selimut. Kututup seluruh tubuh. Biar hangat. Aku ingin
kembali berjamaah di Masjid Nabawi.
Aku
terbangun ketika azan Magrib berkumandang. Mataku berkunang-kunang. Aku kuatkan
untuk bisa kembali melangkah ke Masjid
Nabawi. Keinginanku dikalahkan kondisi. Tubuhku masih terasa menggigil. Aku
merasa tubuhku dingin. Orang lain merasakan panas. Dua hari sebelum ke umrah melalui Jakarta, aku
diserang demam. Malamnya aku berobat ke dokter langganan, di Lubuk Begalung,
Padang. Sekitar 17 KM dari kediamanku. Besoknya, aku memaksakan diri belanja ke
Pasar Raya Padang, ditemani isteri, membeli keperluan umrah.
Aku
yakin, aku kelelahan. Kondisi ini sering aku alami jika terlalu banyak
aktivitas. Kali ini, aku memaksakan diri. Aku harus bisa mengatasi keadaan.
Besok siang, selepas zuhur, rombonganku harus meninggalkan Madinah, menuju
Makkah.
Magrib
berlalu di kamar hotel lagi. Selesai salat. Berdoa. Membaca Al-qur’an. Entah
berapa halaman yang kubaca. Aku tak tahu. Setengah jam menjelang Isya, aku
berbenah. Aku bertekad untuk berjamaah di Masjid Nabawi.
Setelah
kuteguk kembali air Zam-zam yang aku bawa ke hotel sepulang Salat Jumat, aku
berkemas. Tak lupa kupanaskan air. Ku persiapkan segelas teh manis hangat. Sekadar untuk menghangatkan perut. Lalu
berwudhuk, kemudian meninggalkan dua kamar hotel yang terkoneksi. Ada tujuh
jamaah laki-laki lainnya bersamaku, tapi kali ini hanya aku sendiri di kamar.
Alhamdulillah.
Aku memasuki Masjid Nabawi dari gerbang no 26. Lurus dari arah hotelku. Aku
langsung menuju pintu nomor 2. Tujuanku, Raudah. Aku ingin masuk kembali ke
sana. Sejak sampai di Madinah, Kamis dinihari, baru Jumat pagi aku bisa masuk
ke sana bersama rombongan. Tak pula lama. Petugas membatasi jadwal di sana karena banyaknya antrian. Aku ingin beribadah
berlama-lama di sana. Raudah, atau Taman Surga, merupakan salah satu tempat
mustajab untuk berdoa. Tak mengherankan kalau Raudah paling favorit diincar
jamaah.
Langkahku
akhirnya surut. Pintu 2, 3, dan 4 yang merupakan tempat terdekat untuk masuk ke
Raudah, sudah diberi garis pembatas. Tak boleh lagi masuk. Biasanya satu jam
sebelum waktu salat fardu masuk, tempat ini sudah ditutup. Jamaah diarahkan untuk menempati bagian lain
di Masjid Nabawi.
Selepas
Isya, aku bergegas kembali ke hotel. Aku pasang strategi. Tak paksakan diri
malam ini untuk kembali ke Raudah. Aku harus istirahat dulu. Sebelum tidur, aku
berdoa. Aku juga memohon kepada Allah agar dibangunkan pukul 01.00 dinihari.
Aku pasang alarm di selular.
Aku
terbangun sebelum alarm berbunyi. Ada rasa membaik dalam diri. Aku merasa,
kondisiku lebih segar dibandingkan saat Isya, apalagi ketika salat Ashar dan
Magrib. Pagi itu, aku mandi. Berkemas. Tak lupa minum segelas teh manis hangat.
Bergamis dan suiter senada, warna putih. Aku kemudian melangkah menerobos
malam. Menyibak dingin meski ngilunya sampai ke tulang. Ada gigil. Suhu 8
derajat celcius. Aku tak peduli. Langkah aku percepat. Pikiranku masih ke
Raudah. Sepanjang jalan, aku membaca ayat-ayat pendek. Salawat.
“Jika
tidak pagi ini, entah kapan aku bisa kembali,” kataku dalam hati.
Pesan
Ustad Muhammad Azzam, pembimbing yang
disediakan biro perjalanan NRA, selama umrah, selepas salat Jumat kemarin, seakan sebuah peringatan bagi saya.
Beliau mengirim pesan via WA grup; besok
pagi, setelah sarapan, kita ziarah wada’ ke makam Baginda Rasulullah. Pesan
itu sekaligus bermakna, setelah ziarah wada’, langsung meninggalkan Madinah.
Aku
masuk melalui pintu no 2. Masih sepi. Belum ditutup. Aku segera masuk, tapi di
dalam sudah ramai antrian. Aku masuk
gelombang terakhir. Tiga kelompok sudah masuk “perangkap” antrian. Tak
lama di antaranya, mereka yang sedang ibadah di Raudah diberitahu, waktu untuk mereka selesai. Mereka minta
keluar melalui pintu depan. Keluar langsung berjalan mengarah ke kiri, kemudian
sampai di depan makam Nabi Muhammad SAW.
Ketika
di Raudah sudah kosong, sekat pertama dibuka. Petugas mengarahkan mereka
mengambil syaf terdepan. Tak lama di antaranya, jamaah yang berada disekat
kedua dipindahkan ke sekat pertama. Jamaah disekat ketiga, diperintahkan maju.
Masuk ke sekat kedua. Sekat ketiga kosong. Jamaah yang antrian di belakangnya,
termasuk aku, diminta masuk ke sekat ketiga.
“Alhamdulillah,”
kataku dalam hati.
Biasanya,
jika sudah masuk dalam sekat tersebut, bersabar sajalah menunggu jadwal. Sudah
ada “tiket” untuk bisa masuk ke Raudah. Kurang dari 10 menit, tiba-tiba sekat
pertama dibuka. Aku terkejut. Jamaah yang sedang ibadah di Raudah belum keluar,
tapi sudah dimasukkan yang lain. Belum hilang rasa heran, sekat kedua dan
ketiga dibuka bersamaan. Petugas mengarahkan jamaah. Mereka yang berada disekat
dua dan tiga mendapatkan syaf di belakang sekat sebelumnya. Aku coba hitung. Aku
berada di empat syaf terakhir dalam wilayah Raudah. Ketika pertama kali aku
masuk wilayah tersebut, dua hari lalu, aku berada di luar garis Raudah. Dua
syaf di luar batas.
Ku
nikmati ibadah di sana. Aku awali dengan Tahyatul Masjid. Dilanjutkan doa.
Kusambung dengan Tahajud. Dua rakat, salam. Dua rakat, salam. Dua rakat, salam.
Baca Al-qur’an. Berdoa. Baca Al-qur’an. Tak kuhitung berapa halaman yang kutuntaskan malam itu.
Satu
jam sebelum Subuh, azan berkumandang. Di Masjid Nabawi, setiap Subuh, dua kali
azan. Pertama, sekitar satu jam sebelum masuk waktu Subuh. Aku masih di Raudah,
tapi ada sesuatu yang terasa mengganjal. Setengah jam kemudian, perasaanku
semakin tak enak. Posisiku terasa makin tak nyaman.
“Ada
apa? Tampaknya gelisah sekali?” tanya seorang jamaah di sebelah kiriku.
Aku
sempat berkenalan dengannya. Ia berasal dari Madiun. Rute umrahnya, ia sudah
dari Makkah, baru ke Madinah. Aku pun mengatakan sumber kegelisahanku.
“Tahan
saja, setengah jam lagi azan Subuh,” katanya.
Aku
melihat jam. Ya, sekitar setengah jam lagi azan Subuh, kemudian salat
berjamaah. Aku semakin gelisah. Keringat dinginku mulai keluar. Aku tak tahan.
Aku coba menguatkan hati, tapi logikaku mengalahkannya. Aku bergerak, melihat
ke kiri dan ke kanan. Teman baru di sebelah kiriku memperhatikan.
“Mau
kemana, pak?” tanyanya menebak jalan pikiranku.
“Aku
harus keluar,” kataku berbisik kepadanya, kemudian aku bersujud. Aku tak tahu,
sujud apa yang aku lakukan. Dalam sujud aku minta ampun kepada Allah.
Ya, Allah. Ya,
Rabb.
Hamba memohon
ampunanMU. .
Hamba yang
bergelimang dosa ini memohon ampun.
Izinkan hamba
meninggalkan Raudah ini.
Aku
bangkit. Aku melangkah ke kiri dari tempat duduk, kemudian sampai di pembatas
rumah Nabi Muhammad dengan Raudah. Aku bergeser ke syaf bagian belakang. Aku
terus melangkah, kemudian melintasi bagian belakang yang posisinya lebih tinggi
dari syaf lain. Kira-kira sebetis. Menurut Ustad Muhammad Azzam, tempat
tersebut dulunya digunakan Nabi Muhammad berdikusi bersama para sahabat.
Kuperhatikan
ke sekeliling. Seakan semua pandangan mengarah kepadaku. Aku seakan “disentil”
mereka. Sudah bisa masuk ke Raudah, waktu
Subuh sudah dekat, malah keluar. Ada beragam rasa berkecamuk, tapi aku tak mau untuk memaksakan diri. Aku
takut terjadi hal buruk yang teramat buruk.
Sesampai
di pintu keluar masuk masjid, aku melangkah bergegas. Berlari-lari kecil.
Kupaksakan berlari secepatnya menuju toilet. Kudapati toilet dalam keadaan
sepi. Kulepaskan hadas di tandas. Setelah itu, plong!
Aku
kembali membersihkan diri. Setelah berwudhuk, aku kembali ke masjid. Pintu 2, 3
dan 4 sudah ditutup. Jangankan masuk ke Raudah, akses mendekati Raudah saja, tak
bisa lagi. Jamaah diarahkan untuk mencari syaf-syaf lain yang masih tersisa.
Sedih
rasanya meninggalkan Raudah, tapi apa boleh buat. Jikalau bertahan di sana
dengan keadaan yang dialami, tidaklah mungkin. Saat beribadah haruslah
benar-benar bersih. Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda; Tidak ada salat ketika makanan telah dihidangkan,
begitu pula tidak ada salat bagi yang menahan akhbatsan (kencing atau buang air
besar. (HR. Muslim)
Pertimbangan
lain, kalau terus bertahan hingga azan Subuh dan salat, hakikatnya memang
sekitar 30 menit lagi. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Dua kali Subuh
aku gagal menembus Raudah, aku menyaksikan pemandangan tersendiri.
Begitu
salat Subuh selesai, posisi syaf yang
masuk di wilayah Raudah akan disekat habis. Tak ada akses keluar masuk. Jamaah
yang berada di sana diberi kesempatan seluas-luasnya hingga sekitar pukul
delapan atau sembilan pagi, sampai Dhuha. Beribadah sepuas-puasnya. Tidak ada
tambahan untuk jamaah lain masuk di jadwal tersebut. Tidak diberikan juga kesempatan
keluar, kecuali emergency. Tak akan kuat aku menahannya.
Di
lobi hotel, jamaah kami kurang satu. Kami menunggu Pak Kiyai. Tak ada kabar.
Belakangan isterinya mengabarkan, saat Subuh, mereka berdua ke Masjid
Nabawi. Pak Kiyai masuk ke Raudah. Setelah
itu tak ada kabar. Tepat pukul sembilan, kami bergerak bersama menuju makam
Nabi Muhammad SAW.
“Aku
tak bisa keluar,” kata Risnanda alias Pak Kiyai. Ia tampak lemas dan lemah.
Ia
kemudian meneguk air zam-zam yang disodorkan salah seorang dari rombongan. Pak
Kiyai kemudian bercerita. Ia memiliki impian kembali ke Raudah, saat Subuh
tadi. Impiannya dikabulkan. Ia dapat Tahiyatul Masjid, Tahajjud, Salat Sunat,
Salat Subuh, baca Al-Qur’an, berdoa, Salat Duha.
“Di
dalam sangat ramai. Waktunya lama sangat. Aku lemas. Beberapa kali minta
bantuan petugas agar aku dikeluarkan, tapi tidak dibolehkan,” katanya.
Aku
terkejut. Aku teringat peristiwa menjelang Subuh, tadi.
“Seandainya aku tak keluar...” gumamku. *
“Seandainya aku tak keluar...” gumamku. *
No comments:
Post a Comment