Oleh: Firdaus*
Seorang kawan tersenyum sumbing. Ada perasaan yang disimpannya. Katanya, ada
dua persoalan mendasar yang membuatnya tersenyum sumbang itu.
Pertama, “mana para anggota dewan
yang katanya terpanggil hendak membangun kampung halamannya dulu?” tanyanya.
Saya agak bingung.
Ia pun kemudian membeberkan,
sejak ada keputusan bahwa jika anggota dewan maju ke bursa Pilkada, maka ia
harus mundur dari jabatannya. Keputusan itu membawa imbas besar, ternyata anggota dewan yang yang semula digadang-gadangkan akan
bertarung, ternyata harus berpikir ulang, kemudian membatalkan rencana
keikutaan mereka.
“Kalau memang terpanggil, ya, berjuanglah!
Kenapa justru takut melepaskan jabatan
yang ada sekarang?” tanyanya. Itu pula yang kemudian membuat kawan saya
tersebut tersenyum sumbing, menyindir para wakil rakyat tersebut.
Kondisi ini bertolak belakang
jika dibandingkan dengan suasana Pilkada dua atau tiga periode sebelumnya.
Ketika itu, tak ada aturan yang mengatur para wakil rakyat tersebut, sehingga
mereka tetap ikut “tebak-tebak buah manggis” tersebut. Jika menang, akan dapat
“hadiah”, namun jika gagal, ia tetap bisa melanggang untuk duduk di kursi
empuk.