Cerpen: Firdaus Abie
Tidak! Aku tidak menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang. Kalau ketahuan Abak atau Mande, keduanya pasti berang[2].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?
Biasanya, malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande, Uni Ira dan Ardi, melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah. Masih lekat dalam ingatan ku, Abak biasanya tak banyak omong. Lebih banyak memperhatikan kami sembari menonton berita di tv. Jika ada canda kami yang keliru, baru suara beliau menghentikan kami sejenak. Nasehatnya membawa kami menembus malam. Penuh wibawa.
Besok
lebaran. Gema takbir hilang dipulun[1] hujan. Cuaca dingin di
kota kecil atas bukit, terasa panas mengalir di sudut kota. Menghadirkan resah,
dibungkus gelisah. Aku menangis?
Tidak! Aku tidak menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang. Kalau ketahuan Abak atau Mande, keduanya pasti berang[2].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?
Biasanya, malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande, Uni Ira dan Ardi, melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah. Masih lekat dalam ingatan ku, Abak biasanya tak banyak omong. Lebih banyak memperhatikan kami sembari menonton berita di tv. Jika ada canda kami yang keliru, baru suara beliau menghentikan kami sejenak. Nasehatnya membawa kami menembus malam. Penuh wibawa.