Hop! Tatapan mata Badri tertumpuk pada sepasang bongkahan di dada Rabiatun.
Jantungnya berdegup kencang. Badri mencoba menahan diri, menahan debaran
jantung yang berdentum deras, sederas dentuman air terjun di tapian. Badri
takut kalau-kalau dentuman itu terdengar Rabiatun.
Setelah sebelumnya tanpa sengaja melihat Rabiatun mengosok dan mengerayangi
tubuhnya dengan sabun, kali ini Badri melihat sepasang bongkahan itu saat
Rabiatun bersalin basahan dengan sarung yang kering, kemudian mengenakan
pakaian.
Sejak melihat pemandangan itu, Badri merasa ia seperti menikmati
pemandangan sendiri. Pemandangan yang menyenangkan, tak pernah ditemuinya
sebelumnya. Pemandangan itu dinikmatinya dalam debaran jantung yang berdentum
kencang. Seakan mampu mengoyang batang beringin tempatnya bersembunyi.
Badri juga harus memutar otak. Ia harus bisa mencari alasan yang tepat agar
selepas ashar bisa menghindar dari kawan-kawan sepermainannya. Biasanya,
saat-saat menjelang dan selesai ashar, mereka belum selesai bermain.
Belakangan, ia dapat akal. Ia memberikan alasan yang sangat jitu, sehingga,
selepas ashar ia bisa pergi meninggalkan kawan-kawannya tanpa harus meminta
izin lagi. Ia beralasan harus membantu ayahnya setiap selepas ashar. Jika
tidak, ia akan dimarahi. Kawan-kawannya pun tak bisa menolak. Sejak saat itu,
Badri bisa bebas untuk langsung ke tapian.
Selama itu pula, Badri tahu lekuk tubuh Rabiatun. Ia sangat menikmati lekuk
tubuh itu dan ingin segera memilkinya, namun ia harus menahan diri. Tak boleh
terburu-buru. Harus benar-benar memastikan kondisinya dan kemudian datang
kepada keluarga Rabiatun pada saat yang tepat.
Badri tahu kalau Rabiatun memiliki
tanda lahir berupa bulatan hitam di bawah kuduknya. Tanda lahir itu berbentuk
tompel, namun di mata Badri, tompel itu tidak membuat rusak punggung Rabiatun. Ia
justru memandang tompel tersebut sebagai hiasan untuk memperindah punggung yang
kuning langsat.
Bagaikan kejora di malam kelam. Bagaikan mutiara di dalam lumpur. Membangkitkan
gairahnya. Badri benar-benar menikmati.
Tapi, Badri tetaplah anak manusia biasa. Ia lengah. Kalau pun ia merasa
sudah sangat hati-hati, sudah sangat waspada, namun aktivitasnya ada yang
mengawasi. Badri telah mambungkuh tulang jo daun kaladi[1].
Tanpa pernah diduga, Badri tak sempat menjawab sepatah kata pun ketika Mirna
menyapanya saat berpapasan jalan ketika secara tak sengaja bertemu sepulang dari
lapau.
“Kenapa uda sering mengintip orang mandi?” tanyanya.
Belum sempat tanya terjawab, Badri makin terkejut dengan pertanyaan susulan
Mirna, “Apakah ada yang montok?”
Ketika tanya belum terjawab, Mirna berlalu. Badri terpaku dalam
ketidakmengertian. Bingungnya bercampur malu. Ia terkejut, ternyata ada yang mengetahui kalau dirinya mengintip Rabiatun mandi di tapian. Dua patah kalimat dari Mirna
itu membuatnya terdiam. Tak bisa bereaksi apa pun. Ibarat petinju, ia
tergelatak di atas ring setelah dipukul
roboh. Ia kalah telak dari lawan tak sebanding. Badri kalah TKO.
Dalam keadaan bingung, Badri mencoba mencari tahu, kenapa Mirna tahu kalau
dirinya sering mengintip di tapian. Setiap langkah yang dilangkahkannya ke tapian
mau pun saat sudah berada di tapian, ia selalu
memastikan tidak pernah seorang pun yang tahu. Tak seorang pun yang pernah mengikuti
langkahnya.
Badri pun kemudian berlari-lari kecil mengejar Mirna, ”Jangan
asal tuduh saja,” katanya sesaat
berada di samping Mirna.
Gadis yang dikejarnya melirik sekilas, kemudian melanjutkan perjalanannya.
Badri masih mengikuti langkahnya, ”kalau takut merasa dituduh, kita selesaikan
saja di balai adat. Saya punya bukti perangai uda,” tantang Mirna.
Ia kemudian berlalu meninggalkan Badri.
Badri tersintak. Ia mati kutu! Langkahnya terhenti. Tubuhnya menggigil.
Berguncang hebat. Kakinya terpaku ke
bumi. Dicobanya untuk mengangkat kaki kanan, tak bisa. Sangat berat. Dicoba
pula untuk melangkahkan kaki kiri, terasa lebih berat. Mulutnya pun terkunci.
Wajahnya pucat pasi.
Dicoba untuk memanggil Mirna, namun niatnya diurungkan. Ia tak mau Mirna ”menelanjangi”-nya
lagi. Ia merasa seakan dipukul sangat kuat oleh gadis yang selama ini tak
pernah menjadi perhatiannya. Pukulan itu
telak mengenai wajahnya. Menghancurkan mukanya. Berkeping-keping.
Badri mencoba mencari-cari, kapan ia ketahuan mengintip oleh Mirna.
Ia mencoba mengingat kejadian-kejadian yang pernah dilalui selama mengintip
Rabiatun di tapian, namun ia tak menemukan momentum kapan Mirna mempergoki kelakuannya.
Pikirannya melayang jauh ke belakang, menjemput ulang kisah masa lalu.
Mencari waktu-waktu yang telah terpenggal untuk menemukan momentum masa lalu. Badri
mencoba mengingat, apakah gerakan, langkahnya atau desahan nafas mau pun debaran
jantungnya ada yang mencurigakan sehingga diketahui. Ia merasa langkahnya tak ada yang
mencurigakan, namun dirinya tak habis pikir kenapa Mirna mengetahui
kalau dirinya sering mengintip di tapian.
Dalam kebingungan, Badri berpikir, ia harus bicara khusus dengan Mirna.
Ia takut kalau aksinya itu dibeberkan kepada
orang lain, atau ke wali nagari. Jika itu terjadi, maka ke manalah wajah akan
disurukkan. Apalah kata orang kampungnya nanti. Apalah yang akan terjadi pada
mande dan ayahnya nanti.
Terbayang di pikirannya, orang-orang kampung akan menelanjangi dan kemudian
mengusirnya keluar dari kampung. Ia tak mampu membayangkan kalau dirinya disidang, kemudian diberi hukuman cambuk di
hadapan orang banyak selepas salat jumat.
Kalau itu terjadi, apa yang harus dilakukannya? Seburuk-buruk nasib yang
akan diterimanya adalah hukuman terburuk dan paling hina di kampungnya, yakni
hukuman dibuang sepanjang adat. Jika itu terjadi, maka ia harus menghapus
kampung halamannya, kawan-kawan sepermainannya dari dalam pikirannya. Ia harus
pergi jauh. Tak akan pernah diizinkan pulang kampung, sekali pun mayatnya sudah
terbujur kaku.
Tak seorang pun yang berani menantang hukum adat di kampungnya. Tak seorang
pun yang mau berperkara perihal adat di tanah kelahirannya. Bagi masyarakat
beradat, seperti orang-orang di kampungnya, perihal adat adalah perkara sakral
pertama dalam kehidupan mereka setelah agama.
Setiap langkah kehidupan masyarakat, semuanya dilandaskan pada aturan agama
dan adat. Tak ada yang berani untuk menolak apalagi melawan aturan yang ada. Jika
dilarang agama, maka otomatis adat akan ikut melarang. Tak bisa ditawar-tawar.
Tak seorang pun berani bernegosiasi. Jangankan dilarang oleh agama dan adat,
langkah yang tidak dilarang oleh agama tapi dilarang oleh adat, maka tak
seorang pun yang berani membantah, melanggar apalagi sampai melakukannya.
Agama yang dianut orang kampungnya hanya melarang pernikahan sepasang anak
manusia yang sama-sama memiliki garis keturunan seayah dan seibu. Tak ada
aturan yang melarang pernikahan sesuku, tapi adat mengatur larangan. Setiap anak
yang lahir ke muka bumi otomatis menjadi anggota kaum dari sebuah suku. Suku
yang menjadi garisan silsilah anak tersebut menurut pada turunan garis kaum amaknya.
Suku amaknya menjadi suku anak tersebut.
Larangan adat, sekali pun sepasang anak manusia tersebut tidak memiliki
hubungan keluarga dari garis ayah atau ibunya, namun jika keduanya satu suku, tak
ada alasan yang membenarkan mereka bisa menikah. Aturan itu sudah berlaku sejak
lama, sejak nenek moyang mereka. Konon kata nenek moyang mereka secara turun
temurun, aturan itu sudah ada sejak masa gunung berapi masih sebesar telur
itik.
Garisan sesuku dianggap sebagai garisan kekerabatan yang sangat dekat.
Sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, bagaikan sisi setiap jari. Terpisah
oleh jarak namun satu dalam sebuah genggaman. Sejak bumi terbentang, tak
seorang pun yang berani melanggar pantangan.*
[1]
Membungkus tulang dengan daun (istilah di Minangkabau) yang berarti, seberapa
pun pintarnya menyimpan sesuatu, maka suatu saat akan diketahui oleh orang lain
juga.
No comments:
Post a Comment