Cerpen: Firdaus Abie
Entah kenapa, Da Boy belum juga
kembali. Ia belum mau balik ke Jakarta, padahal puasa sudah jalan sepekan.
Biasanya Da Boy pulang dua atau tiga hari menjelang lebaran, tak sampai
seminggu setelah lebaran ia kembali ke Jakarta.
Puasa kali ini, berbeda. Da Boy
sudah di kampung sebelum balimau[1]. Katanya ia ingin balimau ke Lubuk Tempurung. Sudah dua puluh lima tahun ia tak ke sana. Lubuk Tempurung merupakan tempat pertama dan
terakhir ia balimau. Ketika itu ia masih duduk di bangku kelas dua SMP. Emak
membawanya bersamaku.
Ketika itu, kami pergi bertiga
secara sembunyi. Takut ketahuan. Ayah melarang kami ke tempat balimau. Kata Ayah, dari tahun ke tahun, suasana
balimau sudah mulai menyimpang. Tidak lagi membersihkan diri, tetapi justru
menambah dosa. Lelaki dan perempuan mandi bercampur di sepanjang aliran sungai.
Dulu, kata Ayah, disaat beliau
muda, mandi balimau sangat dinantikan. Tradisi mandi bersama, membersihkan diri
bersama, diatur sedemikian rupa. Ada lubuk pemandian tersendiri. Tak bercampur
pemandian laki-laki dan perempuan. Anak perempuan mandi di baruah[2] saja.
Jika ada yang melanggar, akan dikenakan sanksi adat.
Kini kondisinya sudah berubah.
Semua sudah bercampur baur. Tak ada lagi yang mengawasi. Tak ada lagi yang
mengeluarkan pantangan-pantangan. Lelaki dan perempuan mandi ditempat yang
sama. Sumando, mamak rumah, ipar, besan,
anak, keponakan, mamak, tumpah ruah bergembira. Mandi-mandi bersama.
Ketika kami pulang, Ayah sudah
menunggu di serambi. Ada seulas senyum
yang dipaksakan, tapi aku sudah menangkap tanda-tanda tak baik. Ayah sedang
marah. Ayah memarahi kami. Beliau tahu benar, pasti kami yang memaksa Emak
balimau ke Lubuk Tempurung. Emak menghadapi kemarahan ayah. Ia pasang badan.
Kata emak, sesungguhnya beliaulah yang punya ide mengajak anak-anak ke sana.
Belum pernah aku melihat Ayah
semarah itu. Aku ketakutan. Da Boy juga. Emak tampak tenang setelah beliau
pasang badan mengatakan, dirinya yang membawa aku dan Da Boy ke Lubuk
Tempurung. Kemarahan Ayah tak sekali pun dijawab emak. Beliau tampak sabar.
Ketika azan berkumandang, Emak
mengingatkan kepada Ayah, sudah Magrib. Lalu beliau menyerahkan air minum di
mug besar yang biasa digunakan ayah bersama kain sarung. Sejak kejadian itu,
tak seorang pun yang berani lagi melanggar larangan Ayah, termasuk Emak.
Ketika aku dan Da Boy beranjak
remaja hingga menikah dan memiliki anak, kami tak pernah lagi balimau. Aku dan
suami juga sepakat untuk tidak membawa anak-anak ke sana, sekali pun kegiatan
tersebut tradisi sejak masa lalu.
Aku heran saat Da Boy pulang
sehari sebelum balimau. Da Boy mengatakan, akan ke Lubuk Tempurung. Ia akan pergi
balimau. Aku mengingatkan larangan Ayah padanya, namun Da Boy tetap bersikukuh
untuk ke sana.
“Sekali ini saja,” katanya
sepulang ziarah ke makam Ayah dan Emak.
Sejak pulang balimau, Da Boy tak
seceria sebelumnya. Ia sering terlihat gelisah. Sekali-sekali tertangkap basah
merenung sendiri. Aku pernah bertanya, namun
ia tak memberikan jawaban. Pernah pula aku minta kepada suamiku, Malin Kayo,
menanyakan perihal mamak rumahnya tersebut, namun tak ada jawaban.
Aku semakin heran, Da Boy
membatalkan rencana kembali ke Jakarta. Tiket pesawat untuknya balik, hangus.
Tak bisa diganti dengan apa pun. Aku tak berani menanyakan kapan ia balik ke
Jakarta. Aku takut ia tersinggung.
Kami anak Minang, selalu
diingatkan untuk menjaga hal-hal kecil agar lawan bicara jangan tersinggung.
Menanyakan kapan kembali ke Jakarta, walau kepada Uda sendiri, adalah sebuah
pantangan. Telinga kami sangat tipis. Jika itu ditanyakan, sama saja artinya
orang yang bertanya mengusir orang yang ditanyai secara halus.
Aku tak ingin Da Boy tersinggung.
Ia satu-satunya saudaraku. Ia juga tak setiap hari di rumah, bersamaku.
Hidupnya sejak muda di perantau. Ia merantau ke Jakarta setamat SMA di Padang.
Selama di perantauan, ia selalu mengirimkan kabar-kabar bagus kepada kami di
kampung, terutama ketika Ayah dan Emak masih hidup.
Sebulan setelah ia meninggalkan
kampung halaman, ia berkirim kabar. Katanya, ia
diterima bekerja di pabrik roti rumahan. Pabriknya tidak besar, ia
karyawan tetap ketiga di luar pemilik, isterinya
dan dua orang anak mereka. Kalau pun ada
enam sampai sepuluh orang lainnya, mereka semua karyawan tidak tetap.
Tergantung situasi saja.
Biasanya karyawan tidak tetap
tersebut dipanggil saat produksi saja. Setelah mengolah adonan dan memanggang
roti-roti yang akan dijual, tenaga tidak tetap dibutuhkan untuk memasukkan
roti-roti tersebut ke bungkusnya. Pendapatan mereka berdasarkan hitungan, seberapa
banyak mereka bisa membungkus roti-roti tersebut.
Da Boy bekerja di sana secara
tidak sengaja. Ketika ia terlunta-lunta sesampai di Jakarta, ia berkenalan
dengan seorang tukang parkir. Merasa kasihan pada kondisi Da Boy, tukang parkir
tersebut memberikan ruang satu atau dua jam kepada da Boy menggantikannya.
Pendapatan selama itu pula diberikan sepenuhnya kepada Da Boy untuk kebutuhan
sehari-hari.
Selama mendapat kesempatan itu
pula, pengakuannya, Da Boy tak pernah berhitung tenaga. Ia tak hanya sekadar
mengatur kendaraan, tetapi juga membantu mengangkatkan barang pemilik kendaraan
tanpa meminta uang lebih.
Sikap Da Boy ternyata diperhatikan
pak Dadang dan isteri, setiap mereka belanja kebutuhan usahanya. Mereka
kemudian menawarkan agar Da Boy mau bekerja bersamanya. Da Boy juga diizinkan
tinggal di salah satu bagian di pabrik roti tersebut. Kebutuhan makan
sehari-hari tinggal ambil di rumah Pak Dadang.
Belasan tahun Da Boy bekerja di
usaha roti Pak Dadang. Ketika usia Pak Dadang semakin Ianjut, ia mempercayai Da
Boy mengelola usaha tersebut. Kepercayaan Pak Dadang dan isterinya menghadirkan
rasa iri bagi dua orang anak lelakinya. Keduanya
menyusun skenario memfitnah Da Boy. Skenario itu berhasil. Pak Dadang dan
isterinya kecewa, lalu Da Boy diusir.
Mulanya Da Boy ingin menyimpan
rapat-rapat kejadian itu. Ia ingin melupakan, namun kabar versi kedua anak Pak
Dadang sampai juga kepada Emak. Emak marah, namun beliau menyembunyikan, lalu Emak
jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Ayah meninggal dua tahun kemudian.
Aku baru berani menyampaikan apa
adanya kondisi Emak, setelah dua bulan beliau meninggal. Kuceritakan bagaimana
keadaan Emak sejak mendapat kabar dari
anak Pak Dadang. Emak kecewa. Beliau tak menduga anaknya berbuat seburuk kabar
yang diperolehnya. Beliau merasa gagal mendidik Da Boy. Sejak itu, kondisi Emak
memburuk. Beliau sering merenung. Mulanya aku bermaksud hendak mengabarkan, namun
dilarang Emak. Kata Emak, buat apa anak
tak balas guna itu dikabari. Emak tak sudi. Aku takut melanggar larangannya.
Kepergian Emak meninggalkan dendam
dalam diri Da Boy kepada anak-anak Pak Dadang. Ia kemudian mendirikan usaha
roti juga, tak jauh dari kediaman pak Dadang. Jika roti Pak Dadang mereknya “Enak”,
produksi Da Boy diberi nama roti “Emak”. Da Boy tahu benar adonan roti Enak,
karena ia pernah ditugaskan di bagian produksi oleh Pak Dadang. Ia kemudian
mengkombinasikan adonan milik usaha Pak Dadang dengan kreativitasnya sendiri.
Ia temukan beberapa roti andalan usahanya.
Ketekunan Da Boy berbuah hasil. Usahanya berkembang pesat,
pabrik roti pak Dadang akhirnya tutup. Pak Dadang dan isterinya baru menyadari kesalahan,
ketika kedua anaknya menceritakan kejadian sesungguhnya, setelah pabrik mereka
tutup. Nasi sudah jadi bubur.
Setelah usahanya tutup, Pak Dadang beserta isteri dan
anak-anaknya datang minta maaf. Da Boy memaafkan. Ia ingat, Emak adalah orang
paling pemaaf sedunia yang pernah dikenalnya. Ia berpegang teguh untuk mewarisi
warisan Emak tersebut.
Ia kemudian mengajak kedua anak
bekas majikannya tersebut bekerja bersamanya, tapi keduanya menolak karena
malu. Sejak itu pula, setiap selesai salat Subuh, Da Boy selalu membuatkan roti istimewa dan langsung mengantarkan ke rumah Pak Dadang. Jika bulan puasa, rotinya
dimasak khusus setiap selepas Ashar. Jika ia berhalangan, tugas itu akan
dikerjakan isteri atau anaknya. Ia tak
pernah mau meminta karyawannya.
Kutemui Da Boy, namun ia memintaku
untuk tidak mendekatinya, “selesaikan saja dulu kerjaanmu, dik. Sebentar lagi Asyar,”
katanya mengingatkanku.
“Semua sudah selesai, Da. Tinggal
menghidangkan di meja saja,” kataku, namun aku melihat gerakan tangan Da Boy.
Ia seakan mengusirku. Ia tak ingin aku mendekatinya. Ia sedang menghidupkan api
di tungku.
“Uda pasti ingat emak?” tanyaku.
Ia menggeleng.
“Sejak kapan Uda belajar berdusta?”
tanyaku.
Tak ada jawaban. Da Boy terus
menghidupkan api di tunggu, tapi tak ada
yang dijarangkan di atasnya. Ia meniup api dengan saluang[3],
lalu menambahkan kayu dan ranting-ranting yang aku kumpulkan sebelum Uda
pulang.
Aku tahu, da Boy pasti sedang
rindu berat pada emak. Rindunya pada emak dilampiaskan dengan menghidupkan api
di tungku. Sesungguhnya aku tak lagi memasak di tungku. Aku sudah lama memasak
dengan listrik dan kompor gas. Ia pernah mengingatkanku, apa pun boleh diubah
di rumah peninggalan Ayah dan Emak, tetapi jangan pernah ganggu dapur Emak.
“Biarkan aku menikmati aroma dapur
Emak,” katanya, mengusirku.
Air mataku berderai. Aku ingat
Ayah. Ingat Emak. Aku ingat bagaimana kemarahan Ayah pada aku, Da Boy dan Emak
ketika kami pulang balimau. Mimik Ayah ketika itu masih terekam dalam memoriku.
Sikap santun dan penurut Emak juga melintas dalam pikiranku. Ketika itu Emak
mengaku, beliaulah yang mengajak kami ke Lubuk Tempurung. Aku tahu, ketika itu
sebenarnya Da Boy memaksa untuk diizinkan balimau. Emak melarang. Da Boy
memaksa setengah merengek. Emak akhirnya memutuskan untuk menemaninya dan
sekaligus mengajak aku.
Ketika derai air mataku jatuh, aku
masih sempat melihat, Da Boy tampak menangis ketika menghidupkan api di tungku,
menikmati aroma dapur Emak.*
Padang – Lubuksikaping, 18518
[1] Tradisi
masyarakat di Ranah Minang. Mandi ke sungai membersihkan diri sembari
memanfaatkan momentum tersebut untuk bersilaturrahmi dengan sesama.
[2] Bagian
hilir.
[3] Bambu
yang dilubangkan kedua ujung dan pembatas ruasnya.
[1] Tradisi
masyarakat di Ranah Minang. Mandi ke sungai membersihkan diri sembari
memanfaatkan momentum tersebut untuk bersilaturrahmi dengan sesama.
[2] Bagian
hilir.
[3] Bambu
yang dilubangkan kedua ujung dan pembatas ruasnya.
Cerpen ini pertama kali dimuat di Padang Ekspres, Minggu 27 Mei 2018
No comments:
Post a Comment