Di kamar berdindingkan palupuah[1], Badri baru saja mengenakan pakaian, setelah seluruhnya
dilepas ketika mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuah tapian[2].
Bunga tiga rupa dari tiga tapian, bukanlah perkara mudah untuk mendapatkannya.
Badri harus berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Banyak syarat yang harus
dipenuhi agar semua bahan yang dicari bisa dipakai sempurna.
Jenis bunganya tak boleh sama. Warnanya
tak boleh sama. Ukurannya mesti berbeda. Jumlah kelopak atau tingkatan
kelopaknya harus berbeda. Posisi saat memetik bunga juga harus dibedakan. Satu
tapian hanya boleh mengambil satu bunga.
Persyaratan terberat yang harus dijalani Badri, bunga-bunga tersebut tak akan
ada gunanya jika saat dicampur dengan rempah-rempah yang diberikan Mak Pado ada
yang layu. Semua bunga harus tetap segar saat mandi dilakukan. Artinya,
bunga-bunga itu sudah harus terkumpul tak boleh lebih dari sehari-semalam.
Badri harus mencari dan menelusuri satu persatu tapian yang memiliki bunga
sedang mekar. Tak hanya keliling
kampungnya, tetapi juga harus mengelilingi kampung-kampung tetangga. Ada banyak
tapian yang diketahui dan didatanginya, namun tak semuanya memiliki bunga, atau
kalau pun ada bunga, ada beberapa tapian yang memiliki bunga sejenis.
Prosesi selanjutnya, ia harus mengingat gadis yang telah mempenjara hatinya.
Dibukanya bungkusan yang diberikan Mak Pado, dukun terkenal di Nagari Subarang.
Tempat orang mengadukan urusan cinta dan guna-guna.
Mak Pado sebenarnya bukan penduduk asli Nagari Subarang, tak ada yang tahu
asal usulnya. Ia sudah ada di nagari
itu sejak dibawa kakeknya. Gubuknya jauh di tengah hutan, di pinggang gunung
berapi. Jarang ada yang datang ke gubuknya. Kalau pun ada, umumnya untuk urusan
guna-guna. Itu pun biasanya dilakukan malam hari, secara sembunyi-sembunyi.
Agar orang tak tahu.
Bagi masyarakat nagari, sekali pun jauh dari keramaian, jauh dari
kehidupan gemerlap, namun datang ke dukun adalah aib, apalagi jika diketahui
orang lain. Sangat jarang orang mau menemui Mak Pado. Jika ada yang datang ke sana, dipastikan kehadiran
mereka secara sembunyi-sembunyi.
Jangankan sengaja menemui Mak Pado, jika kebetulan bicara sebentar saat
berpapasan di jalan atau di pasar, biasanya orang yang berpapasan akan
menghindar secepatnya. Mereka takut, jangan-jangan nanti orang yang melihat
akan salah menyimpulkan pertemuan tersebut. Situasinya akan parah jika
benar-benar tertangkap basah.
Pernah, ketika Badri masih kecil, ia menyaksikan orang terpandang di nagarinya diusir dari nagari itu. Padahal, jauh sebelum
kejadian, orang tersebut merupakan tempat mengadu masyarakat bila kesusahan. Tempat
bertanya masyarakat jika ingin tahu sesuatu. Tak ada persoalan yang tak
terselesaikan olehnya.
Ia terpandang bukan karena kekayaannya saja, namun disegani karena keluasan pikiran. Mampu mencarikan
jalan keluar terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Berapa pun beratnya
masalah yang menimpa orang yang datang kepadanya, selalu saja dapat
diselesaikannya. Ada saja jalan keluarnya.
Jika dari sudut kekayaannya, ia masih kalah dibandingkan Angku Kari, yang
menjadi wali nagari selama 35 tahun. Angku Kari sudah tergolong orang
berkemampuan sejak muda. Ia mewarisi pusaka orang tuanya secara utuh karena ia
anak tunggal. Sejak muda, orang tuanya sangat kaya. Setiap usaha yang
dilakukan, selalu saja hasilnya berlipat ganda. Orangtuanya rajin sadakah.
Sawah, ladang, peternakannya tidak dia yang mengelola. Hasil yang dia
terima dari bagi hasil dengan pengelolanya saja, sudah melebihi kebutuhannya.
Sudah mampu membiayai tiga orang anaknya kuliah di Jawa. Sudah mampu pula untuk
disumbangkannya kepada orang yang membutuhkan. Pengabdiannya di kampung
benar-benar pengabdian yang utuh. Ia tak lagi memikirkan kebutuhan hariannya. Selama 35
tahun jadi wali nagari, ia berbakti sepenuh hati.
Tapi, bagi Mak Yusuf, kalau pun
kekayaannya di bawah Angku Kari, namun semua orang kampung tahu jika ia orang
penting di balik sukses Angku Kari memimpin nagari. Setiap akan ada pemilihan
wali nagari, orang akan menanti saran Mak
Yusuf. Kalau Mak Yusuf sudah bertitah,
semua yang ada sebelumnya akan mentah lagi. Ucapan,
pesan dan kata-kata Mak Yusuf sangat didengarkan orang. Seakan ada magnet dari
pesan tersebut.
Mak Yusuf adalah sosok penting di belakang Angku Kari. Ia mendukung semua
program kerja Angku Kari. Sepanjang
kepemimpinannya, banyak perkembangan yang dirasakan masyarakat. Badri juga
merasakannya. Berlahan dan pasti, kesejahteraan masyarakat terus meningkat.
Dua tahun setelah Angku Kari meletakkan jabatan, tanpa sengaja ada yang
melihat Mak Yusuf beberapa kali menemui kakek dari Mak Pado, dukun terkenal
ketika itu. Sejak saat itu, masyarakat
seakan lupa pada kebaikan Mak Yusuf. Ia dikucilkan, kemudian diusir sepanjang
adat. Tak boleh lagi menampakkan batang hidungnya di kampung mereka.
Mak Yusuf meninggalkan kampung halamannya secara tidak terhormat. Masyarakat
tetap mengizinkan keluarganya, tapi tidak bagi Mak Yusuf, tapi keluarganya hanya mampu bertahan selama
dua pekan. Sejak mereka pergi, sampai sekarang tak pernah ada kabar berita
tentang Mak Yusuf dan keluarganya.
Rumah dan pekarangannya kemudian dirawat oleh bakonya yang juga mengelola sawah dan ladang
peninggalan Mak Yusuf. Hasil sawah dan ladang yang menjadi bagian dari Mak
Yusuf, titipkan kepada Angku Kari, sesuai pesan keluarga Mak Yusuf sebelum
pergi. Kalau pun masyarakat kecewa dan marah karena ketahuan Mak Yusuf
menggunakan jasa dukun, namun tak seorang pun yang mau mengganggu, apalagi
merusak harta peninggalan Mak Yusuf.
Jika teringat masa lalu, saat ia masih kecil dulu, sebenarnya Badri takut
juga untuk mendatangi Mak Pado, atau cucu dari dukun yang dulu didatangi Mak
Yusuf. Sebelum benar-benar membulatkan hati, memantapkan keyakinan mendatangi Mak Pado, ia sudah
mempelajari kebiasaan masyarakat. Ia tahu kapan masyarakat ke hutan, ke sawah,
ke ladang dan ke tapian. Ia tahu kapan masyarakat benar-benar beristirahat dan
lengah.
Ketika masyarakat lengah, Badri masuk ke hutan. Ia membawa bungkusan kecil,
seperti halnya orang pergi berburu. Keluar dari kampungnya menuju nagari
seberang, kemudian menyeberangi sungai berair terjun yang tak pernah didatangi
seorang pun ketika hari Jumat.
Sejak zaman dahulu, konon berpantang bagi siapa saja untuk mendatangi
apalagi menyeberangi sungai berair terjun tersebut pada hari Jumat. Tak seorang pun yang tahu apa akibat jika
melanggar pantangan. Badri mengambil
jalan melingkar. Ia menyusuri kaki gunung, kemudian terus mendaki menelusuri
jalan yang dibukanya sendiri. Ia tak mau mengambil risiko dengan mengikuti
jalan yang biasa ditempuh pendaki.
Badri tak peduli. Ia terus menelusuri belantara kaki gunung dan terus
mendaki ke pinggangnya. Ia tahu titik mana yang akan dituju. Ia paham benar
dengan rute yang akan ditempuh. Ia tak mengalami kesulitan apa pun untuk sampai
ke pondok Mak Pado.
Sepulang dari pondoknya, Mak Pado memberikan buntalan kecil kepada
Badri. Bungkusan yang sudah hampir dua
tahun diterimanya dari Mak Pado, dibukanya dengan perasaan bercampur aduk. Ia
baru diizinkan membuka bungkusan tersebut dengan persyaratan dan ritual khusus.
Syaratnya, ia tak boleh membuka sebelum mandi rempah dan bunga tiga rupa
dari tiga tapian. Prosesi membukanya pun dengan ketentuan khusus. Tak boleh
asal buka. Ada ritual yang tak boleh diabaikan. Jika tak diindahkan, maka Mak
Pado tak akan menjamin hasil yang diinginkan.
Badri pun memulai ritual membuka bungkusan yang diberikan Mak Pado. Selama
ini, bungkusan disimpannya sangat rapi dengan cara diikatnya secara tersembunyi
di antara kayu-kayu penyangga atap
rumahnya. Tak seorang pun yang tahu, namun Badri bisa melihat setiap saat
posisi bungkusan itu.
Dibukanya bungkusan. Berlahan. Sangat hati-hati sekali. Keingintahuan akan
isi bungkusan berbalut kain paco[3]
hitam sudah mengebu sejak Badri menerimanya. Keingintahuan itu bercampur
aduk dengan dendam yang membakar ubun-ubunnya atas penghianatan Rabiatun.
[1] Bambu yang sudah
dipotong kecil dan memanjang, kemudian dianyam.
[2] Tujuh tempat
pemandian
[3]
Sisa-sisa kain berukuran kecil.
No comments:
Post a Comment