Oleh: Firdaus Abie
Hari ini pesta usai. Sebelum benar-benar
usai, sebelum api di koldron benar-benar dipadamkan (walau sesungguhnya sudah
pernah padam beberapa hari setelah Poprov XIV Sumbar di Padang, baru saja
dibuka), sebelum hajatan benar-benar ditutup, hari ini masih ada para atlet
yang berjibaku, bermandikan keringat, jatuh bangun demi prestasi. Ada yang melepaskan gelak tawa tanda suka
cita. Ada yang menahan tangis menanggung pedih. Semuanya berbaur di arena yang
keras.
Pesta yang berakhir hari ini, selain merangkai prestasi, juga telah
menghadirkan sejumlah catatan (mungkin
tak disadari), menodai sejarah panjang
olahraga bergengsi bagi olahraga di Sumatera Barat. Setidaknya, saya memiliki
ada enam catatan penting.
Seorang teman menyebutkan, kalau pun
catatan ini saya tulis, tetap saja tidak akan terselesaikan sampai acara ini
ditutup. Kata saya, ke lima persoalan itu, tidak akan untuk sekarang, sebab
tidak akan bisa diapa-apakan lagi oleh tuan rumah dan panitia, namun ini
sebagai catatan agar tidak terulang dikemudian hari.
Catatan pertama saya, ketidakikutsertaan
Kota Padangpanjang, adalah sebuah prestasi buruk. Bagi Padangpanjang, baik KONI
Kota Padangpanjang, mau pun Pemko Padangpanjang, dan KONI Sumbar. Aneh dan lucu
saja, persoalan perbedaan pandangan, ternyata tidak bisa terselesaikan,
sehingga harus mengorbankan anak-anak muda Padangpanjang untuk tidak bisa
berlaga membela daerahnya.
Jika tidak diberi sanksi, maka akan
menjadi pintu masuk bagi daerah lain untuk tidak ikut serta. Pemkab atau Pemko
akan bisa mengalokasikan dana yang dimiliki untuk kebutuhan lain, sebab dana
untuk keikutsertaan di Porprov Sumbar tidaklah sedikit.
Saya teringat Pekan
Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas) XI
di Palembang Sumatera Selatan, 10-16 Oktober 2009. Ketika itu, Sumbar,
khususnya Kota Padang, baru saja dilanda gempa dahsyat. Atlet Sumbar sudah
dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Gempa itu membuat mereka yang akan
berlaga berpikir dua kali. Tetap harus
berangkat atau mengemasi persoalan mereka di rumah pascagempa.
Logikanya, kalau pun
ketika itu tidak ikut, semua orang bisa memaklumi. Tak mungkin harus memaksakan
diri. Panitia besar Pomnas pun sudah memberikan signal, tidak akan memberikan
sanksi kalau Sumbar tidak ikut. Semua bisa memaklumi.
KONI Sumbar berpikir
logis dan bijak. Semua atlet pun didekati dan diberi motivasi khusus. Akhirnya,
semua berangkat menuju Pomnas di Palembang. Kehadiran duta-duta olahraga
mahasiswa Sumbar saat defile disambut gegap gempita. Semua mengelu-elukan
Sumbar. Motivasi mahasiswa itu pun berlipat ganda.
Saat
Porprov XI Sumbar di Agam, enam tahun
silam, Kabupaten Kepulauan Mentawai baru saja dilanda gempa dan tsunami. Gempa terjadi pada 25 Oktober 2010 dengan 7,7 SR. Gempa Bumi terjadi dilepas pantai Sumatera, pukul 21:42 WIB, sekitar
150 mile (240 km) sebelah barat Bengkulu, dekat dengan Kepulauan Mentawai. Tsunami terjadi setinggi 3-10 meter, setidaknya 77 desa hancur.
Kejadian itu, kurang dua
bulan dari Porprov XI Sumbar di Agam. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
Provinsi Sumbar tampil bijaksana, menghimpun semua potensi, menggerakkan semua
kekuatan, sehingga Kabupaten Kepulauan Mentawai tetap tampil di arena olahraga
bergengsi dua tahunan itu.
Dua kejadian itu, memang
berbeda konteksnya dengan yang terjadi di Padangpanjang, namun secara hakikat,
persoalannya sama. Sama-sama menghadapi masalah. Kenapa tidak ada
orang bijak yang bisa menyelesaikan kemelut di Padangpanjang? Dimana insan
olahraga Padangpanjang? Dimana Walikota Padangpanjang? Dimana KONI Sumbar?
Tapi, benarkah Padangpanjang
tak ikut? Pengprov Forki Sumbar dan Pengcab Forki se-Sumbar tetap memberikan
izin karateka kota Serambi Makah ini tampil. Hebatnya, karateka, Padangpanjang
membawa tiga medali perunggu. Di bulutangkis, juga ada yang turun atas nama
Padangpanjang, namun sayangnya mereka tak mampu membawa pulang medali. Nah,
lo..?
Kedua, ketidakhadiran
Kabupaten Dharmasraya saat defile, telah menorehkan rekor buruk. Ini sejarah
baru dari pelaksanaan seremonial pembukaan sebuah pesta olahraga. KONI Prov
Sumbar harus bertindak dan sekaligus memberikan sanksi khusus kepada
Dharmasraya. Jika tidak, celah ini akan dimanfaatkan daerah lain dikemudian
hari. Kontingen yang berkekuatan sekitar 299 atlet, 44 official, 45
pelatih, ternyata tak mampu menghadirkan
satu pun wakilnya untuk defile.
Saat Olympiade 2016 di Brazil, kontingen
Indonesia hanya berkekuatan 28 orang atlet, namun demi menghormati seremonial
pembukaan, masih bisa menghadirkan tujuh atlet untuk defile saat pembukaan.
Wasit juri yang tak ikut defile, juga
menjadi bagian dari pemandangan tersendiri. Kejadian ini memantik pertanyaan;
siapa wasit juri yang akan memimpin pertandingan? Tak tampak raut wajahnya.
Sama dengan kontingen Dharmasraya yang tak hadir. Ketika pembacaan janji atlet
dan janji wasit, barulah muncul perwakilan wasit juri yang menyampaikan
janjinya.
Ketiga; keinginan Padang tampil beda
dibandingkan daerah lain, tak tercapai. Gaya lama dan kebiasaan di daerah juga diikuti Padang. Tak
jauh berbeda dengan kejadian 30 tahun silam, saat pertama kali Porda (saat itu
belum bernama Porprov) digelar. Masa itu, bisa dimaklumi. Tak banyak ruangan,
gedung dan sejenisnya yang bisa menampung orang dalam jumlah besar. Hotel pun
hanya sehitungan jari.
Porprov XIII/2014 di Dharmasraya, Porprov XII/2012 di Limapuluh Kota, dan
Porprov XI/2010 di Agam yang pertandingannya disebar di 18 kabupaten kota se
Sumbar, juga menggunakan sekolah. Bisa dimaklumni, tersebab tak banyak ruangan, gedung dan sejenisnya
yang bisa menampung orang dalam jumlah besar. Tapi kecerdasan panitia, jadwal
ketiga Porprov tersebut digelar pada bulan Desember, saat anak-anak sekolah
selesai ujian dan menjalani libur semester. Bandingkan dengan kondisi sekarang,
dilaksanakan saat anak-anak sekolah hendak menjalani ujian semester. Demi
prestise olahraga, pendidikan ribuan anak sekolah dikorbankan.
Porprov XI Sumbar di Agam, 2010,
seharusnya menjadi Porprov yang paling rumit dan mengkuatirkan. Sejarah
mencatat, Porprov di Agam sempat terlunta-lunta. Ada beberapa kali penundaan.
Penyebabnya, ada karena belum siapnya sarana dan prasarana, kemudian dilanda
gempa 2009. Gubernur dan Wagub yang baru saja dilantik, Irwan Prayitno – Muslim
Kasim, masih menggunakan pakaian
pelantikan, langsung memimpin rapat perdana. Materinya, membicarakan
pelaksanaan Porprov yang tertunda. Ketika itu, 15 Agustus 2010. Praktis
persiapan Porprov hanya empat bulan karena sudah harus digelar Desember 2010.
Ketidaksiapan sarana dan prasarana
pascagempa, membuat semua daerah berkomitmen untuk menuntaskan hajatan besar
yang nyaris tidak ada kepastian. Sebuah keputusan besar diselesaikan secara
bersama, 15 kabupaten dan kota menjadi tuan rumah sejumlah cabang olahraga.
Di Kota Padang kurang apa? Apakah
potensi yang ada benar-benar
dimanfaatkan secara tepat guna? Ada Asrama Haji di Tabing, Balai Diklat Kemenag
Sumbar di Padangbaru, Asrama Kemenag di Rasuna Said. Tiga tempat itu saja,
sudah bisa menampung lebih kurang 1.000 orang. Masih ada sejumlah diklat atau
wisma lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Pendekatan intensif Pemko Padang
mau pun Pemprov Sumbar, diyakini akan
memberikan jalan lapang bagi panitia. Mustahil rasanya lembaga atau instansi
tersebut menolak atau memberatkan jika berjelas-jelas.
Banyak kisah sedih dari penginapan di
sekolah. Kita tentu berharap, hendaknya kisah sedih ini tak terulang pada
hajatan-hajatan serupa berikutnya.
Ke empat; adanya dua cabang (Muay Thay
dan Soft Tenis) yang pertama kali dipertandingkan di Porprov, ternyata langsung
medalinya dihitung, sangatlah luar biasa. Aturan main selama ini, setiap cabang
baru, sekali pun sudah dipertandingkan di PON, namun jika belum pernah
dipertandingkan di Porprov, tetap saja harus menjalani eksebisi terlebih dahulu.
Persyaratan eksebisinya pun sangat
ketat. Tak bisa sembarangan. Ada kalanya, jika eksebisi pertama tidak memenuhi
syarat, maka memungkinkan untuk diulang kembali. Jika
tak salah, Tae Kwon Do harus menjalani dua kali eksebisi untuk bisa masuk ke
Porprov.
Ada apa dengan Muay Thay dan Soft
Tenis? Apakah memang ada perlakuan khusus atau ada aturan terbaru?
Agar terang bagi insan olahraga di Sumbar, tentu harapan ditumpangkan kepada Ketua SC (Panitia Pengarah) Porprov XIV/2016
Syaiful SH untuk memberikan keterangan seterang-terangnya, sehingga semua menjadi
terang-benderang, apalagi Syaiful SH adalah Plt Ketua KONI Sumbar dan
sekaligus Ketua Umum Pengprov Muay Thay
Sumbar.
Kelima; nomor yang dipertandingkan tak
semuanya mengacu kepada nomor yang lazim dipertandingkan pada PON, atau pesta olahraga di atasnya. Di
Angkat berat, jika melihat
aturan PON, maka medali yang dihitung
adalah total angkatan dari tiga jenis angkatan; Scuat, Dead
Lift, Bench Press. Total tertinggi (biasanya disebut total angkatan) mendapatkan
satu emas, tapi di Porprov kali ini disediakan medali untuk setiap jenis
angkatan plus total angkatan, sehingga satu kelas ada empat set medali yang
disediakan.
Kontribusi medali ini, sama dengan
peraturan pada era 1980-an, tapi Saat
PON di Bandung, lalu, hanya satu set medali untuk setiap kelas. Adakah
perubahan peraturan terbaru? Kalau tidak, berarti peraturan standar bisa
dikalahkan oleh kesepakatan.
Pada panitia karate dan
Forki Sumbar, tetap didata bahwa ada
tiga perunggu untuk Padangpanjang, namun pada panitia besar, tidak ada. Kondisi
ini, tentu berpengaruh dengan penghitungan medali akhir kontingen, akan ada
selisih medali yang dikeluarkan.
Keenam; berangkat dari lima catatan di
atas, saya menduga, Porprov di Padang kali ini, (Mungkin) Porprov terburuk
sepanjang Porprov yang pernah
dilaksanakan. Setidaknya, sejauh yang pernah saya tahu. Ingat, itu hanya
menurut catatan saya. Catatan anda? Saya tak tahu!*
Catatan: Tulisan ini dimuat di Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres
No comments:
Post a Comment