Sejak ditanya Mirna, Badri tak lagi pernah ke tapian. Perasaan takut
bercampur aduk dalam dirinya. Selama tak pernah lagi ke tapian, ia juga terus
mencoba mencari peluang untuk menemukan Mirna. Tapi sepanjang
itu pula, Mirna tak pernah dijumpainya.
Badri berupaya memintas jalannya sepulang mengantarkan makanan untuk
abaknya, tapi saat itu, bukan Mirna yang mengantarkan makanan, melainkan amaknya. Badri
berpapasan dengan wanita ramah dan berkerudung itu. Wanita itu disapanya. Ia
balik menyapa dan menegur Badri, malahan menanyakan kondisi mande. Badri
menjelaskan kalau mande dalam keadaan sehat.
Amak dari Mirna kemudian bercerita, ia juga sudah kangen dengan mande.
Sudah lama tak jumpa. Badri baru sadar, selama ini hubungan amak Mirna dengan
mande sangat baik. Amak Mirna menganggap mande sebagai kakak.
Sejak pertemuan Badri dengan amak, ia semakin dihantui perasaan takut yang
dalam. Kalimat amak yang mengaku sudah kangen pada mande, sudah jadi penambah
takut diri Badri. Ia berpikir, jangan-jangan rasa kangen itu hanya sekadar
jalan untuk datang dan bertemu mande saja, kemudian amak akan mengungkapkan semua
kelakuan anak bujang mande.
Perasaan takut bercampur aduk dalam diri Badri. Ia merasa menyesal telah
melakukan hal yang tak senonoh itu. Ia menyesal, seharusnya kalau pun berniat
untuk menjaga Rabiatun, seharusnya ia tidak sampai mengintip. Seharusnya dijaga
dari kejauhan saja, tidak dimanfaatkan untuk berketerusan mengintip posisi
Rabiatun disaat mandi.
Dua pekan selepas pertemuan dari lapau dulu, Badri kembali bertemu Mirna
tanpa sengaja.
“Dua minggu tidak ke tapian, kemana saja uda?” tanya Mirna, ketika mereka bertemu saat ada baralek[1]
di rumah wali nagari. Ketika
itu, Badri sedang menyiapkan kayu api di halaman belakang.
Pertanyaan itu tak saja mengejutkan Badri, tetapi hampir saja menjatuhkan
kampak untuk membelah kayu api.
Badri tak menjawab.
“Hanya saya saja yang tahu kalau uda sering ke sana, tapi kemana saja
uda belakangan,” tanya
Mirna
lagi.
Badri serba salah. Mau bicara, mulutnya seakan terkunci. Mau menjawab, ia
seakan kehilangan pikiran. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Saat belum ada jawaban
sepatah kata pun, Mirna sudah tidak berada di tempatnya. Ia sudah kembali ke
dapur, bergabung dengan gadis-gadis lain mempersiapkan kebutuhan dapur.
Selepas ditinggal dalam bingung, Badri selalu memperhatikan gerak-gerik Mirna.
Ia menunggu saat yang tepat untuk bicara. Jika perlu meminta maaf. Badri sadar,
apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Salah besar. Jangankan meminta
maaf, diminta bersujud di kakinya pun, akan dilakukan Badri, asalkan Mirna
tidak menyampaikan semua yang terjadi pada orang lain. Jika Rabiatun
membocorkan, tamatlah riwayatnya.
Dalam kebingungan itu pula, Badri tak habis pikir. Ketidakhadirannya dalam
dua pekan terakhir ke tapian, ternyata juga diketahui Mirna.
Kebingungan Badri makin menjadi-jadi. Ternyata Mirna
tahu segalanya tentang Badri. Termasuk kalau sudah dua pekan dirinya tidak
mengintip ke tapian lagi.
*
Sejak pertemuan ketika membantu persiapan baralek wali nagari, keduanya pun
tak pernah berjumpa lagi. Sekali pun Badri tak pernah mendengar desas-desus
tentang perangainya terhadap Rabiatun, namun ia tetap waspada. Ia tak ingin
kecolongan. Ia tak ingin ditangkap massa. Ia kemudian menjaga jarak dengan
banyak orang. Ia lebih banyak di rumah, jika tidak, ia dijumpai di sawah dan
ladang.
Badri mencoba mengubur peristiwa itu. Perangai buruk yang pernah
dilakukannya dialihkan pada kerja ke sawah dan ladang. Perubahan itu sekaligus
membuat mande dan ayah heran bercampur haru. Badri yang ditemuinya sekarang tak
lagi seperti Badri pada masa-masa sebelumnya.
Selama menjadikan kerja di sawah dan ladang sebagai pelarian untuk
melupakan masa lalu, mengintip Rabiatun mandi di tapian, selama itu pula ia
sulit melupakan bayangan. Bayangan lekuk tubuh Rabiatun di balik kain basahan, masih
saja menari-nari di hadapannya. Selama mencoba melupakan peristiwa buruk itu,
selama itu pula kehadiran Rabiatun menemuinya saat membelah kayu api, kembali
datang padanya.
Ia sudah mencoba membuang jauh, sudah mengubur dalam-dalam, namun tetap
saja tak mampu lepas darinya. Rasa sesal semakin menyesakkan di dirinya.
Perasaan malu dan ketakutan masih terus menghantui.
Ia malu karena Mirna justru
mengetahui kalau dirinya mengintip Rabiatun
mandi di tapian. Badri juga takut, kalau Mirna
menceritakan pada orang lain, bisa saja kelakuan buruknya sampai ke sidang nagari.
Terlintas dalam pikirannya, ia harus menemui Mirna
dan kemudian bicara secara khusus. Ia berpikir, kalau tidak segera
diselesaikan, dikuatirkan Mirna
akan membeberkan pada orang lain. Ia sudah siap dengan
sikap yang akan dilontarkan Mirna kepadanya. Sudah sangat siap. Apa saja akan
diterima.
Ia pun kemudian mencari akal untuk bisa bertemu. Tapi tak pernah bisa. Akal
lain pun diputar. Badri teringat salam yang dikirim amak untuk mande. Salam itu
pun kemudian disampaikan Badri kepada mande.
Salam yang hebat. Mande merespon salam untuknya. Beliau menanyakan perihal amak
Mirna
kepada Badri, termasuk dimana bertemu. Ia mengatakan, sudah sangat lama tidak
berjumpa. Sudah sangat lama mereka tak bertemu. Ia kemudian mengingatkan
kenangan masa lalunya pada Badri, saat mereka masih remaja. Sering bersama.
Tiga hari kemudian, Badri terkejut. Mande meminta agar Badri mengantarkan
masakan yang baru saja selesai dimasak. Mande memasak khusus makanan kesukaan teman
lamanya, jariang batokok lado hijau.
Mande yakin, kawannya tersebut belum akan berubah selera. Kalau pun berubah, ia
masih yakin kalau temannya tersebut mau menikmati masakannya, apalagi ketika
mereka masih akrab bergaul, semua teman-teman mereka tahu kalau mande paling
jago memasak. Apa saja masakan yang diolahnya pasti enak.
Sekali diminta, Badri langsung menerima. Ia tak berpikir panjang. Ia
berpikir, ini kesempatan sangat berharga untuk bisa bertemu Mirna.
Jika tidak begini, akan sulit mencari momen agar bisa ke rumahnya, kemudian
bertemu Mirna.
Badri mempersiapkan diri sedemikian rupa. Ia sudah menata pakaiannya, sudah
mempersiapkan kata-kata yang hendak disampaikan kepada Mirna.
Ia pun kemudian melangkah mantap. Langkah yang dilangkahkannya adalah
langkah-langkah pasti. Ketika langkahnya terus bergerak pasti, tanpa
disadarinya, hatinya terasa kuat untuk bertemu dan berterus terang pada Mirna,
setelah itu minta maaf.
Ketika sampai di rumah Mirna, kehadiran Badri disambut amak. Salam balik dan masakan
mande diterima amak sangat antusias. Beliau tak mengira kalau mande Badri masih
ingat makanan kegemarannya. Amak menyukai masakan itu justru pertama kali
diperkenalkan oleh mande, saat itu, mereka masih sama-sama hendak menyelesaikan
sekolah dasar.
Setelah amak menerima masakan, beliau meminta Badri menunggu sejenak.
Beliau pun masuk ke pondoknya, tak lama berselang Mirna keluar,
menemui Badri. Lelaki yang awalnya sudah mempersiapkan diri, mendadak berubah
grogi.
Dikuatkan diri untuk menyampaikan rencananya, namun Mirna hanya merespon dengan senyum kecut. Senyum miring.
Ia tampak tak terlalu serius menanggapi Badri, “Belum saya sampaikan kepada
siapa pun,” katanya memancing dengan senyum miring.
Badri tertegun. Ketika ia hendak bicara, Mirna justru menghindar. Ia meninggalkan
Badri begitu saja.
No comments:
Post a Comment