Oleh:
Firdaus Abie
Bus
74 melaju dalam kecepatan sedang. Ustad Muhammad Azzam berkisah tentang unta,
hewan yang sangat luar biasa. Hewan
penyabar dan tenang. Hidup di padang pasir, alam yang sangat keras. Mampu
berjalan sejauh 50 mil (sekitar 80 km) sehari. Bisa bertahan tanpa makan dan
minum selama lima hari. Jika diukur jarak
selama lima hari tersebut, sama dengan jarak
antara Mekah dan Madinah. Mampu minum hingga 200 liter air. Sanggup membawa
beban 500 kg tanpa makan dan minum selama tiga hari.
Aku menyimak penjelasan sambil menikmati pemandangan di luar bus. Melihat kiri kanan jalan. Ada
hamparan padang pasir, beberapa ekor unta ada di sana. Jamaah lain, satu kloter
denganku, melakukan aktivitas tak jauh berbeda. Ada juga yang terus bersalawat
dan berzikir.
Kunikmati perjalanan dari Makkah ke Jeddah, selanjutnya kembali ke Jakarta.
Ada rasa agak berbeda di tubuhku. Ada keringat dingin di dalam mobil ber-AC.
Kondisi itu aku “lawan” dengan obat pribadi yang dibawa dari Padang, diberikan
dokter sehari sebelum berangkat. Ketika itu,
sebelum berangat ke Jakarta, bergabung dengan Jamaah Umrah Kloter 14 Paragon Technology and Innovation,
aku sempat diserang dalam. Aku merasakan tubuh menggigil. Terasa dingin.
Isteriku dan dokter yang meraba tubuhku merasakan panas tinggi.
Ketika
hendak berangkat, isteriku terlihat agak cemas. Ia sering mengingatkanku untuk
sering minum. Hari kedua aku di Madinah, kondisi yang sama aku rasakan kembali.
Selesai salat Jumat, aku meringkuk di balik selimut tebal di hotel. Aku tak kuat
ke Masjid Nabawi saat Asyar dan Magrib. Ketika Isya, aku paksakan diri ke
masjid. Besoknya, dinihari aku diberi kekuatan oleh Allah untuk kembali ke
Masjid Nabawi dan berkesempatan pula beribadah di Raudah hingga menjelang
Subuh.
Setelah minum obat, aku niatkan istirahat sembari tak lupa baca doa tidur.
Tak lupa membaca salawat dan zikir. Ketika itu pula pikiranku melayang ke
hari-hari yang telah berlalu. Terlintas semangat dan optimistis Jamaah Umrah
Kloter 14 Paragon
Technology and Innovation, yang serasa sudah menjadi keluarga baruku.
Tiga malam di Madinah, aku menginap di Hotel Al-Haram. Delapan orang jamaah
pria ditempat disatu faviliun. Terdiri dari dua kamar. Aku di kamar pertama
bersama Risnanda (Jambi) dan Aziz (Cirebon). Di kamar satu lagi, Yunus
(Jakarta), Eggy Rizal (Tasikmalaya), Syahril Ramadhan (Bandung), Dody Nuriana
Sudrajat (Bandung) dan Juhri (Ambon).
Mereka lebih muda dari aku.
Aku salut pada mereka. Ketujuh keluarga baruku itu memiliki karakter kuat untuk ibadah. Aziz, teman satu
kamar. Saat penerbangan dari Bandara Soekarno – Hatta Tanggerang ke Madinah,
aku duduk di sebelahnya. Ia dalam kondisi deman. Sesampai di Madinah, ia lawan
demamnya untuk selalu ke masjid. Ketika aku demam, ia teringat dia. Aku harus
bisa juga sekuat dia. Risnanda juga kuat ibadahnya. Disaat aku terbangun di
tengah malam untuk tahajud dan ibadah ke Masjid Nabawi, ia sudah tidak ada lagi
di kamar.
Di Makkah, kami menginap di Swisssotel Al Maqam. Aku sekamar dengan Eggy
Rizal (Tasikmalaya), Syahril Ramadhan (Bandung), Dody Nuriana Sudrajat
(Bandung). Kami justru cenderung “berpacu” duluan ke Masjidil Haram. Sering
juga barengan, namun sesampai di Masjidil Haram, cenderung kami terpencar.
Masing-masing asyik dengan ibadah masing-masing.
Sesampai di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, kondisiku tidak lebih baik. Antrian
pemeriksaan paspor dan dua kali x-tray menuju ruang tunggu, terasa sangat lama.
Ada beragam rasa kurasakan selama proses antrian.
Sesampai di ruangan tunggu, kusandarkan tubuh di kursi. Badanku masih
terasa menggigil. Air wudhu’ salat Magrib disertai jamak Isya, terasa sangat
dingin. Sekali lagi, kutelan obat yang aku bawa dari Padang. Tak lama
berselang, ada kantuk yang terasa berat. Kucoba untuk melawannya. Aku tak ingin
tertidur di Bandara.
Aku teringat, seorang teman, ketika menjadi wartawan Padang Ekspres, saat pulang dari Malaysia menuju Padang, ia
tertidur di Bandara setelah chek-in. Masih untung ia bisa diterbangkan secara
gratis keesokan harinya. Saya tak ingin peristiwa itu terjadi.
Aku akhirnya langsung tertidur setelah duduk di pesawat. Aku tertidur
diiringi salawat dari layar monitor persis di depan tempat duduk, menggunakan headset milik penerbangan. Aku terbangun
ketika pramugari menyodorkan makanan. Setelah makan, tidur lagi.
Sampai di Bandara Soeta, Tanggerang, sudah pagi. Petugas biro yang
mendampingi perjalanan umrah, NRA, menuntun hingga pemeriksaan paspor, “yang
transit, kumpul dulu di sini. Bagi yang turun di Jakarta, ambil bagasi di jalur
satu,” kata petugas yang sudah menunggu.
Seketika, suasana jadi berbeda. Kami saling bertatapan. Satu sama lain saling bersalaman. Sangat erat
genggamannya. Sesama lelaki saling berangkulan. Sesama perempuan juga saling
bersalaman, “jangan lupa untuk saling berkirim kabar, ya?” kata mereka, senada.
“Kalau ada kawan-kawan ke Ambon, jangan lupa kabari saya,” pinta Juhri.
“Saya tunggu di Bandung,” kata Syahril Ramadhan.
“Jika ke Semarang, jangan lupa. Ada keluarga di sana. Saya tunggu,” kata
Susi Kartika.
Semuanya menyampaikan pesan seirama. Rasa haru pun kemudian menyeruak
suasana. Jamaah yang turun di Bandara Soeta, langsung menuju tempat pengambilan
bagasi. Mereka melangkah sembari terus melihat ke belakang, melambaikan tangan,
memberi salam kepada jamaah yang transit. Sebaliknya, mereka yang transit tak
henti-hentinya juga melambaikan tangan.
Setelah semua berkumpul, jamaah yang transit dipandu ke ruang tunggu
sementara. Jadwal penerbangan berbeda. Aku termasuk yang transit, selanjutnya
menuju Padang. Ada yang ke Jambi, Babel, Lampung, Semarang, Surabaya,
Pontianak, Palangkaraya, Tarakan, dan kota-kota lainnya. Terjauh ke Ambon.
Jamaah yang transit, akhirnya pun terpencar satu persatu, sesuai jadwal
penerbangan ke kota masing-masing. Terakhir saya masih bersama Risnanda dan
Juhri. Satu jam berselang, Risnanda yang umrah bersama isterinya, bergeser ke
ruang tunggu keberangkatan. Tinggal saya bersama Juhri. Kami pun melaksanakan
zuhur berjamaah. Sekitar 45 menit menjelang boarding, aku minta izin kepada
Juhri.
“Kalau sudah sampai di Padang, kabari ya?” katanya.
“Insya allah,” jawabku.
Penantian Juhri masih sangat panjang. Jadwal boardingnya pukul 21.30 WIB.
Perhitungannya, ia baru akan sampai di rumah menjelang Subuh, besok, “semoga
selalu diberi kesehatan dan kekuatan, pak Juhri,” kataku.
Ia tersenyum.
Sebelum aku sampai di ruang tunggu keberangkatan, ada pesan masuk ke
selularku. Aku hentikan langkah, lalu membuka hp. Isinya, ternyata ada beberapa
keluarga baruku yang sudah sampai di rumah, terutama mereka yang tinggal di
Jakarta.
“Alhamdulillah, saya sudah sampai di rumah dalam kondisi selamat dan sehat,”
kata Yunus.
Ada juga beberapa yang lain, mengabarkan hal yang sama. Kawan-kawan yang
tinggal di Jabodetabek sudah menginformasikan posisinya. Kawan yang tinggal di
Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, juga memposting posisinya.
Mereka yang terbang ke Semarang, Surabaya, Pontianak, Tarakan dan
lain-lain, juga mengabarkan. Mereka sudah mendarat. Satu persatu kabar diterima. Aku pun kemudian
berkabar di grup Kloter 14 Umrah 2019, sudah sampai di rumah, ketika sore
datang menjelang.
Kini, 2,5 bulan setelah perjalanan umrah tersebut, suasana kekeluargaan
masih terasa. Grup WA masih aktif. Komunikasi masih jalan. Masih ada canda.
Masih sering berkirim postingan terkait ibadah dan bagaimana memperbaiki
ibadah.
Ketika Masjidil Haram ditutup, lalu kabar itu diposting di grup, serasa ada
yang menyekat. Ada rasa bercampur aduk. Seketika itu juga, pikiran melayang ke
Tanah Suci. Terbayang tempat-tempat menunaikan ibadah yang pernah didatangi. Ada
kerinduan untuk bisa kembali ke sana. Sebuah impian besar; semoga suatu saat,
kami bisa bersama lagi ke Tanah Suci.
Disaat ada kabar Wardah memberikan
sumbangan sebesar Rp 40 miliar untuk
penanganan Covid-19, ada kekaguman kepada
buk Nur (sapaan akrab Nurhayati Subakat), pendiri dan pemilik PT Paragon Technology and Innovation. Wardah
merupakan salah satu produk perusahaan tersebut. Rasa kagum tersebut tak
berlebihan. Sumbangan yang diberikan tergolong fantastis. Kepedulian yang
sangat luar biasa.
Aku pernah bertemu beliau, sebelum
berangkat umrah. Ketika itu, aku bersama Yunus dan Juhri, diundang berkunjung ke pabrik, juga bertemu buk Nur. Beliau
sangat rendah hati dan peduli karyawan. Beliau memberangkatkan umrah sekitar
500 karyawan setiap tahun. Karyawan nonmuslim, dibiayai untuk wisata religi. Syaratnya
tak banyak; minimal sudah bekerja selama tujuh tahun. Selain dibiayai, semuanya
juga diberi bekal dalam bentuk Riyal. Program ini sudah berlangsung selama tiga
tahun berturut.
Semoga buk Nur dan keluarga
selalu diberi kesehatan dan keberkahan oleh Allah. Semoga usaha yang beliau
kelola terus tumbuh dan berkembang. Semoga keluarga baru kami; Kloter 14 Umrah 2019 beserta semua orang
yang turut memudahkan langkah kami ke Tanah Suci, diberi kesehatan,
keselamatan, dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat. *
*Padang,
30 Maret 2020
No comments:
Post a Comment